Aku diterima di suatu universitas unggulan sekitar lima tahun yang lalu. Namanya juga mahasiswa baru, aku menjalani kehidupan perkuliahan dengan semangat yang menggebu-gebu. Aku harus aktif dalam kegiatan kampus, dan siap menjajal organisasi yang paling menarik perhatian.
Setelah menimang-nimang, aku mendaftar sebagai anggota pers mahasiswa bermodalkan hobi menulis dan minatku terhadap isu politik. Tapi kalau boleh jujur, aku tidak punya pengalaman sama sekali di bidang jurnalistik.
Calon anggota melalui proses seleksi yang panjang hingga terpilih menjadi staf redaksi. Serangkaian tugas diberikan untuk melihat kesanggupan kami memikul tanggung jawab sebagai jurnalis mahasiswa. Sementara itu, ada tugas khusus bagi peserta yang memilih tim berita. Kami harus menyelesaikan artikel yang dilengkapi pernyataan-pernyataan dari narasumber, serta menyertakan dua ide tulisan dalam kurun seminggu.
Aku baru mengumpulkan tugas lewat tengah malam, setelah tenggat waktu berakhir. Ditambah lagi, aku tidak mencantumkan dua ide artikel pada hasil tugas yang setebal 10 halaman itu. Sang editor mengirim balasan tak lama kemudian, untuk menginformasikan apa yang telah aku khawatirkan: “Kami tidak menemukan dua ide artikel di tugasmu. Kamu masih bisa mengirimnya dalam 15 menit ke depan, atau menyerahkannya agak telat. Tentu ini akan memengaruhi penilaianmu, tapi setidaknya telat menyerahkan tugas jauh lebih baik daripada tidak sama sekali. Kami serahkan semuanya kepadamu.”
“Bagi ibu, aku anak berprestasi yang patut dibanggakan di Facebook. Tapi untukku pribadi, semua keberhasilan ini hanyalah keberuntungan belaka. Aku tidak pantas meraih kesuksesan ini.”
Aku tidak membalas email tersebut; membukanya pun tidak. Melihat dari notifikasi saja sudah membuatku berkeringat dingin. Aku pesimis bisa lolos seleksi, jadi aku memilih mengabaikan emailnya. Lagi pula, aku tak yakin punya bakat di bidang ini.
Tanpa disangka-sangka, aku diterima sebagai staf berita beberapa hari kemudian. Entah apa yang menjadi pertimbangan editor saat memilihku. Selama dua tahun aku meliput berita untuk keperluan kampus, dan menelurkan artikel demi artikel yang selalu menjadi kebanggaanku. Dari satu artikel bertambah menjadi dua, tiga, hingga akhirnya laman penulis milikku menampilkan 16 tulisan. Aku kemudian naik jabatan sebagai editor setelah mengalahkan dua anggota lain. Dari situ aku berhasil memperoleh status wartawan kampus, yang membuka jalan untukku magang di Rappler, kantor berita terkemuka di Filipina. Aku juga meraih dua penghargaan pers mahasiswa.
Bagi ibu, aku anak berprestasi yang patut dibanggakan di Facebook. Tapi untukku pribadi, semua keberhasilan ini hanyalah keberuntungan belaka. Aku beruntung editor mau berbaik hati memilihku sebagai anggota organisasi. Aku beruntung saat terpilih menjadi editor untuk memimpin tim. Aku pasti menang penghargaan karena cuma aku yang mendaftar. Aku percaya juri takkan mempertimbangkan diriku seandainya ada orang lain yang masuk kategori tersebut. Intinya, aku merasa tidak pantas meraih kesuksesan ini.
Lama-lama aku tak sanggup menanggung persepsi orang tentangku, karena itu sangat berbeda dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Di balik prestasi yang mentereng, aku tidak mampu menjalani tugas-tugas tertentu yang diharapkan dari seorang jurnalis. Contoh nyatanya adalah kegagalanku memberi ide artikel saat proses seleksi. Entah bagaimana orang bisa melihatku sebagai sosok inspiratif, padahal aku merasa diriku bukan wartawan kampus yang kompeten. Sanjungan yang tertuju padaku rasanya terlalu berlebihan. Kalau memang aku sehebat itu, seharusnya aku mampu mengumpulkan tugas tepat waktu, dan tidak pernah menerima email teguran dari atasan. Aku pun menjadi versi palsu dari diriku hanya supaya tidak mengecewakan orang lain. Dari semua tulisanku, ini satu-satunya artikel yang malu untuk kuakui.
Di dunia psikologi, perjuangan batinku biasa disebut “impostor syndrome”. Ketika istilah ini diciptakan pada 1978, psikolog Pauline Clance dan Suzanne Imes menggunakannya untuk menggambarkan para perempuan yang kariernya cemerlang, tapi tidak percaya diri dengan bakat dan kemampuan yang mereka miliki. Rasa minder ini bisa muncul sebab adanya stereotipe atau pandangan seksis di dunia kerja, bahwa kaum perempuan tidak lebih cakap kerja dibandingkan dengan laki-laki. Pola perilaku ini semakin ramai dibicarakan sejak 2014. Dan rupanya, publik figur sekelas Michelle Obama, Tom Hanks, David Bowie, Tina Fey dan Maya Angelou sekalipun pernah bergelut dengan perasaan ragu ini.
Inti permasalahannya terletak pada ketakutan kita dianggap tidak pantas mendapatkan kesuksesan yang telah dicapai, karena kita cenderung memandang rendah diri sendiri dan tak yakin mampu melakukannya. Kita merasa penuh kekurangan, dan pencapaian pribadi hanyalah suatu kebetulan. Pikiran semacam ini semakin memperkuat keyakinan kita, bahwa selama ini kita telah berpura-pura di depan banyak orang.
