Kalau kalian bercerita sedang meneliti kebiasaan membual, orang-orang mungkin akan tertawa dan mengira kalian bercanda. Padahal, melontarkan omong kosong tidak sesimpel yang kita kira. Ada mekanisme kompleks di baliknya.
Mane Kara-Yakoubian tengah meriset seni membual. Mahasiswi doktoral bidang psikologi di Kanada ini tertarik meneliti topik tersebut setelah menemukan kesamaan antara omong kosong dan artspeak (bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan karya seni). Dia menjelaskan, seseorang biasanya membual agar orang lain terkesan. Orang yang mendengarkan tidak mengetahui kebenaran dari ucapan mereka.
“Dalam penelitian berjudul ‘Omong kosong membuat karya seni lebih mengesankan’, kami menamai karya seni dengan judul omong kosong, biasa, dan tidak ada judul sama sekali,” lanjut Kara-Yakoubian. “Kami menemukan orang lebih tersentuh dengan judul yang terdengar impresif.”
“Orang banyak cakap karena pada dasarnya manusia bersifat sosial. Selama ada manfaat sosial yang dirasakan dari suatu ucapan, meski itu tidak akurat sekali pun, mereka pasti akan melakukannya,” kata Martin Harry Turpin, peneliti PhD psikologi di Universitas Waterloo, Kanada. “Kita dirancang secara mental oleh kebutuhan untuk sukses secara sosial.”
Turpin juga menganggap bualan sebagai alat mengesankan orang lain. Perkataan sengaja dibesar-besarkan agar terdengar lebih dalam daripada aslinya.
Namun, kemampuan mengada-ada berbeda dari berbohong. Pembohong akan mengabaikan kebenaran, sedangkan pembual lebih cenderung mengemas ucapan mereka agar terdengar lebih menarik. Para peneliti juga membuat perbedaan yang jelas antara “omong kosong” (bullshit) dan “membual” (bullshitting).
“Omong kosong adalah informasi yang terkandung dalam pesan, sedangkan membual adalah tindakan menggunakan informasi untuk menyampaikan pesan dengan cara mencapai tujuan tertentu, serta beberapa kemungkinan motivasi di baliknya,” Shane Littrell, peneliti yang mengejar gelar Ph.D psikologi kognitif dengan penekanan pada penelitian omong kosong, memberi tahu VICE.
Littrell menambahkan, sementara membual termasuk dalam kategori disinformasi (menyebarkan informasi palsu dengan sengaja), omong kosong kurang lebih bagaikan informasi yang salah.
Seni omong kosong semakin menarik perhatian peneliti sejak psikolog Gordon Pennycook menyinggungnya dalam karya ilmiah yang terbit pada 2015.
Berjudul “Penerimaan dan pengenalan omong kosong yang mendalam”, itu adalah penyelidikan empiris pertama terhadap cara orang menanggapi omong kosong. Respons diukur menggunakan skala penerimaan omong kosong. Hal ini mendorong penelitian-penelitian lain yang mengeksplorasi lebih dalam tentang kebiasaan membual, dan mencari tahu alasan omong kosong bisa sangat mengesankan. Ada juga yang mempelajari korelasi antara deskripsi seni dan omong kosong, serta melihat apakah omong kosong adalah tanda kecerdasan.
Namun, banyak yang menyepelekan topik ini. “Orang mengira topiknya kocak. Peneliti lain juga tidak menganggapnya serius ketika mereka tahu kalian mempelajari bualan,” ungkap Turpin. “Namun, mereka akan mengeluh ketika muridnya besar mulut, yang kemudian menghambat kemampuan untuk mengalami sains dengan tujuan menjelajahi realitas.”
Mereka lebih lanjut mengutarakan, penelitian tentang omong kosong secara tidak langsung juga mempelajari dampak tersebarnya informasi yang salah.
“Ini bagian dari area penelitian lebih luas yang berkomitmen memeriksa dampak dari informasi yang salah,” tutur Littrell. “[…] Area penelitian yang berkembang ini telah mengungkap beberapa wawasan penting tentang mekanisme dan proses seseorang memercayai berita palsu, informasi yang salah di internet, teori konspirasi, penipuan pemasaran, dan bahkan propaganda politik.”
