Berita  

Kebakaran Lapas Tangerang Tewaskan 41 Napi, Problem Nyata Penjara Terlalu Penuh

kebakaran-lapas-tangerang-tewaskan-41-napi,-problem-nyata-penjara-terlalu-penuh

Situasi horor menyergap narapidana penghuni Blok C Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, pada Rabu (8/9) dini hari. Sekitar pukul 01.30 WIB, mereka menyadari penjara tengah terbakar, namun tak bisa menyelamatkan diri karena pintu sel dikunci. Api melalap bangunan selama dua jam sebelum akhirnya dipadamkan petugas damkar.

Tragedi ini merenggut 41 nyawa, menyebabkan 8 korban sekarat, serta melukai 72 orang. Korban meninggal dan sekarat dievakuasi ke RSUD Kabupaten Tangerang dan RSUP dr. Sitanala, sedangkan korban luka ringan dirawat poliklinik lapas.


Kapolda Metro Jaya M. Fadil Imran menjelaskan kepada awak media bahwa penyebab kebakaran belum diketahui. Dugaan awal mengarah pada korsleting listrik. “Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya bersama Satreskrim Polres Metro Tangerang Kota bekerja maraton untuk mengetahui sebab kebakaran,” ujar Fadil, dikutip Kompas.

Kebakaran ini, ditambah adanya korban meninggal dalam jumlah besar, membuat masalah lama tentang overkapasitas penjara di Indonesia disorot lagi. 

Menurut Kepala Kanwil Kemenkumham Banten Agus Toyib, Lapas Kelas I Tangerang diisi 2.072 orang, sebanyak 112 di antaranya penghuni blok C. Angka ini mengkhawatirkan banyak pihak. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) melaporkan bahwa kapasitas lapas tersebut sebenarnya hanya untuk 600 napi. Artinya, beban tambahan yang harus ditanggung lapas mencapai 245 persen. ICJR menyebut, overkapasitas menyulitkan sistem mitigasi petugas ketika menghadapi kondisi darurat, misalnya kebakaran.

Overcrowding lapas terjadi akibat beberapa masalah yang bersumber dari tidak harmonisnya sistem peradilan pidana dalam melihat kondisi kepadatan lapas di Indonesia. Polisi, jaksa, dan hakim terlihat tidak terlalu peduli dengan kondisi lapas yang sudah kelebihan beban di luar ambang batas yang wajar, seperti di Lapas Kelas I Tangerang ini,” demikian kesimpulan peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulis yang diterima VICE.

Di Indonesia, overkapasitas penjara terjadi karena pengadilan terlalu sering memidana kasus narkotika, terutama pengguna biasa. Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham sendiri yang mencatat, per Juli tahun ini, rumah tahanan dan lapas menampung orang dua kali lebih banyak dari kapasitas bangunan. Dengan total kapasitas 132.107 orang, jumlah yang ditampung mencapai 268.610.

Dari angka 260 ribuan itu, separuh lebih adalah penghuni akibat kasus narkotika. Jumlahnya mencapai 139.088 orang. Saking banyaknya tahanan dan napi narkotika, jika seluruh penjara di Indonesia hanya dihuni mereka, huniannya masih overkapasitas hampir 7 ribu orang.

Masalah ini sempat coba diatasi dengan Permenkumham No. 3/2018 tentang hak integrasi dan revisi biar napi enggak kelamaan di penjara. Sepanjang 2014-2019 juga dilakukan pembangunan dan renovasi unit pelaksana teknis (UPT) pemasyarakatan untuk menambah kapasitas lapas sebesar 36.181 orang. Tapi, Menkumham Yasonna Laoly mengakui problem overkapasitas masih belum terkendali.

Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga mengatakan, overkapasitas ini mesti diatasi aparat dengan mengutamakan rehabilitasi saat menangani kasus pengguna narkotika.

Menanggapi bencana di Lapas Kelas I Tangerang, ICJR mendesak pemerintah segera menyelesaikan bahaya laten overkapasitas lewat beberapa hal.

Pertama, mengubah paradigma agar sistem peradilan pidana tidak lagi bergantung pada pidana penjara, khususnya kepada kasus pengguna narkotika. Kedua, mendorong KUHP memperkuat alternatif pemidanaan non-pemenjaraan. Ketiga, reformasi kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan bagi pengguna narkotika. 

Keempat, mengedepankan penerapan keadilan restoratif yang memberdayakan korban. Kelima, mengevaluasi proses pemberian hak napi yang selama ini terlambat. Keenam, menyerukan perhatian khusus pemerintah terhadap korban dan keluarga korban musibah kebakaran lapas.

“ICJR menyerukan agar jangan lagi sistem peradilan pidana menjadikan pemasyarakatan sebagai korban dari perspektif dan paradigma penggunaan penjara berlebih oleh aparat penegak hukum dan badan peradilan. Pada lapas yang harus menampung jumlah besar WBP [warga binaan pemasyarakatan], akan ada risiko besar yang harus dihadapi dalam kondisi darurat,” tambah Maidina.