Korik Akbar, pemuda 20 tahun asal Lombok Tengah, jadi perbincangan nasional setelah beritanya menikahi dua perempuan sekaligus viral. Korik mengajak kedua pacarnya, Nur Khusnul Kotimah (20) dan Yuanita Ruri (21), menikah bersamaan. Rupanya ia tidak memberitahukan niatan poligami kepada kedua pacarnya itu, sampai prosesi merariq alias kawin lari dalam bahasa setempat, dilakukan.
“Saya tidak kasih tahu. Setelah di rumah, keduanya baru tahu mereka dimadu. Kita sama-sama pernah menikah, namun telah cerai,” kata Korik dilansir Detik.
Khusnul mengaku “diculik” ke rumah Korik sebagai bagian dari prosesi adat merariq, praktik umum Suku Sasak. Namun, beberapa menit setelah tiba di rumah keluarga Korik, Yuanita ternyata ikutan datang. Khusnul mengaku pasrah dengan keputusan Korik yang turut mengakomodasi kepentingan mantannya itu.
“Dia [Yuanita] tahu kami menikah dari Facebook karena banyak kawan yang memposting ucapan selamat. Karena info dari medsos itulah madu saya itu [Yuanita] tiba-tiba datang minta dinikahkan juga. Saya ya bisa apa, namanya sudah takdir, saya terima saja,” cerita Khusnul saat dihubungi Kompas, Selasa (27/7).
Sebelumnya, VICE sudah pernah menulis kalau praktik menikahi dua perempuan sekaligus berulang kali terjadi di Indonesia. Pernikahan semacam ini pernah berlangsung di Kalimantan Barat sampai Sumatra Selatan. Tapi Pulau Lombok, NTB, punya posisi cukup unik, karena pernikahan ganda macam ini lumayan sering terjadi. Seriusan. Beberapa contoh yang bisa Anda baca sendiri misalnya Manum pada 2016, Hasan Basri pada 2016, AB pada 2018, Ahmad Rizal pada 2020, atau Syaiful Bahri pada 2020.
Sedikit trivia soal cerita pernikahan ganda Syaiful. Camat setempat mengaku kejadian satu lelaki menikahi dua perempuan sekaligus di wilayahnya sudah tiga kali terjadi. Buset….
VICE menghubungi Direktur Eksekutif Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Nusa Tenggara Barat (PKBI NTB) Akhmad Hidayat untuk memahami adakah alasan di balik fenomena sosial unik tersebut. PKBI adalah LSM yang mengampanyekan cara membangun ketahanan keluarga yang bagus, toleran, dan menjunjung tinggi pemenuhan hak asasi setiap individu.
Pertanyaan kami kepada Akhmad: Apakah ada aspek peran budaya dalam kultur poligini macam ini yang subur di Lombok?
“Menikahi langsung dua orang itu bukan budaya [setempat], tetapi di prosesnya melibatkan budaya,” kata Akhmad saat dihubungi VICE. Untuk memahami isu, Akhmad menjelaskan tentang dua cara menikah yang lazim di Lombok.
Cara pertama standar seperti lumrahnya pernikahan Indonesia kebanyakan. Salah satu keluarga calon mempelai datang, melamar, lalu membicarakan pernikahan.
Kedua, dengan budaya merariq atau kawin lari. Prosesnya, calon mempelai perempuan “diculik” calon mempelai laki-laki ke rumah keluarga pihak laki-laki dan tidak dipulangkan. Pemangku adat, dalam hal ini kepala dusun setempat, lantas memberi tahu kepala dusun tempat keluarga perempuan tinggal bahwa sang anak perempuan telah “diculik” dan harus segera dinikahkan, proses ini dinamakan selabar. Dari sana, pernikahan lantas dilakukan.
