Pada 1998, para peneliti membuat kukis cokelat yang aromanya menyebar ke seluruh ruangan, lalu menyajikannya di atas meja bersama permen cokelat dan semangkuk lobak merah dan putih.
Orang-orang yang telah menunggu di laboratorium, dan telah mencium lezatnya aroma kue, kemudian dibagi menjadi beberapa kelompok. Beberapa diizinkan menikmati kukis cokelat, sedangkan yang lain cuma boleh makan lobak. Lalu ada kelompok yang dilarang makan apa pun. Setelah peneliti meninggalkan ruangan, mereka mengamati dari kaca satu arah, seperti apa reaksi kelompok pemakan lobak.
Para peserta hanya diberi tahu eksperimennya bertujuan untuk menguji “persepsi rasa”. Pada kenyataannya, peneliti ingin melihat apakah kelompok yang memakan lobak akan mengalami kelelahan mental lantaran mereka menahan diri agar tidak tergoda dengan kue cokelat. Walau beberapa peserta tampak melemparkan tatapan sedih ke arah kue cokelat, atau mengambil kue untuk mencium wanginya, tak ada satu pun dari mereka yang melanggar peraturan.
Eksperimen pun selesai, dan ketiga kelompok wajib mengikuti tes selanjutnya. Kali ini, mereka harus menggambar bentuk geometris, tapi tidak boleh mengangkat pulpen dari kertas atau melintasi garis yang sama dua kali. Yang tak mereka ketahui adalah tugas kali ini memang tidak dapat diselesaikan. Peneliti sebetulnya ingin melihat seberapa cepat mereka putus asa. Hasilnya menunjukkan kelompok pemakan lobak menyerah lebih dulu, yang menurut peneliti disebabkan oleh kelelahan mental mereka menahan diri untuk tidak makan kue.
Hal ini kemudian lebih dikenal sebagai “hipotesis penipisan ego”, yang menjelaskan kondisi di mana seseorang dapat merasa capek setelah pikirannya terkuras, meski kegiatan mereka tidak menghabiskan banyak energi fisik. Kelelahan ini diyakini mampu memengaruhi kesediaan kita melakukan sesuatu, atau kemampuan kita mengambil pilihan. Mengerjakan tugas yang menguras pikiran hingga berjam-jam dapat memperburuk kinerja kita setelahnya, atau lebih memilih imbalan yang cepat atau gampang diraih.
Namun, masih menjadi misteri mengapa ini bisa terjadi. Mengapa berpikir dapat menguras energi kita? Ada banyak proses mental lain yang kita lakukan tanpa henti, seperti penglihatan, tapi mengapa hal itu tidak pernah membuat kita lelah?
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mencari tahu penyebab kelelahan kognitif ini, serta mekanisme yang terjadi saat energi mental kita menipis. Studi terbaru yang diterbitkan dalam Current Biology mengusulkan, kelelahan kognitif bukanlah penipisan sesuatu, melainkan telah terjadi penumpukan neurokimia bernama glutamat, yang dapat memengaruhi cara kerja tubuh dan pikiran ketika melebihi ambang batas tertentu. Para peneliti yang melaksanakan studi ini berpendapat, pemerasan tenaga kognitif dapat meningkatkan pelepasan glutamat pada bagian otak yang mengendalikan fungsi kognitif, dan menyebabkan down regulation atau penurunan pada respons otak, yang akhirnya membuat kita ogah-ogahan melakukan sesuatu atau mengambil keputusan setengah hati setelah merasa capek.
“Kita semua pernah mengalami situasi ini, yang menuntut dan terasa berat,” tutur Antonius Wiehler, psikolog di Le Groupe Hospitalier Universitaire Paris yang merupakan penulis utama penelitian ini. “Tapi kita tak tahu mengapa ini bisa terjadi, mengapa sejumlah aktivitas terasa berbeda dari yang lain.”
Studi baru ini sejalan dengan penelitian lain yang menyelami keterkaitan kelelahan kognitif dengan neurobiologi—mirip dengan senyawa kimia yang dapat menurunkan kinerja tubuh dan menyebabkan kelelahan pada otot, seperti penumpukan asam laktat.
Tim peneliti Wiehler menggunakan teknik pencitraan yang disebut spektroskopi resonansi magnetik untuk memantau metabolit otak peserta pada saat melakukan serangkaian aktivitas yang telah ditentukan sepanjang hari. Dalam penelitian sebelumnya, mereka memperhatikan penurunan aktivitas di bagian otak yang disebut korteks prefrontal lateral kiri setelah peserta melalui hari penuh tugas kognitif sulit dan perubahan pengambilan keputusan. Para peneliti akhirnya fokus mengamati bagian ini, dan juga bagian korteks visual sebagai kontrol.
