Berita  

Kebijakan Kominfo Soal PayPal Dianggap Ketidakpahaman Pada Realitas Pekerja Lepas

kebijakan-kominfo-soal-paypal-dianggap-ketidakpahaman-pada-realitas-pekerja-lepas

Memasuki Agustus 2022, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berkukuh dengan keputusan memblokir platform digital yang belum melakukan registrasi Penyelenggaraan Sistem Elektronik (PSE). Aturan hasil dari implementasi Permenkominfo No.5/2020 ini memicu protes keras dari warganet sepanjang 30 Juli hingga 1 Agustus, ditandai dengan terus trending-nya tagar #BlokirKominfo. Kritik atas kebijakan ini terutama berpusat pada pemblokiran PayPal, yang menjadi sarana pekerja lepas (freelancer) di Internet untuk mencari nafkah.

PayPal untuk sementara telah dibuka lagi akses blokirnya selama lima hari, alias hingga 5 Agustus 2022. Namun jika perusahaan transfer dana lintas negara tersebut tidak juga mendaftar PSE, Kominfo mengklaim siap kembali mengirim notifikasi ke ISP-ISP dalam negeri untuk menutup akses ke PayPal bagi pengguna Internet di Indonesia. Periode normalisasi ini menurut Kominfo bisa dimanfaatkan pengguna PayPal di Tanah Air menarik dana mereka, untuk kemudian berganti layanan lain.


“Manfaatkan lima hari ini untuk memindahkan dana dan mencari solusi dari pihak lain. Saat ini ada banyak layanan serupa, silakan untuk memigrasikan sistem pembayaran yang digunakan,” ujar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangarepan dalam jumpa pers.

“Solusi” yang ditawarkan Kominfo dianggap para pekerja lepas tidak menyelesaikan persoalan. Paypal jadi favorit industri freelancing lintas negara karena mekanisme pembayaran yang cepat dan aman. Sarah Sabrina, penulis fiksi berusia 25 tahun di Yogyakarta, mengeluh belum tersedia layanan serupa PayPal yang bisa diandalkan, apalagi yang buatan dalam negeri.

“Sangat [bergantung sama Paypal]. Agak bingung gimana ke depannya kalau Kominfo ngotot blokir permanen. [Pakai Paypal] soalnya paling cepat sampai uangnya, dan sekarang belum ada alternatif yang secepat dan seaman Paypal untuk transfer internasional,” keluh Sarah kepada VICE. Ia mengaku langsung mengumpat begitu kebijakan pemblokiran ini dieksekusi. “Kemarin ada teman-teman freelancer ngusulin buat protes terbuka dengan ngirim karangan bunga yang sarkas ke Kominfo, aku langsung ikut patungan.”

Potensi kembali diblokirnya PayPal setelah lima hari ini semakin ironis, karena Kominfo pada 2020 sempat mengumumkan dukungan agar profesi freelancer bisa semakin berkembang. Menjadi pekerja lepas yang mencari klien di Internet, menurut Wakil Juru Bicara Kominfo Dewi Meisari Haryanti,  termasuk gaya kerja digital yang selayaknya dapat menjadi “normal baru”, yang perlu terus dibudayakan agar warga produktif dan lincah menghadapi ketidakpastian ekonomi selama pandemi.

“Tren karir sebagai freelancer sedang berkembang,” ujar Dewi dalam keterangan tertulis yang dilansir Tempo.co. ”[Peningkatan jumlah freelancer] di masa pandemi dapat menjadi momentum peningkatan produktivitas, kegesitan, dan daya saing bangsa.”

Merujuk data Badan Pusat Statistik yang dirilis dua tahun lalu, ada 33,34 juta orang di Indonesia yang menjadi pekerja lepas secara full time. Data menunjukkan banyak sekali pekerja lepas itu, termasuk 6.700-an situs di Indonesia, yang menggunakan PayPal untuk bertransaksi dengan klien mancanegara. Artinya, PayPal merupakan salah satu sarana yang diandalkan pekerja lepas di Tanah Air untuk mencari nafkah.

Namun benarkah tidak ada pengganti PayPal yang setara?

Sarah mengaku tak begitu nyaman menggunakan Wise dan Payoneer, dua platform digital yang juga populer sebagai penyedia layanan transfer internasional. Alhasil, ia berencana tetap menggunakan Paypal dengan kompromi menyerahkan data pribadi dan menghadapi risiko penurunan pendapatan.