“Ada banyak faktor yang membuat mereka memilih merariq. Bisa saja karena secara ekonomi pihak perempuan dinilai [dalam konteks budaya] harusnya memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga pestanya harus besar, sementara mungkin pihak laki-laki tak sanggup sehingga agar tidak mempermalukan pihak perempuan, jadi dilarikan. Begitu praktiknya di sini,” urai Akhmad.
PKBI melihat setidaknya ada tiga hal yang memengaruhi maraknya kawin ganda di Lombok. Pertama, dalam beberapa kejadian, ada ketidakjujuran. Akhmad memberi contoh pihak perempuan tidak tahu bahwa dia akan menikahi laki-laki yang juga punya calon lain dan baru tahu ketika sudah sampai di keluarga pihak laki-laki.
“Kami mau bilang ini penipuan tapi [cukup rumit sebab] secara budaya akan menghina atau tidak,” jelas Akhmad.
Kedua, dalam proses kawin lari, nilai yang dibangun di masyarakat Lombok mengatakan bahwa ketika sudah dilarikan, maka pantang pulang sebelum menikah. Artinya, apabila calon mempelai perempuan minta dipulangkan, bisa menjadi konflik antarkeluarga. Ada semacam tekanan psikis yang diberikan kepada perempuan agar menikah saja daripada berkonflik.
“Sampai ada statement ke dia [calon mempelai perempuan] kayak, ‘Ini kalau kamu pulang, nanti keluarga bisa berkonflik dan kamulah penyebabnya,’” ujar Akhmad.
Ketiga, banyak kejadian pernikahan terjadi di usia muda sehingga PKBI melihat kapasitas perempuan setempat menolak keputusan lelaki yang tidak mereka inginkan sangat rendah. Perempuan kerap terjebak dalam situasi, namun seolah-olah tidak punya pilihan untuk menolak, sehingga harus pasrah dengan keadaan.
Untuk mulai menekan kawin anak dan kawin ganda di Lombok, PKBI bekerja sama dengan budayawan dan Dinas Perlindungan Anak setempat sudah membuat panduan merariq. Pendekatan adat dilakukan, salah satunya dengan menentukan standar perempuan bisa melakukan prosesi ini. Perempuan dikatakan dewasa secara adat apabila sudah menyelesaikan tenunan sebanyak 144 lembar dengan berbagai macam motif.
“Kalau kita konversi ke usia, mereka baru belajar menenun di usia 10 tahun dan mampu menyelesaikan satu tenunan setiap bulan. Sehingga kalau dihitung, 144 tenunan membutuhkan 12 tahun. Jadi, idealnya perempuan menikah setelah usia 20 tahun,” jelas Akhmad. “Dalam konteks sekarang, minimal mereka menyelesaikan pendidikan D-3 atau kalau lulusan SMA, dia sudah punya pekerjaan dan minimal bekerja 2-3 tahun. Artinya, secara psikis matang, secara fisik sehat, dan secara ekonomi juga sudah mampu mengelola keuangan keluarganya sendiri.”
PKBI juga mendorong para kepala dusun untuk bisa menolak pernikahan anak kalau anak perempuannya masih muda atau tidak bersedia. “Cuma yang kami bingungkan, gimana sisi pencatatan perkawinannya. Kalau tidak tercatat [di Dinas Kependudukan karena mempelai memilih kawin siri], kan enggak bisa punya dokumen kependudukan. Sekarang kan lagi pandemi, bagaimana cara mereka mengakses bantuan sosial?”
Tentu tidak semua kasus kawin ganda terjadi lewat merariq. Pada kasus Ahmad Rizal (18) misalnya, tim lapangan PKBI mencatat kawin ganda terjadi karena sudah terjadi kehamilan pranikah sehingga keluarga pihak perempuan minta pertanggungjawaban kepada keluarga laki-laki meski sang anak sudah memiliki istri.
“Kontrol sosial di Lombok itu kuat banget. Dalam banyak kasus perkawinan anak yang terjadi, salah satu alasan anak bersedia diminta menikah adalah menghindari gosip atau omongan dari tetangga,” tutup Akhmad.