Sebagian peserta mengerjakan tugas kontrol kognitif yang membutuhkan proses mental lebih tinggi, dan sebagian lainnya mengerjakan tugas yang tidak terlalu menuntut. Setelah itu, mereka diminta membuat keputusan ekonomi yang memiliki imbalan uang sungguhan. Orang-orang pada kelompok pertama menunjukkan kontrol diri yang lebih rendah saat membuat keputusan, dan mereka lebih condong ke imbalan yang dapat diperoleh secara langsung. Para peneliti menemukan hanya kelompok pemikir keras yang mengubah pengambilan keputusan mereka dengan cara ini; peserta juga menunjukkan pengecilan ukuran pupil (penanda biologis untuk upaya kognitif).
Tak seperti mereka yang tugas eksperimennya kurang menuntut, kelompok ini juga memiliki konsentrasi glutamat lebih tinggi pada bagian otak yang mengatur fungsi kognitif. Juga tidak ada perbedaan jumlah glutamat di bagian visual.
“Otak memantau ini, dan mengurangi aktivitasnya untuk menghindari penumpukan glutamat. Peserta menerapkan kontrol yang lebih sedikit selama menentukan pilihan, sehingga membuat pilihan mereka berubah,” Wiehler menjelaskan.
Glutamat berfungsi sebagai pengantar rangsang utama di otak, dan jumlahnya sangat banyak di sistem saraf pusat. Meski tim Wiehler mengusulkan penumpukan glutamat sebagai penyebab kelelahan kognitif, mereka menegaskan itu bukan satu-satunya alasan. Penelitian mereka bersifat korelasional, sehingga tidak dapat menunjukkan secara langsung kelelahan memang disebabkan oleh penumpukan glutamat.
Martin Hagger, profesor psikologi kesehatan di University of California Merced, menyebut usulan tersebut agak meyakinkan. Penelitian Wiehler dkk. menggunakan ukuran sampel yang kecil, dan melaporkan korelasi antara perubahan dalam membuat keputusan dan penumpukan glutamat. Akan tetapi, penelitian ini tak mampu menunjukkan pembuatan keputusan secara kausal terkait dengan penumpukan glutamat.
“Para ilmuwan masih mencari akar penyebab kelelahan kognitif, begitu juga dengan pencarian senyawa kimia endogen yang muncul ketika orang melakukan tugas yang menuntut dan mereka mengalami kelelahan,” ujar Hagger. “Menurutku, kuncinya adalah menyatukan riset di bidang ini untuk menghasilkan bukti konvergen yang dapat menjelaskan mekanismenya.”
Keselarasannya dengan pengalaman langsung juga kurang kentara. Ketika peserta ditanya seberapa lelah mereka setelah mengerjakan tugas, semuanya mengatakan mereka merasa lebih capek. Namun, hanya kelompok yang mendapat tugas sulit yang menunjukkan perubahan dalam mengambil keputusan, atau penumpukan glutamat.
“Tidak begitu jelas apakah kita menyadari perubahan sikap dalam menentukan pilihan,” terang Wiehler. “Karena peserta tidak membuat pengakuan seperti, ‘Saya sudah lelah, jadi saya memilih imbalan langsung’ setelah eksperimen berlangsung. [Perubahan sikap mereka] tidak terlalu kentara.”
Meski kita belum bisa menemukan bagaimana tugas mental dapat membuat kita kelelahan, hasil penelitian tim Wiehler memperingatkan agar kita lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan penting saat merasa capek. Tanpa kita sadari, kita gampang berubah pikiran ketika otak dan tubuh sedang lelah.
Hal ini juga menunjukkan pentingnya waktu istirahat. Para peserta eksperimen diberi waktu istirahat dua kali, masing-masing selama 10 menit. Tapi kenyataannya, waktu istirahat itu tidak berdampak besar pada perubahan pikiran. Istirahat 10 menit terlalu pendek untuk mengusir efek kelelahan kognitif.
Wiehler tertarik mengeksplorasi cara terbaik mengistirahatkan otak yang lelah dalam penelitian selanjutnya, sekaligus mengkaji lebih dalam hipotesis glutamat.
“Kami tidak tahu waktu istirahat yang ideal, tapi sepertinya lebih dari 10 menit,” simpulnya.
Follow Shayla Love di Twitter.