“Waktu adalah uang.”
Kita sering mendengar pepatah ini sejak kecil, terutama bagi generasi 90-an yang ketika Sekolah Dasar membaca buku diktat pelajaran Bahasa Indonesia. Konon katanya, Benjamin Franklin adalah orang pertama yang mengeluarkan petuah tersebut lewat esai bertajuk Advice to a Young Tradesman pada 1748.
Menurut salah satu Bapak Pendiri Amerika Serikat itu, waktu—seperti halnya uang—adalah sesuatu yang sangat berharga. Alih-alih bermalas-malasan, Franklin menyerukan kelas pekerja agar memanfaatkan waktu mereka saban hari secara maksimal untuk bekerja. Ini karena kehilangan waktu sama dengan kehilangan uang yang membuat seseorang berisiko semakin miskin.
Pepatah itu tak lekang usia dan masih relevan hingga sekarang. Karena dicekoki sejak kecil, tak sedikit orang dewasa yang pada zaman modern ini tetap mengamini pemeo itu. Konteks yang dipakai pun masih sama yaitu tentang persepsi soal produktivitas dalam pekerjaan.
Dalam masyarakat kapitalis, ‘waktu adalah uang’ menjadi doktrin yang mendasari munculnya norma jam kerja dan kaitannya dengan gaji. Pada 1890-an, secara umum pekerja di Amerika Serikat menghabiskan waktu 100 jam dalam tujuh hari mencari nafkah di pabrik-pabrik maupun pertokoan, merujuk laporan BBC soal sejarah akhir pekan. Itu artinya jam kerja yang hampir 17 jam per hari selama enam hari (Minggu menjadi hari libur karena mereka pergi ke gereja).
Salah satu orang paling tajir kala itu di Negeri Paman Sam, Henry Ford, lantas dianggap revolusioner ketika pada 1926 menerapkan aturan lima hari kerja, dari Senin hingga Jumat, untuk karyawan pabrik mobilnya. Dengan sistem baru ini, mereka diwajibkan bekerja selama delapan jam tanpa mengurangi gaji yang tadinya untuk enam hari kerja. Ketika produktivitas pabrik Ford terbukti tidak turun, para pemilik bisnis di berbagai negara pun perlahan mengikuti norma lima hari kerja, atau 40 jam seminggu.
Alasan yang dipakai pemilik pabrik mobil Ford itu bukan perkara kesejahteraan karyawan, melainkan profit semata. Ford meyakini, agar masyarakat meningkatkan konsumsi—dalam hal ini membeli mobil—maka mereka harus diberikan kesempatan lebih banyak bersantai. Ibaratnya begini: buat apa pekerja kelas menengah di AS beli mobil mahal-mahal kalau jarang dipakai jalan-jalan?
Sampai beberapa waktu lalu, aturan lima hari kerja bagaikan firman Tuhan yang sifatnya mutlak, diadopsi mayoritas negara. Microsoft di Jepang menjadi raksasa teknologi pertama yang berani menjajal alternatif lain. Sejak Agustus 2019, perusahaan itu melakukan percobaan empat hari kerja terhadap 2.300 karyawannya yang berada di negara dengan jam kerja brutal tersebut.
Hasilnya, produktivitas mereka meningkat 40 persen, penjualan melonjak 39,9 persen per orang, serta konsumsi listrik perusahaan turun sebanyak 23,1 persen. Para karyawan pun menilai sistem tersebut positif. Hanya saja, seperti dilaporkan the Japan Times, Microsoft mengaku tidak akan menerapkan itu secara permanen, melainkan pada masa tertentu saja.
Di belahan dunia lain, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern menyarankan para pemilik usaha mempersingkat hari kerja karyawan atau menerapkan sistem fleksibel seperti opsi work from home (bekerja dari rumah). Dia beralasan selain meningkatkan kualitas hidup pekerja, ini juga bisa memperbaiki sektor pariwisata yang babak belur akibat dihajar pandemi.
“Saya benar-benar mendorong orang-orang untuk memikirkan itu jika Anda seorang pemberi kerja dan punya posisi untuk menerapkannya, untuk mempertimbangkan apakah itu cocok untuk tempat kerja Anda sebab jelas itu akan membantu pariwisata di negara ini,” tutur Ardern.
