Usai disebut oleh BEM Universitas Indonesia sebagai “King of Lip Service”, Presiden Joko Widodo menanggapi dingin kritikan tersebut. Presiden balas menyebut, “Kita memiliki budaya tata krama, memiliki budaya kesopansantunan”. Komentar RI-1 menyiratkan bahwa kritik mahasiswa terhadap dirinya dilakukan secara tidak sopan dan tidak sesuai tata krama.
Namun Jokowi sebagai sosok tertinggi pemerintahan yang mengklaim begitu menjunjung tinggi tata krama dan sopan santun, sejauh ini menolak untuk minta maaf kepada masyarakat atas kacaunya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia selama 1,5 tahun terakhir.
Desakan minta maaf itu mulai disinggung berbagai lembaga dan elemen masyarakat di media sosial, setelah kasus penularan Covid-19 harian menanjak sampai lebih dari 30.000 memasuki Juli 2021. Adapun jumlah kematian yang terekam pada Rabu (7/7) lalu tembus 1.040 jiwa. Selain angka kematian masyarakat, berdasar catatan terbaru LaporCovid-19, jumlah tenaga kesehatan (nakes) yang gugur selama pandemi setidaknya sudah mencapai 1.607 orang di seluruh Indonesia.
Salah satu insiator platfrom Lapor Covid-19, Irma Hidayana, menyatakan pemerintah selayaknya meminta maaf karena lonjakan kasus penularan dan kematian meningkat sejak Juni 2021, meski sudah ada prediksi dari para ahli.
“Sudah sering kita dengar para ahli menyampaikan masukan-masukannya terhadap situasi pandemi yang terjadi selama rentang waktu 1,5 tahun. Kami merasa bahwa apa yang terjadi di lapangan saat ini belum merefleksikan masukan, kritikan, tawaran kontribusi yang kami suarakan itu didengar dan diakomodasi serta diimplementasikan,” ujar Irma dalam diskusi daring LP3ES pada 5 Juli 2021. “Jadi mohon situasi yang sudah gawat darurat dan carut-marut ini diakui, minta maaf, dan memberikan bantuan konkret.”
Sosok yang diharap meminta maaf bukan hanya presiden. Masyarakat Yogyakarta di medsos turut mengkritik Sri Sultan Hamengkubuwono X, selaku gubernur DIY, yang dianggap gagal menyediakan dukungan bagi RSUP dr Sardjito pada saat terjadi kelangkaan pasokan oksigen. Pemerintah DIY lebih fokus melabeli laporan puluhan pasien yang meninggal di Sardjito akibat kekurangan oksigen sebagai hoax.
Selama pandemi, baru Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang tercatat meminta maaf secara terbuka. Namun itupun konteksnya untuk meluruskan informasi bahwa lembaganya memberi rapor ‘E’ bagi jajaran nakes provinsi DKI Jakarta saat menangani pandemi.
Menurut pengamat komunikasi politik, tradisi meminta maaf atas kegagalan kebijakan tidak lazim dilakukan pejabat Indonesia. Berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu saja mayoritas tidak direspons dengan permintaan maaf terbuka oleh rezim pascareformasi.
“Mereka [pemerintah] enggak akan minta maaf karena bukan tabiatnya, bukan tabiat mereka untuk mengakui kesalahan,” kata pengajar komunikasi politik Universitas Paramadina, sekaligus pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI), Hendri Budi Satrio kepada VICE.
“Salah satu karakteristik pemerintahan ini bukan minta maaf. Orang banyak yang meninggal karena Pemilu aja enggak minta maaf,” ujar Hendri, merujuk kepada 894 Petugas Pemungutan Suara (PPS) yang berpulang, mayoritas diduga akibat kelelahan, saat Pemilu 2019 lalu.
Sebagai perbandingan, saat 26 pasien Covid meninggal dalam sehari pada 12 Juni 2021, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen meminta maaf secara terbuka lewat akun Twitter resminya. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson juga meminta maaf kepada rakyat, ketika angka kematian akibat Covid-19 meningkat jadi 100.000 jiwa pada Januari 2021.
“Saya meminta maaf yang sedalam-dalamnya dan bertanggung jawab penuh atas nyawa-nyawa masyarakat Inggris yang hilang,” ujar Johnson seperti dikutip Telegraph. Pemimpin Jepang, Australia, dan Israel juga tercatat meminta maaf ketika gagal menanggulangi lonjakan kasus Covid-19 di negara masing-masing.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang kini berperan ganda sebagai pemegang kendali Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Luhut Binsar Pandjaitan, berdalih pemerintah tidak menyangka angka penularan virus SARS-CoV-2 meningkat drastis setelah libur Idul Fitri.
“Jujur kita juga tidak pernah memprediksi setelah Juni tahun ini keadaan ini terjadi lonjakan lagi, karena inilah yang kita ketahui baru. Jadi, banyak ketidaktahuan kita mengenai Covid ini, dan ternyata setelah bulan Juni ini kenaikannya luar biasa,” ujar Luhut saat konferensi pers minggu lalu.
Apa yang dikatakan Luhut menimbulkan tanda tanya. Sebab Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito sudah menyampaikan prediksi lonjakan kasus sejak Maret lalu. Lewat keterangan pers harian yang disiarkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Wiku menjelaskan berdasar pengalaman setahun sebelumnya, kasus akan naik usai libur Lebaran dan liburan panjang.
“Ini harus jadi motivasi kita bersama untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama pada tahun lalu di libur panjang yang akan datang,” kata Wiku kala itu.
