Kepolisian menggerebek dan menangkap John Refra Kei di rumahnya di Kota Bekasi, Jawa Barat, bersama dengan puluhan anak buahnya usai keributan di Tangerang, Banten, yang diwarnai penembakan, penganiayaan dan perusakan. Publik sudah mengenal keterlibatan John Kei dalam dunia preman. Insiden itu menambah panjang catatan sejarah Indonesia terkait premanisme.
Karakteristik preman (sering juga disebut ‘jago’ atau ‘jawara’) sudah diketahui sejak masa penjajahan Belanda. Bentrok berdarah yang melibatkan kelompok preman kerap terjadi. Sejarah mencatat pertikaian besar melibatkan preman, misalnya, kelompok pimpinan Hercules, Ucu Kambing, dan Lulung.
Karena sifat premanisme yang tidak terlihat dan tersembunyi (laten), peristiwa serupa berpotensi berulang di waktu yang akan datang. Apa itu premanisme, dan mengapa orang-orang terlibat di dalamnya?
Preman merupakan istilah untuk menyebut individu yang aktivitas kesehariannya melakukan perampokan atau pemerasan. Terminologi ini pada awalnya cenderung bias kelas karena hanya digunakan dalam melabel perbuatan bramacorah (penjahat berulang) kelas bawah atau maling-maling kecil yang biasa melakukan aksi kejahatannya di jalanan.
Kekerasan preman secara berkelompok umumnya disebabkan karena benturan kepentingan usaha dengan nilai rupiah yang tidak sedikit. Dalam teks-teks akademis, istilah untuk preman yang sering digunakan antara lain adalah “gangster” , “bandit”, “mafia”, dan “kelompok kriminal terorganisasi” (organized crime).
Perbedaan antara istilah-istilah tersebut memang cenderung longgar. Konsep organized crime kemudian dibatasi pada sifat pelaku yang berkelompok, berorientasi profit, serta adanya unsur aktivitas utama sebagai penyedia barang atau jasa ilegal.
Menurut Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Narkoba dan Kejahatan (United Nations Office on Drugs zand Crime, UNODC) suatu kelompok kriminal layak disebut organized crime bila memenuhi lima kriteria.
Kriteria itu adalah berorientasi pada keuntungan usaha; telah terorganisasi dalam periode yang lama; kerap menggunakan kekerasan dan menyuap aparat; mendapatkan keuntungan yang besar dari penyediaan jasa atau barang ilegal; dan melakukan perluasan bisnis jahat ke sektor bisnis formal.
Organized crime umumnya melakukan ekspansi ke sektor bisnis formal untuk memudahkan penyamaran saat melakukan pengiriman dan penyelundupan barang/jasa ilegal.
Ekspansi ke sektor legal juga akan memudahkan organized crime dalam mendapatkan bahan baku produk yang akan dijual kembali. Misalnya, bagi kelompok yang memproduksi narkoba, identitas palsu sebagai perusahaan bidang farmasi atau kesehatan akan memudahkan kelompok itu dalam memperoleh bahan baku narkoba.
Ekspansi ke sektor bisnis sah juga dilakukan sebagai bentuk diversifikasi usaha. Yakuza – kelompok organized crime tertua di Jepang – misalnya, melakukan berbagai aktivitas bisnis legal mulai dari properti, konstruksi, hiburan, hingga bisnis asuransi.
Preman dan organized crime bisa juga dilihat secara bukan sebagai dua fenomena yang berbeda, namun sebagai bagian dari fase pertumbuhan kelompok. Suatu kelompok organized crime yang solid dan berpengaruh lazimnya berawal dari kelompok geng dengan jumlah anggota terbatas dan awalnya hanya melakukan kejahatan-kejahatan ringan.
Pada awalnya, bisnis utama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok preman di kota besar Indonesia adalah penjagaan keamanan suatu kawasan tertentu seperti lahan parkir, tempat hiburan, dan pasar. Dalam perkembangannya, sebagian individu yang bergabung dalam kelompok preman direkrut ke dalam bisnis jasa penagihan utang.
Individu-individu tersebut dianggap mampu untuk membantu industri perbankan atau perusahaan kredit dalam menagih para debitur yang telat atau tidak membayar tagihan utang. Meskipun aktivitas penagihan utang itu legal, beberapa laporan menyebutkan adanya penyimpangan karena mereka kerap menggunakan cara-cara intimidatif.
Aktivitas penagihan utang dengan cara-cara preman bukan hanya fenomena di Jakarta. Praktik kekerasan dalam penagihan utang, misalnya terjadi di Surabaya, Jawa Timur, dengan korban pengemudi ojek online. Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Palembang, Sumatra Selatan, ketika penagih utang menodongkan pistol kepada seorang warga yang menunggak pembayaran angsuran kredit sepeda motor selama dua bulan.
Bisnis-bisnis para preman memiliki konsumen sendiri meskipun sebagian risikonya adalah hilangnya rasa aman publik.
