Setelah lebih dari satu bulan, Polres Metro Bekasi Kota akhirnya resmi menetapkan laki-laki berinisial AT sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerkosaan seorang perempuan di bawah umur, berinisial PU, pada Rabu (19/5) siang.
AT, berusia 21 tahun, merupakan anak seorang anggota DPRD Kota Bekasi yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan karena masih belum juga ditangkap padahal kasus sudah dilaporkan pada 12 April lalu.
Kepolisian menyebut satu-satunya kendala dalam proses hukum terhadap AT adalah karena posisinya sampai sekarang belum diketahui. Menurut keterangan Kasubbag Humas Polres Metro Bekasi Kompol Erna Ruswing, tersangka saat ini dalam status pengejaran oleh aparat. Sebelumnya, AT sudah dipanggil oleh penyidik sebanyak dua kali, tetapi memilih mangkir.
“Yang pasti kasusnya masih berlanjut,” tuturnya.
Publik sendiri menaruh perhatian terhadap kasus ini, bukan hanya karena faktor status tersangka sebagai seorang anak politisi, melainkan juga disebabkan oleh seriusnya perbuatan yang diduga dilakukan oleh AT.
Ayah PU melaporkan bahwa laki-laki tersebut tidak hanya memperkosa putrinya yang masih berumur 15 tahun, tetapi muncul juga dugaan bahwa dia memperdagangkan korban lewat akun MiChat.
Hubungan keduanya, berdasarkan keterangan keluarga, adalah pasangan kekasih. Namun, PU disebut kerap menolak berhubungan seksual dengan AT yang berakhir pada pemerkosaan.
Kritik bermunculan bahwa polisi lamban dalam memproses kasus ini, termasuk dari ayah PU. Apalagi, menurut dia, polisi telah mengatakan bahwa laporannya lengkap.
“Saya sendiri bingung, apa yang kurang dari saya coba. Semuanya sudah saya berikan, mulai dari surat laporan, keterangan korban, keterangan saksi-saksi, bukti visum, barang bukti pakaian sudah saya serahkan,” kata dia.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan kepada VICE sudah semestinya polisi segera bertindak begitu mendapatkan laporan, apalagi jika barang bukti berupa keterangan korban, saksi dan hasil visum sudah lengkap.
“Ini adalah mandat dari UU Perlindungan Anak [yang] memandatkan kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, diantaranya anak korban kejahatan seksual [sesuai] Pasal 59 Ayat 1 dan 2,” jelas perempuan yang akrab disapa Ami tersebut.
Selain itu, dia melihat bahwa fakta tersangka merupakan anak seorang pejabat seharusnya semakin membuat polisi lebih serius dalam menangani laporan ayah PU. Artinya, ada relasi kuasa yang jika dibiarkan, maka dikhawatirkan masyarakat akan kian berasumsi polisi tidak menganggap kasus ini penting.
“Karena ini melibatkan anak dari anggota DPRD, maka sebenarnya seharusnya ini mendorong aparat penegak hukum untuk memberikan perhatian yang lebih serius. Dalam artian jangan sampai muncul asumsi di publik ‘Ah ini kan karena anak anggota DPRD makanya tidak ditahan’,” kata Ami.
Lewat pengacara bernama Bambang, keluarga AT mengaku menyerahkan seluruh proses hukum kepada polisi. Dia dianggap sudah dewasa dan yang dituduhkan merupakan masalah pribadi yang tak berhubungan dengan pihak keluarga. AT sendiri disebut sudah tidak tinggal dengan kedua orangtuanya selama dua tahun.
“Sebenarnya kalau bapaknya tidak ada kaitan hukumnya. Anak ini sudah besar dan sudah dewasa,” ujarnya. “Sampai saat ini belum ditemukan oleh keluarganya. Kita sedang mencari juga keberadaannya.”
Data Komnas Perempuan pada tahun 2020 memperlihatkan jenis kekerasan terhadap perempuan yang paling konsisten muncul setiap tahun berada di ranah pribadi yaitu sebanyak 79 persen atau 6.480 kasus. Kekerasan terhadap istri menempati posisi pertama dengan 3.221 kasus atau 49 persen. Sedangkan di urutan kedua, sebanyak 1.309 kasus atau 20 persen, adalah kekerasan dalam pacaran.
Bukan hanya dari sisi hukum yang harus terus disorot, pemulihan terhadap korban juga perlu diperhatikan, apalagi dia adalah seorang anak di bawah umur yang menurut hasil medis tertular penyakit kelamin dari tersangka hingga terpaksa menjalani operasi.
Ami menjelaskan Instruksi Presiden No.5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual Terhadap Anak mewajibkan kepolisian untuk bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan pemulihan bagi korban. Dia mencontohkan polisi semestinya merujuk korban kepada Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A) di wilayah Bekasi.
Hanya saja, ini bukan hal yang bersifat otomatis sebab tidak ada sistem yang mengintegrasikan prosedur hukum dan pemulihan fisik, psikologis serta ekonomi dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dengan kata lain, menurut Ami, jika korban mendapatkan akses pemulihan, itu lebih dikarenakan dia mencari pendampingan.
“Masalahnya mungkin tidak banyak lembaga yang memberikan hal ini [layanan pemulihan], termasuk juga keterbatasan P2TP2A baik dari segi sumber daya manusia maupun anggaran karena belum ada mandat yang secara tegas dari undang-undang misalnya agar pemerintah daerah mengalokasikan pembiayaan untuk korban melalui P2TP2A,” imbuhnya.
“Jadi, sistem peradilan kita sampai saat ini belum terintegrasi dengan layanan [pemulihan] korban.”
Lubang ini yang berusaha ditutup oleh Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang lebih memanusiakan korban baik dari segi fisik, mental dan ekonomi. Dengan masuknya RUU PKS ke daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, harapannya kerja polisi dan upaya memulihkan korban akan secara otomatis terintegrasi.