Peringatan: Artikel ini mendeskripsikan kekerasan yang dapat memicu trauma.
Seorang ibu bernama Kanti Utami (35), warga Brebes, menggorok tiga anaknya kandungnya dengan pisau, pada Minggu (20/3), diduga akibat stres tak tahan didera kemiskinan. Peristiwa tragis itu berlangsung di rumah pelaku di Desa Tonjong, Kecamatan Tonjong, Brebes, Jawa Tengah. Perbuatan KU diketahui oleh tetangga yang mendengar tangisan histeris anaknya.
Saat didatangi, warga mendapati tiga anak KU sedang bersimbah darah. Mereka adalah SA (10), AT (7), dan EM (5). Sempat dilarikan ke Rumah Sakit Aminah Bumiayu, AT akhirnya meninggal, sedangkan SA dan EM masih hidup.
Video penangkapan Kanti Utami oleh Polsek Tonjong viral di media sosial. Di video tersebut, Kanti mengaku membunuh anaknya karena tak mau anaknya hidup melarat dan ditekan keluarga seperti yang sudah ia alami.
“Keluarga saya itu hidupnya susah, bingung mau tinggal di mana. Saya mau dibunuh sama Amin [mertua], saya enggak mau. Saya cuma mau tobat sebelum saya mati. Saya cuma mau menyelamatkan anak-anak biar enggak dibentak-bentak. Mendingan mati aja, enggak perlu ngerasain sedih. Harus mati, biar enggak sakit kayak saya dari kecil, enggak ada yang tahu saya memendam [sakit] puluhan tahun,” ujar Kanti.
Menurut tetangga dan teman pelaku yang berbagi cerita di Twitter, Kanti berprofesi sebagai penata rias dan selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya merantau ke Jakarta, namun sering menganggur. Pelaku disebut sudah memperlihatkan tanda-tanda mental yang terganggu. Kanti juga disebut pernah mengatakan ingin bunuh diri.
Kasus ini memicu dua pendapat besar di Twitter. Sebagian netizen menganggap Kanti sebagai korban kemiskinan struktural, sebagian lain menilai apa pun alasannya pembunuhan anak tak bisa dimaafkan. Hingga saat ini belum ada respons resmi dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak maupun Komnas Perempuan atas peristiwa ini.
Faktanya, kasus filisida (filicide) atau orang tua yang membunuh anak kandung mereka hampir terjadi setiap tahun di Indonesia. Dalam pantauan VICE atas berbagai pemberitaan media, banyak dari kasus tersebut dilakukan seorang ibu yang kemudian ikut bunuh diri setelah membunuh anaknya. Dalam berita, baik korban, orang dekat pelaku, dan otoritas kerap mengaitkan kejahatan ini dengan kemiskinan dan gangguan jiwa.
Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah pembunuhan anak di Nias, pada 2020.
Marina Tafona’o (30) menggorok ketiga anaknya yang masih balita dengan parang hingga nyaris putus. Tiga anak tersebut tewas, sedangkan Marina yang juga mencoba bunuh diri sempat diselamatkan, walau akhirnya meninggal di rumah sakit karena mogok makan.
Menurut suami Marina, Nofedi Lagahu, pelaku pernah mengeluhkan kemiskinan keluarganya yang sampai sulit menyediakan makan untuk anak-anak. Keluarga ini dianugerahi empat anak, salah satunya selamat dari pembantaian karena ikut ayahnya mencoblos di pilkada pada hari nahas itu.
“Kadang sekali [makan untuk] tiga hari,” kata Nofedi. Anak-anak kadang hanya makan pisang dan minum air ketika mereka tak punya beras.
Dua belas tahun yang lalu, seorang ibu di Klaten, Jawa Tengah membakar diri bersama dua orang balitanya. Pelaku tewas seketika, sedangkan anaknya selamat. Kasus ini diduga dipicu kemiskinan karena dalam wasiat pelaku kepada suaminya, ia minta utangnya sebesar Rp20 ribu kepada seorang tetangga dibayarkan.
Masih di tahun yang sama, ibu dua anak di Lumajang, Jawa Timur bunuh diri bersama anak-anaknya dengan cara minum racun tikus. Ketiganya berhasil diselamatkan. Dalam pengakuannya, pelaku mengeluh bingung karena miskin dan menumpuk utang.
