Berita  

Kasus Peserta Diksar Tewas Terulang, Bisakah Latihan Pecinta Alam Bebas Kekerasan?

kasus-peserta-diksar-tewas-terulang,-bisakah-latihan-pecinta-alam-bebas-kekerasan?

Dalam berbagai bentuknya, pendidikan dasar (diksar) biasa digelar bagi anggota baru sebuah unit mahasiswa pencinta alam (mapala). Tidak terkecuali mapala Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bone, Sulawesi Selatan. Irsan (19), seorang anggota baru, turut hadir dalam diksar yang dihelat sepanjang tujuh hari tersebut, sebuah fase yang harus dilaluinya sebelum “diterima” jadi anggota.

Pulang dari kegiatan, Irsan mengeluh rasa sakit di tubuhnya sejak Jumat (12/3) malam. “Korban ini baru tiga hari pulang dari diksar mapala. Saat dia pulang, dia memang sudah sangat lemah dan mengatakan kalau seluruh badannya sakit,” kata salah seorang keluarga korban kepada Bone Pos.


Sempat dirawat mandiri selama dua hari di rumah, Irsan dibawa ke rumah sakit pada Senin (15/3) lalu, karena tak kunjung pulih. Nahas, nyawa Irsan tidak terselamatkan, ia meninggal di rumah sakit. 

Polisi melihat ada indikasi kekerasan dialami Irsan, mendapati dugaan penyiksaan terjadi kala Irsan mengikuti diksar mapala, “Beberapa senior selaku pendamping kegiatan tersebut melakukan kekerasan fisik kepada semua peserta diksar berupa pukulan pada bagian perut, menampar, menendang, menyuruh merayap, dan jalan bebek,” kata Kasat Reskrim Polres Bone Ardy Yusuf kepada Detik. “[Sebanyak] 18 orang panitia dan beberapa peserta sudah dimintai keterangan.”

Rektor IAIN Bone Prof Nuzul menyatakan akan berhati-hati melihat kasus dengan mendengar penjelasan dari semua pihak terlebih dahulu. “Saya tidak bisa mengatakan jika itu keliru, tapi ini butuh penyelidikan. Artinya, tidak bisa dikatakan serta merta bahwa kematiannya itu karena diksar, karena di sini ada selisih tiga hari kan, sempat bergaul juga sama temannya. Ini adalah informasi dari pembinanya dan rangkaian diksar yang dilaukan ini katanya itu sudah sesuai dengan prosedur. Jadi, apa yang disampaikan oleh pembinanya itu menyatakan jika orientasi mapala saat ini adalah pengembangan wawasan, tidak ada lagi kekerasan,” ujar Nuzul.

Situasi ini mau tak mau membuat sorotan publik mengarah pada diksar mapala sebagai terduga utama penyebab kematian Irsan. Kecurigaan ini dipicu karena beberapa kali ditemukan kasus mahasiswa meninggal saat mengikuti kegiatan serupa.

Misalnya, pada 2019 di Universitas Lampung atau 2017 di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Tren kekerasan dalam menggembleng anggota baru mapala memang bukan rahasia, tapi sejauh mana sebenarnya batas yang ditentukan?

VICE lantas menghubungi beberapa anggota maupun mantan anggota mapala untuk mendapatkan perspektif masing-masing soal adanya kekerasan dalam proses latihan dasar organisasi mereka.

Dana*, 21 tahun, Mapala Fakultas Teknik Universitas Hasanudin, Sulawesi Selatan.

VICE: Apa pandanganmu soal kekerasan di diksar mapala?
Dana:
Setiap organisasi berbeda-beda cara diksarnya. Kalau yang saya jalani sendiri, memang ada beberapa [kegiatan fisik] tapi dalam kondisi yang memang sangat diperlukan. 

Sejauh apa?
Sebelum diksar, kami biasa ada bina fisik. Tidak ada kekerasan di sana, lebih ke semacam push-up itu karena mau melakukan perjalanan lima hari dengan beban berat [saat diksar]. Nanti “kekerasan” biasa terjadi saat di lapangan [saat diksar]. Misalnya ada yang terlalu malas, dalam artian bisa jalan tapi dia enggak mau, maka [senior] biasa terjadi menendang carrier (tas gunung)nya. Tapi, kalau sentuhan fisik enggak ada.

Kalau menampar, meninju?
Itu oknum biasanya. Paling parah [kami] cuma menendang carrier dan menarik kerah baju, diangkat begitu.

Mungkin enggak sih diksar teman-teman terbebas dari kekerasan?
Sebenarnya ada beberapa kondisi yang diperlukan untuk keras. Bagaimana [calon anggota] ditekan untuk diajarkan manajemen perjalanan, tepat waktu. Kalau di lapangan saja dia sudah malas dan tidak ditekankan untuk diperbaiki, maka dia [bisa] cuek akan hal itu. Makanya, pertimbangannya sudut pandang saya, kita lakukan “kekerasan” dalam diksar, karena ada beberapa hal yang [mau coba] kita ubah dari orang ini yang kami rasa kurang baik.