Karir kriminal
Motivasi seseorang untuk bergabung dalam kelompok preman umumnya didasari dengan pertimbangan rasional. Tujuan utamanya adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi. Keterlibatan seseorang dalam bisnis kriminal adalah pemenuhan materi dan tidak pernah benar-benar dilatari oleh faktor ideologi atau keyakinan tertentu.
Sama halnya dengan proses meningkatkan karir di dunia legal, para preman perlu melakukan sejumlah pencapaian tertentu untuk meraih posisi puncak dalam karir kriminalnya. Mereka menganut dua prinsip kunci: menyelesaikan tugas dan menunjukan loyalitas.
Penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh anggota kelompok kriminal merupakan salah satu cara “naik pangkat”. Aktor-aktor dalam bisnis kriminal menjadikan momen-momen bentrok kekerasan sebagai ujian kenaikan kelas.
Di mata negara, apabila seorang preman terlibat dalam tindak kekerasan, maka ia akan didakwa melanggar hukum dan diberikan sanksi. Namun bagi atasan dan kelompoknya, melakukan kekerasan adalah simbol keberanian dan loyalitas. Dalam bisnis kriminal, seorang justru akan lebih dihormati ketika ia pernah menjalani hukuman atas cara-cara kekerasan yang pernah ia lakukan.
Latar belakang etnis dan budaya juga memiliki peran tersendiri dalam premanisme. Atribut kultural seperti etnis, bahasa, dan kebiasaan seringkali menjadi prasyarat keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok kriminal, sekaligus mempengaruhi keberhasilan karirnya dalam dunia kejahatan.
Secara teknis, kesamaan atribut-atribut kultur akan memudahkan dan mempercepat proses sosialisasi nilai-nilai di dalam kelompok kriminal. Sebab itulah, klaster kelompok kriminal di kota-kota besar Indonesia secara alamiah terbentuk berdasarkan etnis.
Dimensi kultural ini juga lekat dalam konteks bisnis kriminal di Amerika Serikat (AS). Cosa Nostra misalnya, salah satu kelompok kriminal terbesar di AS, mensyaratkan keanggotaan intinya harus seorang yang berasal dari keturunan Sicilia.
Di Indonesia, hubungan kultural antar-individu dalam kelompok kriminal membuat persoalan premanisme menjadi kian kompleks. Benturan antar-kelompok kriminal karena alasan-alasan material dapat disulut menjadi konflik antar-etnis.
Masalah kesejahteraan
Motivasi kuat para individu untuk meraih keuntungan material ditambah faktor kultural dalam kelompok kriminal membuat bisnis preman mengakar di tengah keseharian masyarakat. Kita tidak bisa melihat masalah premanisme ini secara sebagian-sebagian.
Kekeliruan dalam melihat akar persoalan premanisme akan menimbulkan bencana yang lebih besar dibanding premanisme itu sendiri. Pemerintah Indonesia di masa lalu diduga pernah menerapkan kebijakan yang keliru dalam mengatasi premanisme.
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2012 merilis laporan atas insiden penembakan misterius (disingkat menjadi petrus) yang dilakukan institusi keamanan terhadap orang-orang dengan ciri-ciri preman.
Jumlah korban meninggal akibat penembakan yang berlangsung pada rentang waktu 1982-1985 adalah 167 orang. Negara tidak boleh kalah dengan preman. Namun negara tidak boleh pula merespons premanisme dengan cara-cara preman.
Penegakan hukum terhadap tindakan premanisme yang telah berjalan perlu terus dilakukan, namun tidak cukup sampai di sana. Dalam penangkapan bulan lalu, John Kei diduga kembali terlibat dalam aktivitas kriminal setelah berulang kali masuk penjara.
Ini adalah salah satu indikator tidak efektifnya penanganan premanisme yang tidak menyeluruh. Pemerintah perlu menanggulangi premanisme secara komprehensif dengan melihat masalah ini sebagai masalah kesejahteraan.
Pertama, pemerintah harus memulai dari penyelenggaraan pendidikan yang merata dengan kualitas maksimal dan akses seluas-luasnya.
Dengan demikian, anak-anak muda di seluruh Indonesia dapat menjangkau dan terlibat dalam proses pendidikan yang mengembangkan diri dan potensinya secara optimal.
Kedua, pemerintah perlu serius dalam menciptakan lapangan kerja yang terdistribusi secara merata.
Apabila anak-anak muda dapat berkarya secara sah dan produktif, mereka tidak perlu pindah ke kota untuk mengajukan diri menjadi bagian dari kelompok John atau kelompok-kelompok preman lainnya.
Mengabaikan persoalan laten ini artinya menciptakan iklim yang kondusif bagi kelompok-kelompok preman untuk tumbuh menjadi kelompok organized crime yang mapan.
Bhakti Eko Nugroho adalah staf Pengajar Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.