“Saya memang hidup pas-pasan, Mas, karena suami saya hanya bekerja sebagai kernet truk. Yang membuat saya bingung, selain saya tidak punya uang simpanan untuk kebutuhan lebaran yang sudah dekat, belakangan ini saya terus ditagih utang arisan,” ujar pelaku kepada Detik.
Pelaku juga mengatakan alasannya mengajak kedua anaknya mati. “Saya berpikiran, jika saya mati, siapa yang akan merawat Feby dan Rara [dua anak yang diajak minum racun tikus]. Makanya, keduanya saya ajak bunuh diri sekalian. Keduanya saya minumi masing-masing satu sendok racun tikus.”
Kasus sejenis berderet dari tahun ke tahun di berbagai tempat: Surabaya pada 2012, Bojongsoang pada 2012, Cakung 2013, Bandung pada 2014, Jakarta Barat pada 2017, Ogan Komering Ulu dan Manado pada 2018, Jakarta Barat pada 2019, dan Surabaya pada 2021.
VICE belum menemukan statistik yang menunjukkan suatu pola dalam kasus-kasus filisida di Indonesia. Namun, di Rusia terdapat data tentang kasus ibu yang membunuh bayi mereka, atau infantisida (infanticide). Dikutip dari BBC Indonesia, sebanyak 80 persen perempuan pelaku infantisida berasal dari keluarga miskin, yang 85 persen di antaranya juga berada dalam pernikahan tidak harmonis.
Pada 2018, VICE mewawancarai psikolog kriminal di Amerika Serikat yang memiliki spesialisasi kasus ibu yang membunuh anaknya sendiri. Psikolog Dr. Cheryl Meyer mengatakan, risetnya menemukan dua kategori ibu yang membunuh anaknya. Mereka adalah ibu yang membunuh anak karena lalai, dan ibu yang membunuh anak karena niat.
“Para ibu yang membunuh karena niat biasanya mengalami gangguan kejiwaan sehingga terkadang mereka tidak menyadari apa yang telah mereka lakukan. Mereka benar-benar sakit jiwa. Kondisinya bisa sementara, bisa juga tidak. Contohnya, depresi postpartum terjadi sementara, dan mereka akan sangat menyesal setelah melewati masa depresi. Ketika mereka masih mengalami depresi, mereka membunuh anaknya karena percaya anak itu adalah setan,” ujar Dr. Meyer kepada Rebecca Kamm dari VICE.
Suami bajingan menjadi salah satu motif seorang ibu berniat membunuh anaknya. “[Salah satu narasumberku] memberitahuku, ‘Saya tidak bisa membayangkan mati tanpa anak-anak. Makanya saya memutuskan untuk membunuh mereka. Lagi pula, mereka akan tinggal dengan ayah yang selalu bertindak kasar jika mereka tetap hidup,’” tutur Dr. Meyer.
Penelitian di AS menyimpulkan pola pembunuhan anak oleh orang tua. Pembunuhan anak yang pelakunya adalah si bapak biasanya karena faktor tidak sengaja. Sedangkan pembunuhan anak oleh ibu umumnya karena faktor kesehatan mental. Di negara ini, rata-rata 500 kasus pembunuhan anak terjadi tiap tahunnya.
Tiga tahun lalu, Komnas Perempuan menanggapi satu kasus ibu membunuh anak dengan menyesalkan sikap orang terdekat pelaku yang kerap menyalahkan. Menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan saat itu, Budi Wahyuni, ibu pembunuh anak kerap juga merupakan korban KDRT.
“Kecenderungannya karena dia menjadi korban KDRT tidak bisa keluar dari persoalannya, lalu di tengah kebuntuannya itu yang paling memungkinkan menumpahkan kepada anak. Artinya, korban yang kemudian menjadi pelaku. Dia kan korban KDRT dulu, rata-rata polanya seperti itu,” ujar Budi Wahyuni kepada Tribun Jakarta, pada 2019.
“Keterhimpitan dia [ibu] yang tidak bisa keluar dari masalah itu motifnya macam-macam. Daripada nanti dia [anaknya] tidak bahagia di dunia, daripada dia mendapatkan ibu tiri,” tambah Budi. “Orang yang yang tidak jadi korban KDRT saja bisa berpikir seperti itu. Nah dia tidak ada pilihan lagi, kalau dia masih punya pilihan pasti tidak akan membunuh anaknya,” ujarnya.