JAKARTA-Untuk yang kedua kalinya Santoso anggota DPR RI Fraksi Partai Drmokrat daerah pemilihan DKI Jakarta III menyelenggarakan kegiatan Diskusi Publik tentang Jakarta Pasca Tidak Lagi Sebagai Ibunkota NKRI. Kegiatan Diskusi Publik yang ke dua ini diselenggarakan di Saung Jambu – Kel. Srengseng, Jakarta Barat. Dengan pembicara Santoso dan Dr. Usni Hasanuddin Kaprodi Fisip Universitas Muhammadiyah Jakarta. Diikuti oleh peserta dr pengurus parpol, ormas, Forum RT/RW di tingkat Jakarta Barat.
Para peserta sangat antusias mengikuti Diskusi Publik itu sampai pertanyaan dibatasi mengingat waktunya mendekati sampai menjelamg adzan maghrib. Antusiame peserta adalah setelah dipaparkan oleh Dr. Usni Hasanuddin maupun oleh Santoso bahwa dengan tidak lagi berstatus sebagai ibukota NKRI maka otonomi daerah di Jakarta harus dikembalikan di tingkat kota/kabupaten sesuai dengan UUD 1945.
Dimana dalam UUD 1945 pasal 18 disebutkan :
1) NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang.
2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing masing sebagai kepala pemrintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.
Dengan Walikota dipilih langsung melalui Pilkada dan adanya DPRD Kota maka penanganan masalah rakyat di tiap Kota di Jakarta akan cepat tertangani. Karena Walikota memiliki anggaran serta kewenangan penuh dalam mengelola anggaran dan program. Tidak seperti saat ini dimana Walikota hanya bersifat tenaga administrasi Gubernur karena tidak dipilih melalui Pilkada. Pengelolaan APBD yang cukup besar oleh Gubernur tiap tahunnya tidak terserap secara maksimal untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat mengingat Selisih Penggunaan Anggaran (Silpa) selalu di ats 5 trilyun setiap tahunnya. Ini sangat ironi karena dana Silpa itu selalu digunakan untuk Penyertaan Modal Daerah (PMD) kepada BUMD DKI Jakarta. Tiap tahun BUMD DKI Jakarta dapat kucuran dana trilyunan sementara masih banyak rakyat Jakarta yang masih sulit berobat, tidak punya uang untuk sekolah, tidak memiliki rumah dll dalam rangka pemenuhan kehidupan dasar.
Dr. Usni Hasanuddin menambahkan jika terjadi Pilkada dalam memilih Walikota di Jakarta maka wilayah kota di Jakarta diperkecil yang tadinya ada 5 kota dan 1 kabupaten menjadi 2 kota dan 1 kota administrasi. Yakni kota Jakarta Utara digabung bersama dengan Jakarta Barat serta Kep. Seribu, kota Jakarta Timur digabung dengan beberapa kecamatan di Jakarta Selatan dan kota Administrasi terdiri dari Jakarta Pusat digabung dengan beberapa kecamatan di Jakarta Selatan. Ini dilakukan untuk memperluas cakupan sebuah kota beserta jumlah penduduknya dalam rangka sumber Pendatapan Asli Daerah (PAD) senagai sumber APBD intuk membiayai pemerintahan dan peningkatan kesejahteraan rakyat di kota tersebut.
Rakyat Jakarta harus mendukung program Walikota dipilih langsung melalui Pilkada dan pemerintahan presiden Jokowi juga memiliki kewajiban mewujudkannya. Karena pilkada melikih Walikota adalah suatu keharusan berdasarkan UUD 1945 dimana takyat memiliki kedaulatan dalam melilih kepala daerahnya. Demikian kesimpulan yang disampaikan oleh H.M. Ihsan selaku moderator dalam Diskusi Publik yang juga sebagai Ketua Umum DPP Forkabi.