Littrell membagi pola omong kosong dalam dua kategori. Omong kosong persuasif dimotivasi oleh keinginan mengesankan, membujuk atau mendapat validasi dari orang lain. Pembual melebih-lebihkan kebenaran tentang pengetahuan dan ide mereka. Lalu ada omong kosong yang sifatnya mengelak. Seseorang melontarkan pernyataan tidak jelas ketika menghadapi situasi yang membuatnya tidak dapat berkata jujur.
“Siapa saja bisa memercayai omong kosong jika itu menarik bias yang mereka miliki, membuat mereka mengesampingkan kemampuan menilai informasi secara lebih kritis,” terangnya. Karena itulah orang bisa percaya dengan hoaks atau info menyesatkan yang sesuai dengan keyakinan dan bias politik mereka.
Seperti yang sudah disampaikan peneliti, seseorang bisa memperoleh keuntungan dan diakui orang lain dengan banyak cakap. Littrell mengambil contoh guru spiritual Deepak Chopra. “Chopra meraup keuntungan jutaan dolar dari buku dan ceramahnya tentang ‘kesadaran’. Klaim-klaim absurdnya telah dibumbui istilah dan jargon New Age tentang fisika kuantum, yang membuatnya terdengar impresif bagi sebagian orang, walau sebenarnya ucapan dia sering kali hanyalah omong kosong yang tidak ada artinya.”
“Guru New Age” ini kerap dikritik ilmuwan. Pasalnya, dia mempromosikan pengobatan alternatif dengan klaim-klaim yang menurut ilmuwan tidak ilmiah. Pennycook menggunakan beberapa twit Chopra untuk menciptakan alat pendeteksi omong kosong dalam studinya. “Generator kutipan Deepak Chopra” ini bahkan menyusun kalimat dari “kata-kata yang terdengar dalam” secara acak.
Pertanyaannya, adakah pendekatan omong kosong yang dirumuskan? Bisakah itu membantu kita mendapatkan apa yang diinginkan?
“Pembual cenderung menggunakan doublespeak, sebuah trik linguistik yang memanipulasi persepsi emosional seseorang,” ujar Turpin. “Contohnya menyebut rumah jagal sebagai tempat pengolahan daging agar kedengarannya tidak terlalu berbahaya.”
Dengan kata lain, orang yang besar mulut suka berbelit-belit saat berbicara. Dan untuk menjadi pembual ulung, kalian harus terbiasa menggunakan bahasa atau istilah ribet agar terdengar lebih cerdas. Juga dibutuhkan kepercayaan diri yang sangat tinggi supaya tidak kelihatan maksa. Kalian bisa mencontoh kontributor VICE Oobah Butler yang berhasil membuat restoran fiktifnya direkomendasikan TripAdvisor, dan diundang ke Paris Fashion Week berkat label fesyen palsunya.
“Kalian harus percaya diri supaya lebih meyakinkan,” Kara-Yakoubian menegaskan. “Tujuan kalian yaitu mengesankan orang lain dengan menggabungkan istilah-istilah klise, seperti ‘kesadaran’, ‘aktualitas’, dan ‘ruang dan waktu’, tanpa mengindahkan kebenaran.”
Kara Yakoubian lebih lanjut mengatakan, tata bahasa yang baik dan rapi juga sangat penting. “Kalian harus menggunakan sintaks yang tepat, sehingga terdengar seperti pernyataan yang masuk akal.”
Turpin menganggap omong kosong persuasif baru bisa dibilang efektif jika orang yang mendengarkan berasumsi omongannya penting karena sulit dimengerti.
“Dunia ini penuh omong kosong, dan cara penyampaiannya terus berkembang. Kecepatan penerimaannya pun meningkat setiap tahun seiring dengan meningkatnya penggunaan media sosial,” terang Littrell. Dengan demikian, tanggung jawab peneliti seperti Littrell untuk “mengekang penyebaran omong kosong” akan semakin besar di masa depan.
Jangan lupa follow Shamani di Instagram dan Twitter.