“Kita baru bisa terbebas dari jerat impostor syndrome setelah menyadari bahwa semua orang berhak merasakan kesuksesan.”
Beberapa tahun lalu, jurnalis lepas Sandeep Ravindran tertarik meriset kecenderungan impostor syndrome di kalangan ilmiah, tapi sebagian besar lulusan universitas unggulan—termasuk Universitas Stanford—tidak siap mengakui secara terang-terangan ada rasa minder yang bersembunyi jauh di lubuk hati mereka. Contoh ini menunjukkan, semakin kita membiarkan keraguan menguasai diri, semakin kuat tertanam dalam benak bahwa kita tidak pantas untuk menjadi orang yang berhasil.
Berbagai artikel di internet telah memberikan tips dan trik mengusir rasa rendah diri. Katanya kita perlu menulis prestasi dan kelebihan yang kita miliki sebagai pengingat tiap kali kita mulai meragukan kemampuan pribadi. Jika itu dirasa belum cukup meningkatkan kepercayaan diri, kita bisa menyalurkan energi negatif sebagai motivasi untuk menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Namun, saran-saran ini terdengar kontraproduktif. Mengatasi minder dengan cara menunjukkan kelebihan hanya akan membuat kita merasa seperti penipu sejati. Aku sudah membuktikannya sendiri.
Alangkah baiknya kita mengusut konsep yang berkembang di masyarakat tentang kesuksesan. Selama ini, kita dibuat percaya bahwa hanya orang-orang cerdas dan bertalenta yang bisa sukses. Temanmu mendapat nilai bagus karena otaknya encer. Rekan kerja jago di suatu bidang, jadi sudah pasti dia akan naik jabatan. Sebaliknya, kamu orang yang biasa-biasa saja dan tidak punya keunggulan. Kamu mungkin sedang beruntung kalau berhasil meraih sesuatu. Tanpa adanya kriteria yang terukur, kita akhirnya membandingkan kelayakan diri dengan orang lain.
Sudah saatnya kita mengubah pola pikir ini. Bagaimana kalau kita berhenti berpikir “siapa yang pantas, maka dia yang dapat”? Bagaimana jika kita melihat kesuksesan datang di saat yang tepat? Kita baru bisa terbebas dari jerat impostor syndrome setelah menyadari bahwa semua orang berhak merasakan kesuksesan.
Gabby Beckford pernah berada di situasi yang sama sepertiku. Saat menghadiri acara penerimaan beasiswa di sekolahnya, seorang panitia keceplosan hanya 12 orang yang mengajukan program beasiswa, padahal slotnya untuk 14 murid. Fakta itu mengisyaratkan Gabby bisa menang karena tidak banyak saingan. Dia menceritakan pengalamannya lewat video TikTok, dan kisahnya seketika viral di platform tersebut.
Gabby ogah memusingkan hal ini, dan tetap merayakan keberhasilannya memperoleh beasiswa. “Bagiku, ini bukan soal pantas tidaknya aku menerima beasiswa. Yang penting aku sudah berusaha, dan aku bisa sukses berkat usaha ini,” tuturnya saat dihubungi VICE.
Pengalaman Gabby menjadi pelajaran untukku, bahwa menerima kenyataan sama pentingnya dengan mengambil peluang. Kemenangan tetap menjadi milik kita, tidak peduli kita mendapatkannya karena beruntung, prestasi atau yang lainnya. Dengan berpikir seperti inilah kita bisa bebas dari impostor syndrome. Kita dapat merangkul dan mengakui prestasi secara seutuhnya, bahwa itu bisa terjadi karena usaha kita—bukan sebatas keberuntungan. Solusi ini tidak akan terdengar radikal seandainya sejak awal kita lebih terbuka tentang apa yang kita rasakan.
Untuk menghilangkan rasa kurang pantas, kita harus mengakui kehidupan manusia pada dasarnya penuh sandiwara. Setiap orang berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin di hadapan banyak orang.
Aku terlalu sibuk berpura-pura menjadi versi diriku yang lebih baik, yang menurut orang-orang, aku sudah pasti berhasil karena memiliki kemampuan di bidang jurnalistik. Pikiranku terpaku pada hal itu sampai-sampai aku tidak sadar semua orang juga sama sepertiku. Kegelisahanku, bahwa suatu saat nanti orang akan tersadar aku tidak sehebat yang mereka bayangkan, sebenarnya bukan berasal dari persepsi orang lain tentang diriku, melainkan karena caraku memandang diri sendiri. Yang kubutuhkan sebenarnya hanyalah mengenyahkan pikiran-pikiran jelek ini.
“Untuk menghilangkan rasa kurang pantas, kita harus mengakui kehidupan manusia pada dasarnya penuh sandiwara. Setiap orang berusaha menampilkan diri mereka sebaik mungkin di hadapan banyak orang.”
Pada saat menulis artikel ini, aku memutuskan untuk mencari kepastian soal status penghargaan yang kuterima. Apakah aku menang karena juri mengakui bakatku, atau karena tidak ada saingan? Penyelenggara memberi tahu, saat aku menang pada 2019, ada delapan orang yang masuk kategori sama denganku. Lalu pada 2020, hanya lima orang yang mendaftar.
Apakah perasaanku membaik setelah mengetahuinya? Tidak. Apakah aku jadi yakin aku berhak mendapatkan penghargaan? Tidak juga. Aku sadar ini tidak penting. Tapi kalau boleh jujur, aku menyesal telah bertanya soal ini.
Follow Micah Avry Guiao di Instagram.