“Paypal ada menu buat kirim duit langsung ke rekening bank Indonesia dengan syarat pengirim harus tahu bank apa, plus nama lengkap asli pemegang rekening. Charge-nya lumayan mahal, jadi harus nurunin harga komisi. Tapi, yaudah deh daripada enggak sama sekali? Agak ironis sih. Kominfo bilang [kebijakan pemblokiran ini] demi berinternet yang aman dan positif, eh kita anak mudanya siap buka identitas di internet demi bisa cari penghasilan,” tandasnya.

Hanief Arifin, ilustrator berusia 34 tahun dari Boyolali, sudah menggunakan Paypal sejak 2009 untuk kliennya yang berasal dari luar negeri. Berbeda dengan Sarah yang tetap ingin mengupayakan via Paypal, Hanief sedang memikirkan mekanisme lain untuk mendapat bayaran meski dengan kemungkinan mengorbankan klien.

“Ada akun Payoneer, cuma belum tahu apakah klien saya mau enggak kalau pakai Payoneer. Saya belum ngobrol juga soal [pemblokiran] ini ke klien,” ujar ayah satu anak tersebut. Baru dua bulan lalu, Hanief mendirikan usaha studio kreatif untuk foto dan videografi yang ia biayai dari hasil ilustrasinya. Pemblokiran ini secara tak langsung ikut mengancam unit bisnis yang baru saja dibangunnya. “Harapannya sih ya [Paypal] jangan diblokir. Kalau saya cari cara lain aja lah. Kayaknya percuma juga kalau mau protes.”

Sementara Ran T., ilustrator berusia 21 tahun asal Kota Bandung, mengatakan aplikasi pembayaran lain belum seaman Paypal. Kekhawatiran untuk kehilangan penawaran kerja turut muncul apabila ia menawarkan sistem pembayaran lain. Ran menggarisbawahi bahwa persaingan pekerja lepas bukan hanya sesama orang Indonesia, melainkan ribuan orang di seluruh dunia dengan kualitas kerja yang sama bagusnya, “Klien pasti milih yang paling mudah untuk diakses kan? Beberapa [klien] memang fleksibel untuk pembayaran dengan cara apa. Tapi, ada klien yang bersikukuh hanya mau melakukan pembayaran dengan cara tertentu aja karena masalah keamanan privasi itu sih,” keluh Ran saat dihubungi VICE.

Di luar perkara maju mundur seputar PayPal, kebijakan pemerintah memaksakan pendaftaran PSE terus diserang berbagai kalangan. Pemerintah membela diri dari kritikan keras netizen dengan mengatakan para penyedia jasa sepatutnya harus menghormati aturan Indonesia, seperti disuarakan Menkominfo Johnny G Plate ataupun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga S Uno.

Menkominfo mengklaim pemerintah tujuan program PSE ini hanya ingin mengumpulkan data dari perusahaan penyedia jasa, bukan data pengguna. “Pendaftaran ini tidak terkait dengan data pribadi pelanggan PSE namun yang berkaitan dengan data-data dasar, alamat, dan contact person dari Penyelenggara Sistem Elektronik,” ujar Johnny saat dikonfirmasi media di Jakarta, pada 1 Agustus 2022. “Apabila di kemudian hari terjadi masalah, pemerintah dapat melaksanakan tugasnya untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat melalui komunikasi, audit, dan kerja sama bersama-sama dengan penyelenggara sistem elektronik.”

Namun klaim-klaim positif dari Kominfo terus mendapat kritik pedas, terutama ketika netizen mendapati situs judi online masih diperbolehkan beroperasi dan terdaftar di PSE, alih-alih Steam atau Epic Games Store, karena aplikasi judi slot dianggap oleh Dirjen Aptika Kominfo sekadar “permainan” tanpa harus menggunakan duit betulan.

Selain itu, lembaga swadaya dan pegiat HAM mencatat adanya teror terhadap warga untuk menyuarakan kritik atas kebijakan PSE. Tercatat setidaknya 10 orang mengalami intimidasi dari nomor tak dikenal, setelah mengungkapkan ekspresi kekecewaan terhadap Kominfo di internet.

Di tengah ketidakpastian yang menggelayuti, pekerja lepas yang kini paling merasakan dampak kebijakan PSE, disusul kemudian gamer serta streamer profesional. Semuanya adalah jenis profesi industri digital yang pelakunya rata-rata anak muda melek teknologi. Ran mengaku hanya bisa mengharapkan kemurahan hati calon kliennya. Apabila pada masa pemblokiran ada yang menawar jasanya, ia akan menjelaskan soal kendala pembayaran yang dihadapinya sehingga harus memindahkan sistem pembayaran ke tempat selain Paypal. Apabila klien bersedia, komisi baru akan diterima.

“Kalau klien enggak terima, ya apa boleh buat.”