Kegagalan dalam mengantisipasi keadaan, bahkan ketika sudah diingatkan oleh jajaran pemerintah sendiri, rupanya tidak juga diakui pemerintah pusat. “Mungkin mereka paham bahwa meminta maaf itu [mengakui] kalau ada yang salah, ada yang kurang,” kata Hendri.
Kenyataan ini, dilihat dari sudut pandang komunikasi politik, membuat pemerintah layak untuk diprotes. Beberapa tokoh penting dalam kabinet justru memperlihatkan sikap anti-kritik. Misalnya, saat jumpa pers di awal pekan ini, Luhut menyuruh masyarakat agar “tidak usah berkomentar macam-macam” sebab “pemerintah melakukan yang terbaik”.
Cara Luhut berkomunikasi dengan publik, menurut Hendri, bertolak belakang dengan tata krama atau sopan santun yang diagung-agungkan Presiden Jokowi. “Itu komunikasi arogansi,” tegasnya. “Itu arogansi semata, tidak mau menerima secara terbuka masukan dari masyarakat dan menganggap apa yang dilakukan sudah benar.”
Dia pun memberikan skor beragam soal bagaimana pemerintah membuat dan menyampaikan kebijakan mereka sejak awal pandemi yang sebenarnya semakin menunjukkan para pejabat publik dan politisi berutang permintaan maaf kepada rakyat.
Di permulaan, para menteri dan buzzer sibuk membantah Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia. “Bahkan, menteri kesehatan [Terawan] waktu itu mengatakan [Covid-19] bisa sembuh sendiri. Beberapa menteri bahkan bilang [virus corona] takut masuk sini [Indonesia] karena birokrasinya ribet,” tutur Hendri. “Jadi, [nilainya] not even five lah. Kalau kuliah itu not even D, jadi dianggap E aja.”
Butuh waktu lama bagi pemerintah untuk berbenah dan masih jauh dari kata kompeten. Hanya, dia melihat ada proses belajar yang patut diapresiasi hingga dia memberikan nilai enam. Pemerintah pusat dan daerah yang belum sepaham soal pandemi menambah rumit.
“Saya waktu itu ingat betul bagaimana gubernur Jakarta ingin melakukan pengetatan, kemudian enggak boleh sama pusat. Nah, itu menurut saya hal-hal yang menghambat pemberantasan corona,” lanjutnya.
Baru menjelang pengujung 2020, Jokowi mulai menunjukkan lebih serius dalam menyampaikan kebijakan, walau masyarakat masih dibiarkan limbung dan terpaksa mencari informasi sendiri. Namun, di masa ini juga publik dibuat terperangah atas perilaku mantan Menteri Sosial Juliari Batubara menilap dana bansos penanganan pandemi.
Delapan adalah nilai tertinggi yang diberikan Hendri soal komunikasi antar lembaga pemerintah, khususnya ketika PPKM Darurat berlaku. Untuk komunikasi pemerintah kepada masyarakat, dia merasa enam adalah skor terbaik. Itu pun dengan catatan merah.
“Saya enggak mengerti kenapa untuk menangani Covid ini pemerintah selalu dekat dengan yang namanya upacara,” kata dia. Netizen sempat mengkritik seremonial pengiriman vaksin Sinovac pada awal tahun ini yang justru menimbulkan kerumunan.
Ditambah lagi dengan komentar-komentar pejabat pemerintah soal Ivermectin yang merupakan obat cacing. BPOM tidak memasukkannya ke dalam obat untuk merawat pasien Covid-19, tetapi Menteri BUMN Erick Thohir justru gencar mempromosikan, bahkan meminta perusahaan farmasi menggenjot produksi.
“Kenapa anak buahnya Pak Jokowi rebutan promo obat cacing?” tanya Hendri, yang menyebut dia sebagai salah satu “orang yang sama sekali tidak punya kompetensi” untuk menentukan kelayakan obat-obatan.
Tidak adanya niat pemerintah untuk berkomunikasi secara transparan dan jelas, serta menerima dengan lapang dada kritik maupun saran dari publik, malah menimbulkan kebingungan.
Level kegagalan komunikasi publik oleh pemerintah sampai membuat dokter sekaligus influencer medsos dari Amerika Serikat, Faheem Younous, sengaja mengirimkan cuitan dalam Bahasa Indonesia sepekan terakhir untuk meluruskan berbagai disinformasi Covid. Termasuk soal mubazirnya penyemprotan desinfektan dan belum jelasnya manfaat ivermectin. Tak sedikit netizen dalam negeri yang memuji Faheem Younus karena lebih cakap dalam menyampaikan informasi seputar Covid dibanding pemerintah Indonesia sendiri.
Sayangnya permintaan maaf yang dituntut masyarakat sepertinya sulit terwujd. Sebab, minta maaf di Indonesia tidak ditempatkan sebagai implikasi kegagalan pelayanan, namun ada bobot besar kalkulasi politik. Seakan-akan minta maaf membuat wibawa penguasa melemah. Pandangan itu, menurut pakar komunikasi politik, perlu segera diubah oleh pemerintah.
“Minta maaf itu untuk menenangkan publik. Banyak pemimpin yang minta maaf enggak dianggap lemah kok,” urai Hendri. “Justru ketika Anda minta maaf, Anda dianggap ada sisi di rakyat, Anda lebih memiliki empati kepada rakyat. Itu mungkin yang tidak disadari [pemerintah] saat ini.”