Sebanyak 19 mahasiswa Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (PKN STAN) memperkarakan kampus mereka ke meja hijau. Gara-garanya, sekolah kedinasan di bawah Kementerian Keuangan tersebut telah mengeluarkan (drop out) 69 mahasiswa dengan alasan nilai mereka di bawah standar minimal.
Sembilan belas mahasiswa di antaranya lalu menggugat keputusan STAN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang, Provinsi Banten, karena merasa keputusan kampus tidak adil. Mereka mengaku mendapat nilai buruk disebabkan situasi pandemi yang membuat proses belajar tidak maksimal.
Pihak tergugat adalah Direktur PKN STAN Rahmadi Murwanto. Isi gugatan meminta tergugat menunda pengumuman hasil ujian yang dipakai sebagai landasan DO pada 17 Maret 2021. Perkara didaftarkan pada 14 Juni lalu, dengan nomor perkara 37/G/2021/PTUN.SRG.
“Kami merasa bahwa proses PJJ [pembelajaran jarak jauh] mempersulit pembelajaran, dan kami memohon agar STAN bisa memberikan kebijakan khusus kepada mahasiswa selama penerapan PJJ. Kami berharap STAN mengindahkan pernyataan Bapak Menteri Pendidikan,” ujar Bernika Putri Ayu Situmorang, salah satu mahasiswa penggugat, dalam keterangan resmi yang dirilis Selasa (15/6).
Aturan di STAN menetapkan IP minimal mahasiswa di angka 2,75 dan tidak boleh ada nilai D pada mata kuliah tertentu. Mereka yang gagal kemudian masuk daftar drop out di pengujung semester tanpa diberi kesempatan remedial. Keputusan DO dari STAN lantas dianggap merugikan mahasiswa secara finansial, karena para mahasiswa yang terdepak diminta membayar ganti rugi yang bisa berjumlah puluhan juta rupiah.
STAN adalah sekolah kedinasan yang tidak menarik biaya kuliah sama sekali ke pesertanya. Tapi, bila mahasiswa mundur di tengah jalan, atau gagal menyelesaikan kuliah, maka kampus di bawah naungan Kementerian Keuangan itu lazimnya meminta pengembalian biaya sesuai lama masa studi. Berkat status kedinasan itu, PKN STAN menjadi incaran banyak pelajar di Indonesia, karena selain bebas biaya dengan sekian prasyarat, lulusannya langsung menjadi pegawai berbagai direktorat Kementerian Keuangan.
Putri, selaku wakil mahasiswa yang menggugat PKN STAN, menyatakan perkuliahan jarak jauh menyulitkannya. Bukan hanya susah untuk mengerti materi dari pengajar, ada faktor lain seperti sinyal internet yang kurang memadai. Kuasa hukum penggugat, Damian Agata Yuvens menjelaskan, PKN STAN dinilai tidak bijak men-DO mahasiswa ketika proses pembelajarannya sendiri tidak maksimal.
Mengenai pernyataan Mendikbudristek Nadiem Makarim yang dimaksud Putri, Nadiem memang pernah meminta kampus tidak mengeluarkan mahasiswanya selama pandemi. Imbauan itu ia sampaikan ketika bicara di webinar Pentahelix Kemendikbud bersama Universitas Negeri Surabaya, Agustus 2020.
“Yang penting enggak boleh ada yang drop out, mahasiswa semuanya harus terus sekolah, harus terus bisa mendapatkan pendidikannya dan tidak boleh ada yang sampai drop out. Itu yang jadi salah satu hal yang kita jaga bersama,” ujar Nadiem dalam webinar. Satu hal yang perlu dikhawatirkan penggugat ialah konteks “jangan sampai drop out” diutarakan Nadiem merujuk pada biaya kuliah, bukan kegagalan memenuhi standar nilai. Selain itu STAN juga bukan berada di bawah wewenang Kemdikbudristek.
Selain dibandingkan dengan pernyataan Nadiem, penggugat menilai keputusan STAN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Asas ini kurang lebih landasan perbuatan pemerintah yang harusnya ditujukan untuk kesejahteraan umum.
Menyikapi tuntutan eks-mahasiswa, Rahmadi menolak berkomentar lebih jauh sebab belum mempelajari substansi gugatan lebih jauh. “Saya sedang mempelajari karena saya baru diangkat kembali sebagai direktur. Kebetulan urusan ini ditangani langsung oleh tim hukum Kemenkeu, jadi saya belum bisa bicara banyak,” ujar Rahmadi saat dikonfirmasi CNN Indonesia.
Rencana mahasiswa gugat kampus karena tidak terima dikeluarkan juga tengah terjadi di Universitas Teknokrat Indonesia (UTI), Bandar Lampung. Melalui pendampingan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung, enam mahasiswa berencana menyeret kampusnya ke PTUN Bandar Lampung. Pihak UTI sendiri mengatakan, keputusan DO diambil karena IPK mahasiswa rendah dan aktivitas mereka telah mencemarkan nama baik kampus karena berpotensi bersifat “ekstremis dan radikalis”.
LBH menolak segala tuduhan sebab IPK mahasiswa yang dimaksud tidak pernah di bawah standar. “Sehingga pemberian sanksi DO dan skorsing kepada sembilan mahasiswa diduga cacat prosedur, karena pemberian sanksi dilakukan tanpa adanya teguran sama sekali dan tidak bersifat kekeluargaan seperti apa yang telah diklaim oleh kampus,” ujar Kepala Advokasi LBH Bandar Lampung Kodri Ubaidillah kepada RMOL Lampung, 3 Mei lalu.