Lebih dari dua tahun lalu, larangan beraktivitas di luar ruangan terasa amat menyiksa bagi banyak orang. Mereka yang tak terbiasa menghabiskan sepanjang waktu di rumah saja, mencari cara untuk mengusir rasa bosan yang mulai menggerogoti pikiran. Tetapi sekarang keadaannya telah berubah. Kebanyakan dari kita telanjur nyaman dengan gaya hidup santai, sehingga tak lagi antusias kembali ke suasana sosial yang hiruk-pikuk.
“Saya baru sadar sejak pandemi, kontak mata menguras energi yang cukup besar,” tutur Esha Paul, kolega saya yang bekerja di kantor cabang India. Dia telah bergabung dengan VICE dari sebelum pandemi, tapi sekarang harus beradaptasi lagi di lingkungan kerja. “Sekarang saya harus kembali ke kantor, dan energiku habis terserap selama perjalanan dan bertatapan langsung dengan orang lain.”
“Mereka membutuhkan perhatian saya, tapi saya tidak punya cukup energi untuk memberi mereka perhatian,” lanjut Esha.
Menariknya, mudah lelah akibat bersosialisasi tidak hanya dirasakan di tempat kerja saja. Ajang silaturahmi bersama teman yang sudah lama tidak bertemu juga bisa menjadi beban mental tersendiri.
“Saya masih suka kumpul bareng teman, tapi sekarang jadi gampang capek sehabis berinteraksi. Itu benar-benar menguras tenagaku,” ungkap Therese Reyes, rekan kerja yang mendapati caranya berinteraksi dengan orang lain berubah drastis akibat lockdown.
Kebanyakan orang telah menyesuaikan diri dengan rutinitas baru mereka selama pembatasan sosial dua tahun terakhir. Beberapa di antaranya kini lebih suka bersantai di rumah daripada bepergian.
“Saya sudah terbiasa dengan gaya hidup pandemi. Saya yakin banyak orang juga seperti ini, tapi saya pribadi sangat menyukai rutinitas,” kata Therese. “Dulu saya lebih suka main keluar, tapi itu berubah sejak pandemi.”
Selama lockdown, Therese biasanya mengisi waktu luang dengan nonton Netflix dan tidur siang. Kembali ke rutinitas sebelum pandemi berarti jatah bobo siangnya akan berkurang.
“Kadang saya kepengin banget tidur setelah makan siang di luar, tapi enggak bisa karena sedang tidak di rumah,” ujarnya. “Itulah sebabnya sekarang saya lebih betah di rumah.”
Bagi sebagian orang, rasa cemas untuk kembali ke lingkungan sosial telah menggantikan kekhawatiran tertular virus corona pasca PSBB. “Saya sulit merasa nyaman berada di tengah kelompok besar,” ucap Esha. “Saya cemas memikirkan tidak bisa nyambung dengan orang lain.”
“Akibatnya saya sungkan mengobrol dengan orang lain. Saya tidak bisa mengekspresikan diri sendiri… Saya akhirnya terlihat membosankan di depan orang.”
Psikolog Annabelle Chow sering bertemu klien yang mengalami hal serupa. Setelah dua tahun terbiasa melakukan segala sesuatu dari rumah, banyak yang enggan melepaskan gaya hidup tersebut.
“Wajar, kok, kalau kamu ingin bersantai di rumah dan malas ketemuan dengan orang lain. Tapi menurut saya, kita harus melihat sejauh mana keengganan itu menguasai diri kita,” terangnya, lalu menambahkan kemungkinan adanya masalah lebih serius jika kecemasan bersosialisasi sudah sampai membuatmu takut keluar rumah dan memengaruhi kualitas hidup. Apabila kejadiannya sudah seperti ini, kamu sebaiknya mencari bantuan profesional.
Menurut Annabelle, kamu bisa mulai dengan hal-hal kecil supaya lebih cepat terbiasa dengan kehidupan sosial sebelum pandemi. Misalnya seperti mengajak teman dekat bertemu di tempat yang sering dikunjungi dulu. Kamu bahkan berhak menetapkan batasan pribadi dan tidak perlu memaksakan diri berkumpul dengan mereka sepanjang hari.
“Lakukanlah secara perlahan dan pastikan kamu merasa nyaman. Kamu berhak pamit jika mulai kewalahan,” jelasnya. “Jadi aturlah waktu sesuai keinginan hatimu, dan buat keputusan dengan cara yang lebih terukur.”
Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.