Berita  

Kasus Remaja Bunuh Seluruh Keluarganya, Polisi Tuding Terpengaruh Game PUBG

kasus-remaja-bunuh-seluruh-keluarganya,-polisi-tuding-terpengaruh-game-pubg

Aksi pembunuhan sadis yang menewaskan ibu dan ketiga anaknya awal tahun ini telah menggegerkan warga kota Lahore, Pakistan. Ada kekhawatiran peristiwa nahas yang menimpa keluarga Naheed Mubarak juga dapat terjadi di dalam rumah mereka.

Berdasarkan keterangan polisi pada 19 Januari, pelaku bernama Zain Ali, 18 tahun, mengungkap dia menembak mati ibu dan kakak-beradiknya untuk meluapkan kekesalan setelah kalah bermain video game. “Saya stres karena selalu kalah dalam game. Saya menembak semua orang karena mengira mereka akan hidup lagi seperti karakter game,” tutur Ali yang kini masih ditahan polisi. Game yang dimainkan adalah PlayerUnknown’s Battlegrounds atau PUBG.


Pengakuan Ali kembali memancing perdebatan panas mengenai pengaruh buruk video game bagi pola pikir para pemainnya. Berkaca pada kasus pembunuhan Naheed, banyak orang tua di Pakistan percaya game-game seperti PUBG dapat mendorong terjadinya kekerasan di dunia nyata. Penegak hukum negara tersebut bahkan telah mengusulkan pemblokiran total dengan alasan anak muda akan terhasut melakukan kekerasan dan kejahatan.

Di sisi lain, komunitas gamer beranggapan tak seharusnya game disalahkan atas pembunuhan tersebut. Pakar kesehatan mental pun menyebut tindakan kriminal ini didorong faktor yang jauh lebih kompleks.

“Bermain game mungkin bisa menyebabkan kecanduan atau bikin orang frustrasi,” ungkap gamer dan komentator Esport Onaiza Naeem, yang lebih dikenal sebagai AyanoHisako, saat dihubungi VICE World News. “Tapi saya sudah 15 tahun bermain game, dan tak pernah ada niatan mencelakai diri sendiri maupun orang lain.”

Dalam game player-versus-shooter ini, para pemain saling bertarung untuk bertahan hidup. PUBG termasuk dalam empat video game yang paling banyak dimainkan di dunia selain Fortnite, Minecraft dan Grand Theft Auto.

PUBG populer di berbagai kalangan, dan versinya yang lebih ringan semakin menambah daya tarik bagi pemain berpenghasilan rendah. Versi asli game ciptaan pengembang Korea Selatan ini telah terjual lebih dari 75 juta kopi di seluruh dunia, sedangkan versi mobile-nya telah diunduh miliaran kali dan meraup pendapatan kotor sebesar $7,6 miliar (Rp109 triliun) pada 2021.

Tak lama setelah penangkapan Zain Ali pada 28 Januari, seorang perwira tinggi polisi mengaitkan pembunuhan Naheed dengan PUBG dalam suratnya yang ditujukan kepada pemerintah provinsi. Dia mengutip serangkaian pembunuhan yang terjadi di Lahore pada April 2020. Kala itu, pemain PUBG meracuni saudara, teman dan saudara iparnya pakai sabu-sabu karena kesal konsol gamenya dijual.

“Ini membuktikan obsesi anak muda terhadap game online yang penuh kekerasan, seperti PUBG dan Fortnite, telah mengubah pola pikir pemain tentang kekerasan, yang dapat mengarah pada kecenderungan berperilaku kriminal. Oleh karenanya, Kementerian Telekomunikasi Pakistan perlu memblokir game semacam itu, khususnya PUBG,” demikian bunyi surat resminya. Dia mendesak agar game-game seperti PUBG segera diblokir.

Namun, pakar kesehatan mental menilai pihak berwajib yang terlalu menganggap enteng persoalannya, dan memperingatkan pemblokiran hanyalah solusi sementara untuk masalah kesehatan mental yang mendasarinya.

“Ada korelasi tinggi antara masalah kesehatan mental dan video game, tapi itu karena anak muda lebih rentan menjadikan video game sebagai pelampiasan stres atau untuk mengatasi masalah mendasar,” terang psikolog Rabeea Saleem di Karachi. “Selama ini, video game memang dikaitkan dengan agresi dan masalah kesehatan mental pada anak-anak. Tapi menurut saya, korelasi tidak menyiratkan sebab-akibat.”

Dari 28 studi yang dievaluasi, laporan yang dirilis dalam jurnal Royal Society Open Science pada 2020 menyimpulkan video game tidak dapat menyebabkan perilaku agresif atau kasar. Menurut Saleem, video game justru bisa dijadikan sebagai sarana mengatasi masalah agresi dan kecemasan.

Lalu, kenapa Zain Ali menembak keluarganya setelah bermain PUBG? Psikolog Muhammad Ali Khan di Islamabad menduga dia telah memiliki masalah kejiwaan yang mendorong tindakannya. “Meski pelaku perlu menjalani pemeriksaan tatap muka terlebih dulu sebelum menentukan penyebab pastinya, ada kemungkinan dia mengalami psychotic break (psikosis), tidak mampu mengendalikan amarah, depresi, gangguan bipolar serta gangguan kontrol impuls,” ujarnya. 

Para gamer berulang kali menekankan untuk tidak langsung menyalahkan gamenya. Bagi mereka, untuk apa game diblokir apabila tidak ada bukti ilmiah yang mendukung keterkaitannya?

Sajid Rehman mengelola kanal YouTube Zalmi Gaming, di mana dia rutin menyiarkan aktivitas bermain PUBG. Menurutnya, pemblokiran hanya akan merugikan para pemain profesional yang mendapatkan penghasilan dari bermain game. “Ini akan menjadi bencana bagi komunitas. Kami telah bekerja keras mengais rezeki dari game ini. [Pemblokiran] akan meniadakan semua kerja keras kami.”

PUBG, Pakistan, pembunuhan, kesehatan mental
Lelaki berjalan di depan poster game PUBG di Rawalpindi pada 13 Juli 2020. Foto: Farooq Naeem/AFP

Pemerintah federal bahkan mulai merangkul industri esport yang semakin berkembang di Pakistan, termasuk potensi PUBG sebagai penyedia lapangan kerja bagi para anak muda. Bulan ini, pemerintah mengumumkan akan menggelar turnamen nasional PUBG pro-level pertamanya.

Meskipun belum ada jawaban jelas atas kejahatan yang dikaitkan dengan video game macam PUBG, pakar kesehatan mental menganjurkan agar kesejahteraan mental gamer dan anak muda lebih diperhatikan. Hal ini dinilai jauh lebih baik, mengingat tidak ada jaminan memblokir game akan mengurangi risiko orang melakukan kekerasan.

“Larangan total justru dapat berdampak buruk bagi mereka, dan mereka mungkin masih menemukan cara untuk terus bermain,” kata Saleem. “Orang tua, guru dan psikolog perlu bekerja sama untuk mencari tahu apa sebenarnya penyebab mereka beralih ke game yang berlebihan. Dengan begini, mereka dapat menemukan solusi yang lebih baik.”

Follow Rimal Farrukh di Twitter.