Dandy, 24 tahun, aktif di MAAR Geologi Universitas Padjajaran, 2016-sekarang.

VICE: Pandangan kamu soal kekerasan di diksar mapala?
Dandy:
Kekerasan adalah perilaku fisik atau verbal yang memiliki maksud untuk menyakiti orang yang dituju, seperti memukul, melecehkan personal orang tersebut, yang mana itu bisa menyebabkan cidera baik fisik psikis atau mental. Dari definisi ini, dalam pengalaman saya, tanpa menggeneralisir [mapala lain], organisasi kami bisa dianggap tidak melakukan itu [kekerasan]. 

Dalam perencanaan Diksar, kami telah mengkaji nilai dan tujuan serta control measure yang sekiranya diperlukan dalam menentukan proses diksar tersebut. Di dalamnya ada SOP (prosedur standar) spesifik terkait do’s and dont’s dalam diksar.  Tujuan utama diksar adalah untuk menciptakan calon anggota yang memiliki kemampuan dan nilai-nilai yang dirasa mendukung mereka dalam berkegiatan di alam bebas. Yaitu salah satunya, yang enggak bisa kita pungkiri, fisik dan mental. 

Dalam panduan yang kami buat, kami melakukan metode berupa reward dan punishment terhadap calon anggota baru. Di dalamnya berupa push-up, sit-up, dan hal-hal lain yang mungkin membebankan secara fisik terhadap calon anggota. Semua itu sesuai SOP dan kami rancang matang dengan mempertimbangkan aspek keselamatan dan kesehatan calon anggota sendiri. Misal, kalau kaki calon anggota terkilir saat long march, kami ganti dengan alternatif lebih aman seperti sit-up.

Metode hukuman fisik berarti wajar ya di Mapala?
Pada pelaksanannya, pemberian hukuman dilakukan agar calon anggota mendapatkan efek jera apabila melakukan kesalahan yang dapat mengakibatkan bahaya atau kerugian terhadap mereka sendiri, seperti telat dalam menbuat tenda yang mungkin dapat menyebabkan mereka mendapat hazard dari alam, seperti saat cuaca buruk. Kalau tidak siap, mereka bisa mengalami kondisi yang lebih berbahaya, seperti kehujanan lalu hipotermia.

Sebagai unit yang berfokus pada kegiatan alam bebas yang notabene punya risiko lebih besar dan bervariasi dibanding kegiatan indoor, kami rasa untuk standar organisasi kami metode demikian wajar dan diperlukan agar calon anggota memiliki nilai yang kami ingin capai selama proses pendidikan.

Kami menyadari resiko ini, lantas bekerja sama dengan pihak-pihak yang kompeten untuk mengatasinya. Acuan agar SOP berjalan aman, seperti contoh, kami bekerja sama dengan unit KSR PMI Unpad yang bergerak di bidang kesehatan selama proses diksar untuk menangani calon anggota yang mengalami cedera selama kegiatan. Setiap malam [selama Diksar], kami mengadakan check-up untuk melihat kondisi medis calon anggota. Hasilnya, akan jadi operational guidance untuk esok harinya.

Mungkin enggak sih pencinta alam bikin diksar tanpa kekerasan berlebih?
Terkait diksar dengan bully dan penyiksaan, tentu saja bisa.  Kami punya prosedur bebas bully dan penyiksaan karena memang berdasarkan kajian keselamatan dan kesehatan calon anggota baik segi fisik, mental, dan psikis calon anggota. Sejauh ini, metode reward dan punishment berhasil memperlihatkan output yang kami harapkan dari para anggota. Untuk saya sendiri, metode tersebut memudahkan saya dalam bertindak dan mengambil keputusan yang tepat di situasi-situasi tertentu saat berkegiatan di alam.

Namun, saya tidak menutup kemungkinan bahwa sangat mungkin dilakukan diksar yang sangat fun dan tanpa tensi yang tinggi. Tahun ini, kami menggunakan [diksar] sistem online, bisa dibilang ini metode tanpa kegiatan fisik langsung dan tatap muka, kurang tensi lah. Nantinya, kami akan evaluasi dan kaji untuk dapatkan hasil terbaik calon anggota. Kalau tanpa tensi seperti ini bisa menghasilkan orang yang oke juga, kenapa enggak? Mungkin ini bakal kita lakukan terus ke depannya.

Iqbal Pebrianto, 27 tahun, Mantan wakil ketua mapala salah satu universitas di Semarang periode 2013-2014.

VICE: Apa pandanganmu soal kekerasan di diksar mapala?
 Iqbal: Selama gue jadi anggota mapala, kekerasan itu kayak turun-temurun. Junior yang dulu diksar-nya disiksa pasti ada rasa ingin “balas dendam” dan dilampiaskan ke bawahnya.

