Kapolsek Parigi di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, dilaporkan oleh seorang perempuan yang mengaku diperkosa dua kali oleh sang pejabat kepolisian. Perempuan itu merasa jadi korban cara manipulatif si kapolsek memperdayanya. Polisi berinisial Iptu IDGN itu berjanji kepada S (20), anak seorang tahanan di Polsek Parigi, bahwa ayahnya bisa bebas jika S mau tidur dengannya.
Prakik abuse of power itu diladeni korban yang berharap ayahnya benar bisa dibebaskan. Di sebuah hotel, ia kemudian diperkosa pelaku. Namun, setelah itu pelaku justru memberi uang kepada korban, dan tidak melaksanakan janjinya.
“Selama dua minggu sampai tiga minggu dia merayu terus. Terus akhirnya saya mau karena saya pikir saya punya papa mau keluar, jadi saya mau,” kata S, seperti dikutip Detik. “Dia kasih saya uang, dan dia bilang, ‘Ini untuk mama kamu, bukan untuk membayar kamu,’ ini untuk membantu mama karena dia kasihan mama.”
Setelah pemerkosaan yang pertama, IDGN kembali memperkosa S. “Dia ajak lagi kedua kalinya, dan ada chat-nya. Harapan saya memang bisa mengeluarkan papaku,” terang S. Hingga seusai pemerkosaan yang kedua, ayah S masih berada di tahanan. Peristiwa ini lalu S ceritakan kepada ibunya, Siti (59). Mereka berdua lalu melaporkan IDGN ke Polres Parigi Moutong, Jumat (15/10).
IDGN kini tengah diselidiki Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulawesi Tengah. Ia juga dimutasi dari jabatan kapolsek ke Pelayanan Markas Polda Sulteng. Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto mengatakan, kepolisian sudah mendapati bukti chat mesum pelaku kepada korban.
“Chat secara utuh kami belum dapat, tetapi intinya ada percakapan mesra,” kata Didik kepada Detik. “Tim dari Propam dari kemarin sudah melakukan investigasi dan telah melakukan pemeriksaan terhadap para saksi. Pemeriksaan terhadap terduga korban masih koordinasi dengan P2TP2A Parigi Moutong.”
Polisi memakai profesinya sebagai alat memanipulasi perempuan agar mendapat keuntungan seksual jelas bukan kali pertama ini terjadi. Di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, pada 2010, seorang mantan kapolsek berpangkat ajun komisaris di dilaporkan memperkosa tahanan perempuan. Pemaksaan seks itu dilatari janji pelaku bahwa korban bisa segera keluar dari tahanan. Menurut keterangan LBH APIK setempat, pelaku empat kali melakukan pemerkosaan penetrasi, satu kali seks oral, dan satu kali hampir penetrasi namun batal karena pelaku ejakulasi dini.
Kasus yang mirip kembali terulang di Jember, Jawa Timur, pada 2013. Pelakunya lagi-lagi kapolsek, didakwa meniduri istri seorang tahanan. Kasus ini dilaporkan korban sebagai pemerkosaan, namun oleh Polres Jember divonis sebagai seks suka sama suka.
Yang belum lama terjadi, seorang polisi di Jailolo Selatan, Maluku Utara, memperkosa seorang anak perempuan berusia 16 tahun. Pemerkosaan terjadi di kantor polsek, dan bahkan korban bukan tahanan. Korban berada di tangan polisi setelah dikabarkan kabur dari rumah. Sedianya, korban dan seorang teman perempuannya cuma bermalam di kantor polsek, menunggu pagi hari sebelum pulang ke rumah. Bukannya dilindungi, ia justru harus mengalami kekerasan seksual.
Dalam laporan kasus pemerkosaan di Maluku Utara tersebut, VICE menyorot proses penahanan di kantor polisi yang kerap tak sesuai prosedur. Selain kekerasan seksual, kekerasan fisik lain berupa penyiksaan juga berkali-kali ditemukan. Kasus seperti di Parigi ini menambah dimensi kekerasan kepada kerabat tahanan, namun masih terkait relasi kuasa antara aparat dan masyarakat sipil.
Yang lebih mengerikan, dalam kasus di Kutai dan Jember, pelaku hanya diberi sanksi etik, tanpa disidang di peradilan umum. Sementara kasus di Maluku Utara masih tak jelas juntrungannya. Padahal, UU Kepolisian mengatur bahwa setiap polisi harusnya tunduk pada hukum sipil dan sidang etik di internal kepolisian tak bisa menghapus proses pidana.
Menanggapi laporan korban pemerkosaan Kapolsek Parigi, ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso menyatakan pelaku harus diproses pidana. “Kapolres di wilayah tersebut harus segera mencopot Kapolsek, selanjutnya diperiksa sebagai perbuatan pidana 284 KUHP dan bila terbukti diberhentikan secara tidak hormat,” tutur Sugeng, dikutip Tribunnews.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti bahkan menyebut pelaku bisa dijerat dua delik sekaligus. ” Jika benar, maka dapat diduga berpotensi masuk ke kasus korupsi berupa gratifikasi seksual, serta dapat masuk pula ke tindakan pelecehan seksual atau bahkan perkosaan,” kata Poengky kepada iNews.