Pada April 2021, Indonesia digemparkan dengan kasus perkosaan yang dilakukan oleh seorang perempuan berusia 28 tahun terhadap seorang laki-laki usia 16 tahun di Probolinggo, Jawa Timur. Korban mengaku bahwa ia dicekoki minuman keras oleh pelaku sebelum akhirnya diperkosa.
Pada tahun yang sama, publik kembali dihebohkan oleh kasus kekerasan seksual yang menimpa seorang laki-laki pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dilakukan oleh rekan kerjanya yang juga sesama laki-laki. Delapan orang pelaku dipecat karena kasus tersebut. Sementara itu, korban masih menjalani proses penyembuhan dari depresi akut.
Laki-laki juga rentan menjadi korban kekerasan seksual di ranah siber. Salah seorang stand-up comedian Indonesia mengaku sering menerima pesan melalui direct message di akun sosial medianya berisi ajakan berhubungan seksual dan foto alat kelamin oleh sesama laki-laki, yang dilakukan tanpa consent.
Banyak data membuktikan bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan seksual. Namun, contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual.
Bagi perempuan, saluran-saluran untuk mencari perlindungan dari kekerasan seksual sudah relatif lebih beragam. Bagi laki-laki, mencari tempat perlindungan dan rasa aman di ruang publik menjadi jauh lebih sulit.
Budaya maskulinitas beracun (toxic masculinity) yang dilahirkan oleh masyarakat patriarki diyakini menjadi tabunya kenyataan bahwa laki-laki dapat menjadi korban kekerasan seksual.
Budaya patriarki membangun konstruksi bahwa laki-laki merupakan sosok yang kuat, dominan, serta memiliki posisi tawar (bargaining position) dan kuasa (power) yang lebih atas perempuan, sehingga mustahil mengalami kekerasan seksual.
Terkait hal ini, sudah semestinya agenda dan upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual tidak menjadi kepentingan perempuan saja, tapi juga lintas gender dan orientasi seksual.
Rentannya laki-laki menjadi korban kekerasan seksual
Sepanjang 2019, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menerima 60 laporan kasus kekerasan seksual siber. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah pengiriman video seksual tanpa consent.
Studi yang dilakukan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) pada 2020 menunjukkan ada 33 persen laki-laki dan 67 persen perempuan yang mengalami kekerasan seksual.
Survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) terhadap 62.224 responden tahun 2018 juga menunjukkan bahwa 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual.
Sementara itu, data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2018 juga menunjukkan ada 60 persen anak laki-laki dan 40 persen anak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Kejadian ini seolah menjadi fenomena baru, karena rendahnya tingkat pengaduan oleh laki-laki, bukan akibat rendahnya tingkat kasus yang terjadi.
Memang, berdasarkan data, jumlah laki-laki korban kekerasan seksual relatif lebih sedikit dibandingkan perempuan, sehingga diskusi terkait hal ini di ruang publik masih belum dominan.
Budaya patriarki, toxic masculinity
Glorifikasi sifat maskulin menjadi bumerang bagi laki-laki. Konstruksi sebagai mahluk superior membuat laki-laki korban kekerasan meragukan, bahkan menyangkal, pengalaman mereka sendiri. Seringkali mereka justru memperoleh stigma yang menantang maskulinitas mereka – dianggap payah, kurang macho, dan bukan laki-laki seutuhnya.
Lalu, ketika laki-laki akhirnya berani menyuarakan pengalamannya sebagai korban, publik malah meragukannya. Anggapan bahwa laki-laki adalah makhluk yang agresif secara seksual membuat mereka kerap kali dituding “menikmati keuntungan” dari kekerasan seksual yang menimpanya.
Gambaran semacam ini membuat laki-laki selalu diidentikkan sebagai pelaku, sementara perempuan adalah korban. Padahal, kekerasan seksual terjadi ketika ada perbuatan seksual yang dilakukan dengan cara memaksa atau tanpa persetujuan akibat relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban dan, karenanya, dapat menimpa siapa pun.
Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh lagi menafikkan bahwa laki-laki juga berpotensi menjadi korban.
Laki-laki harus terlibat upaya penghapusan kekerasan seksual
Sudah tidak relevan lagi anggapan upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual hanya agenda dan perjuangan perempuan. Laki-laki juga harus ikut terlibat.
Hal pertama yang dapat dilakukan laki-laki adalah meruntuhkan toxic masculinity, dengan sepenuhnya meyakini bahwa mereka sangat mungkin menjadi korban kekerasan seksual. Dengan demikian, laki-laki tidak akan ragu mencari tempat perlindungan dan ruang aman ketika menyadari dirinya menjadi korban. Kemudian, perlu lebih banyak narasi dan diskusi tentang pengalaman korban kekerasan seksual lintas gender.
Bisa dipahami jika narasi tentang laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual belum banyak diterima, mengingat feminisme, baik sebagai sebuah studi maupun gerakan, pertama kali muncul untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, hak yang menurut sejarahnya dirampas oleh struktur dan kultur patriarki yang biasanya melekat pada laki-laki sebagai sumber penderitaan yang dialami perempuan.
Namun, pada masa kini, diskusi tentang laki-laki dan perempuan pun perlu dibawa ke arah yang lebih cair dan diskursif, juga mempertimbangkan pengalaman kelompok gender non-biner. Di Indonesia, ada gerakan “Aliansi Laki-laki Baru” yang merupakan contoh paling baik terkait upaya menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual dengan menggandeng tangan laki-laki.
Gerakan ini giat mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender dengan menyasar laki-laki sebagai subjeknya. Laki-laki diajak untuk merefleksikan kembali maskulinitas beracun di dalam diri mereka yang kerap kali menjadi sumber permasalahan.
Kemudian, ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan oleh parlemen pada 12 April lalu, yang menjadi instrumen kunci untuk perjuangan pemberantasan kekerasan seksual. Undang-Undang ini sudah resmi diteken oleh Presiden Joko Widodo sebagai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 pada 9 Mei 2022.
UU TPKS menyediakan ruang yang lebih emansipatif untuk melindungi seluruh korban kekerasan seksual, baik perempuan, laki-laki maupun kelompok gender non-biner. UU TPKS juga menyediakan payung hukum yang komprehensif yang tidak hanya mencakup upaya pencegahan, melainkan juga penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Bagaimanapun juga, laki-laki perlu terlibat lebih aktif dalam perjuangan memberantas kekerasan seksual. Bukan hanya untuk menolong diri mereka sendiri ketika menjadi korban, tapi karena perjuangan ini memerlukan kerja sama seluruh kelompok gender.
Rizka Antika adalah Program Officer Promoting Tolerance and Respect for Diversity, International NGO Forum on Indonesian Development (INFID); Abdullah Faqih adalah Junior Researcher di SMERU Research Institute; Intan Kusumaning Tiyas adalah mahasiswa master di Erasmus University Rotterdam yang turut terlibat dalam penelitian ini.
Artikel ini pertama kali tayang di The Conversation Indonesia dengan lisensi Creative Commons. Baca artikel aslinya di sini.