Kalau ditanya apakah itu wajar dan diperlukan, ya ada batasan wajarnya. Menurut gue, itu perlu dilakukan untuk menempa mental dan disiplin, tapi kalau sampai meninggal ya enggak wajar.

Maksud gue dengan perlu kekerasan itu, mapala kan kegiatannya di outdoor kan punya resiko sehingga butuh kesiapan fisik juga. Kita harus punya mental dan disiplin kuat, nah mental dan displin ini dibentuk dengan keras dan tegas. Keras dan tegas ini juga harus ada batasan kondisi fisik peserta diksarnya. Kita sebagai pendidik harusnya tahu semua batasan fisik pesertanya

Mungkinkah diksar digelar tanpa kekerasan menjurus penyiksaan?
Tujuan diksar kan untuk regenerasi kepengurusan dan mencari anggota yang sesuai ketentuan. Makanya gue bilang harus ada batasan kewajaran dalam kekerasan mendidik. Kalau enggak ada batasan dan seenaknya menyiksa itu salah karena tujuannya kan mendidik jadi anggota penerus. Keras dan tegas perlu untuk ngebentuk mental dan disiplin.

Ravinska Minerva, 22 tahun, KMPA Ganesha ITB.

VICE: Kenapa diksar punya stereotip lekat dengan kekerasan?
Ravinska:
Ngomongin pencinta alam beda-beda ya, aku agak susah men-generalisir segala hal yang normal. Tapi, untuk tahu fakta bahwa banyak yang meninggal dan obrolan temen-temen Mapala, [terjadinya] kekerasan emang sering aja dengernya.

Tiap kampus itu mapala-nya punya kebiasaan beda-beda. Tapi, emang pada akhirnya yang menyamakan kami semua adalah bagaimana kita belajar atau dididik untuk bertahan hidup di alam, gimana berkegiatan bebas seaman mungkin. Alam ini faktor eksternalnya banyak banget yang enggak bisa dikontrol, di diksar ini kita belajar me-manage dan mengurangi resiko itu. 

Kenapa kemudian terjadi kekerasan [menjurus penyiksaan] menurutku karena orang akhirnya memaknai “pendidikan” itu beda-beda banget. Cara mapala mendidik generasi selanjutnya itu akhirnya memang agak susah dikontrol karena kita enggak punya guideline yang sama [untuk Mapala se-Indonesia]. Gimana akhirnya calon anggota dibuat “tangguh” di alam tuh orang memaknainya beda-beda, itu menurutku penyebab utama kenapa ada kekerasan gitu.

Di mapalaku sendiri, apakah [penyiksaan] itu wajar? Enggak sih. Karena metode yang kami pakai itu dipertanyakan banget. Misalkan, mau jalan ke hutan. Nah, kenapa kita jalan ke hutan itu ada penjabarannya gitu. Mungkin beberapa mapala banyak yang skip itu, sehingga [melakukan sesuatu] karena kebiasaan turun-temurun aja. Kamu salah, lalu kamu ditampar. Hal semacam ini kadang enggak dipertanyakan sama generasi selanjutnya. Jadinya pewajaran aja gitu. Padahal, kalau ada kata “pendidikan” di sana, harusnya ada mengapa dan kenapa kegiatan dilakukan itu perlu ditekankan.

Di ITB sejauh apa “kekerasan” yang dibolehkan?
Biasanya kami pakai verbal aja. Anak baru kan kadang suka miss gitu saat survival, kurang peka kalau dalam kondisi membahayakan. Kalau ada [oknum senior] yang kontak fisik, biasanya kami kasih pinalti gitu sih. Disidang, terus dikeluarkan dari diksar.

Tiga tahun ikut diksar, aku enggak pernah lihat ada orang nendang atau apa karena diomongin. Paling kalau senior lihat anak baru yang salah ya langsung dikasih seri, push-up dan sit-up. Menurut kami itu yang paling fair karena membuat mereka secara fisik lebih kuat. Ini juga komitmen dan diobrolin di awal, mereka [anak baru kalau dihukum] sanggupnya berapa kali [seri]. 

Mungkin enggak sih Diksar mapala enggak melakukan hal-hal kayak gitu, termasuk push-up?
Menurutku, kegiatan fisik dilakukan untuk membuat mereka kuat di alam. Enggak cuma push-up, kami ada latihan dasar lari dan angkat beban seperti bawa tas carrier diisi beban berapa kilo. Itu kan untuk buat ketahanannya lebih tinggi karena di hutan pasti kita membawa beban yang sama juga kan. Pelatihan kayak gitu agak susah sih [kalau ditiadakan]. 

Tapi, kalau sistem bully dan melakukan sesuatu yang enggak berdasar demi kesenangan pribadi, turun-temurun atas nama balas dendam, itu bisa banget lah [dihilangkan]. Pencinta alam kan enggak cuma tentang gimana survive di alam. Namanya aja pencinta alam, ya intinya gimana kita bisa menjaga alam dengan segala ilmu yang kita punya.