Menyusul komentar tersebut, Unilever di Selandia Baru pun melakukan uji coba empat hari kerja tanpa mengurangi gaji. Menurut petinggi perusahaan itu, tes akan berlangsung selama satu tahun untuk mencari tahu apakah ada perubahan signifikan terhadap cara kerja karyawan. “Kami percaya cara kerja yang lama sudah ketinggalan zaman dan tak lagi sesuai tujuan,” ujar Nick Bangs, Managing Director Univeler Selandia Baru.
Spanyol bahkan lebih progresif lagi menjalankan uji coba soal sistem kerja. Koalisi partai kiri Mas Pais yang resmi berdiri pada 2019 mengusulkan empat hari kerja dalam seminggu, sebagai salah satu program andalan dan rupanya disambut baik publik. Pemerintah lalu sepakat untuk menjajal ide ini mulai Maret lalu yang membuat para pekerja di beberapa sektor, termasuk jasa, punya libur tiga hari.
“Kita menjalani hidup di mana tak ada waktu untuk apa pun. Kita menjalani hidup penuh rasa stress yang diisi oleh berangkat dari rumah ke tempat kerja, dari tempat kerja ke rumah, dan berbelanja pada akhir pekan,” kata anggota parlemen dari Mas Pas Inigo Errejon. “Kita berakhir kelelahan dan memulainya lagi pada hari Senin. Ini namanya buka hidup.”
Contoh-contoh itu memperlihatkan bahwa pepatah ‘waktu adalah uang’ tak lagi hanya dipakai dalam konteks pekerjaan, melainkan mulai mencakup aspek-aspek kehidupan yang lain seperti kesempatan bersama keluarga dan bersenang-senang. Artinya, waktu untuk aktivitas lain di luar pekerjaan juga tak kalah berharga.
Namun, di Indonesia situasinya lebih rumit andai ada perusahaan tertarik melakukan uji coba pengurangan hari kerja. Menurut praktisi Human Resources (HR) Samuel Ray, salah satu yang jadi ganjalan adalah aturan pemerintah. Dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa jam kerja yang disepakati pemerintah adalah tujuh jam per hari dan 40 jam dalam enam hari (satu hari libur), kemudian delapan jam per hari dan 40 jam dalam lima hari (dua hari libur).
“Selama pemerintah mengaturnya demikian, maka mayoritas dari kita—misalnya pengusaha atau punya perusahaan—akan ikut pemerintah karena standarnya yang menentukan pemerintah,” kata Samuel saat dihubungi VICE.
Selain itu, ada faktor investor asing yang mempunyai budaya kerja mereka masing-masing. Samuel mencontohkan sistem ‘9-9-6’ yang banyak diadopsi oleh perusahaan-perusahaan asal Tiongkok. Ini berarti para karyawan bekerja mulai pukul 09.00 hingga 21.00 selama enam hari dalam seminggu. Miliarder Tiongkok, Jack Ma, merupakan salah satu orang kaya yang paling mendukung keberadaan sistem kerja 12 jam tersebut.
Tetapi, bukan tidak mungkin ada perubahan menuju uji coba empat hari kerja seperti yang terjadi di Spanyol dan Selandia Baru. “Jika memang kedepannya semakin banyak pelaku usaha di Tanah Air yang melihat bahwa ‘bisa nih empat hari [kerja] dalam seminggu’, aku melihat bukan enggak mungkin menyesuaikan,” imbuh Samuel.
Sistem yang sekarang sedang banyak dilirik, kata Samuel, adalah kombinasi work from home dan work from office. Setahun terakhir, banyak pekerja dari berbagai industri membuktikan definisi kantor secara tradisional kurang relevan sebab mereka bisa bekerja dari mana saja.
“Infrastruktur kantor [di Indonesia] sedang di-redefine untuk mengakomodir lifestyle yang baru di mana kita sadar bahwa ternyata enggak perlu kok kita ada di satu tempat yang sama untuk bisa produktif, dan itu scientifically proven,” tuturnya.
Bagi pemilik usaha, sistem tersebut dirasa mampu menghemat pengeluaran untuk listrik dan keperluan lainnya. Sedangkan untuk karyawan, mereka lebih nyaman dengan cara kerja baru ini sebab bisa mengeliminasi waktu yang dibutuhkan untuk berdandan dan kemudian terjebak kemacetan sebelum akhirnya sampai di kantor. Waktu ekstra itu bisa dipakai untuk bekerja dengan pikiran segar dan lebih banyak berkumpul bersama keluarga.