Semua orang pasti berubah seiring berjalannya waktu. Kepribadian yang kamu miliki saat ini mungkin akan berbeda di masa depan. Perubahannya dapat terjadi secara alami, ataupun dari upayamu membenah diri. Dan rupanya, pandemi bisa mengubah kepribadian kita secara berbarengan.
Menurut penelitian yang terbit dalam jurnal PLOS One, sifat orang dewasa di Amerika Serikat banyak yang berubah selama mereka melalui pandemi Covid-19 dua tahun terakhir. Meski perubahannya kecil, itu terjadi secara drastis dalam waktu singkat.
Sebanyak 7.109 orang dewasa berusia antara 18-109 tahun, yang terdaftar dalam panel Understanding America Study dari University of Southern California, menyelesaikan sejumlah tes kepribadian yang menentukan sifat seseorang berdasarkan tipe Kepribadian Lima Besar: neuroticism (kestabilan emosi), extraversion (kemampuan berinteraksi), openness (berpikir kreatif), agreeableness (mudah akur), dan conscientiousness (bertanggung jawab). Para peneliti lalu memeriksa hasil tes dari sebelum pandemi, pada awal pandemi (Maret-Desember 2020) dan setelah setahun pandemi (Januari 2021 hingga Februari 2022).
Peneliti mengamati penurunan sifat extraversion, openness, agreeableness, dan conscientiousness pada peserta dari awal pandemi. Perubahan ini cenderung terjadi di kalangan dewasa muda. Namun, peserta di kelompok usia tersebut juga menunjukkan peningkatan neuroticism di kemudian hari.
“Orang dewasa muda jadi gampang stres dan murung. Mereka kurang kooperatif, tidak mudah percaya dan kurang bertanggung jawab,” para peneliti memberi tahu The Guardian.
Akan tetapi, studinya tidak mencari tahu lebih lanjut penyebab pasti berubahnya kepribadian peserta. Peneliti menyebutkan kehidupan anak muda berubah drastis selama pembatasan sosial diterapkan. Yang tadinya mereka belajar di kelas atau berangkat ke kantor setiap hari, mendadak harus menjalani sebagian besar aktivitas di dalam rumah. Waktu untuk bersosialisasi pun berkurang karena mereka tidak bisa bertemu teman-temannya. Mungkin itulah sebabnya anak muda lebih gampang berubah sifatnya dibandingkan dengan kelompok usia lainnya.
Hanya saja tak semua anak muda merasa mereka berubah seperti itu. Cara Paguio, 27 tahun, mengungkapkan dirinya menjadi bertanggung jawab sejak tinggal sendiri selama pandemi.
“Mau tak mau saya harus belajar hidup sendiri,” ungkap perempuan 27 tahun yang mengontrak di dekat tempat kerja barunya. Dia tinggal bersama orang tua sebelum diterima bekerja di sana. Namun, Paguio mengakui sekarang lebih introvert daripada sebelum pandemi.
Sebagian besar orang jarang sekali keluar rumah selama lockdown, sehingga tidak mengherankan apabila mereka mengalami penurunan extraversion. Orang supel sekalipun pada akhirnya akan menyesuaikan diri setelah sekian lama tidak berinteraksi langsung dengan orang lain. Contohnya seperti Carrie Nakpil, yang menjadi selektif memilih teman. Sekarang dia lebih senang kumpul bareng orang-orang terdekatnya. Tapi bagi Nakpil, cara berpikirnya pasti akan berubah seiring bertambahnya usia, dan pandemi hanya mempercepatnya.
“Saya yakin ini pasti akan terjadi, terlepas ada pandemi atau tidak. Lingkup pertemanan kamu akan menyempit seiring bertambahnya usia, dan mereka orang-orang yang ingin kamu pertahankan dalam hidup. Pandemi semakin mempercepat hal ini. Saya mungkin tidak akan mengalami ini di usia 26 jika pandemi tidak menghentikan waktu selama dua tahun,” tutur perempuan yang saat ini berusia 27.
Sebaliknya, Paguio berpikir tanpa pandemi, kepribadiannya mungkin masih sama seperti dulu.
“Andai saya menjalani hidup seperti biasanya, saya merasa tidak perlu berubah karena menganggap itulah kepribadianku sesungguhnya. Lockdown memberi saya kesempatan untuk merenungkan ingin menjadi apa,” ujarnya.
Akan tetapi, perubahan kepribadian yang diamati peneliti tidak bergerak ke arah yang baik seperti dua contoh di atas. Contohnya, neuroticism umumnya menurun seiring bertambahnya usia, sedangkan agreeableness dan conscientiousness cenderung mengalami peningkatan. Seorang peneliti menyebutnya “perkembangan menuju kedewasaan”. Hasil penelitian justru memperlihatkan sebaliknya—anak muda mengalami peningkatan neuroticism dan penurunan agreeableness dan conscientiousness.
Di awal pandemi, para peneliti mencatat sedikit penurunan neuroticism dibandingkan dengan kestabilan emosi yang peserta miliki sebelum pandemi. Kemampuan mereka mengendalikan perasaan semakin berkurang setelah pandemi berjalan setahun lebih.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang mungkin tidaknya kepribadian orang kembali seperti sediakala setelah pandemi berakhir, terutama setelah mereka bisa beraktivitas di luar rumah. Peneliti akan terus memantau kebiasaan para peserta untuk memastikan perubahannya bersifat sementara atau tidak.
Berhubung penelitiannya dilangsungkan sepanjang pandemi, tidak ada yang bisa dijadikan perbandingan karena semua orang di dunia ini menghadapi Covid-19. Dengan demikian, orang hanya bisa membandingkan diri mereka saat ini dengan sifat mereka di masa lalu. Tapi setidaknya, bagi orang-orang seperti Paguio, pandemi telah membuka mata mereka.
“Saya lebih menyukai diri saya yang sekarang. Tidak ada alasan bagiku untuk menjadi seperti dulu lagi,” simpul Paguio.
Follow Romano Santos di Instagram.