Banyak kegelisahan anak muda yang bisa disuarakan partai politik, minimal biar sekadar tampak relatable dengan para pemilih usia belia. Kekerasan seksual, literasi finansial, dan dunia kerja adalah tiga contoh isu yang diminati anak muda. Kondisi bonus demografi, situasi di mana penduduk usia produktif menjadi mayoritas, yang akan dialami Indonesia, menambah urgensi para parpol buat peduli pada wacana terkini.
Kenyataannya mengkhianati harapan. Parpol penguasa hingga yang nomor buncit lebih memilih pedekate sama pemilih muda dengan cara paling klise saat ini: mengunggah konten joget TikTok.
Tren ini terlihat dari utas akun Twitter @heraloebss yang viral akhir pekan lalu. Dalam cuitan yang sudah dihapus itu, pemilik akun mengunggah video joget TikTok dari, mengacu sebutan yang dipakai pembuat utas, “politisi milenial” berbagai parpol. Yah, para anak muda yang dengan atribut partai berjoget di depan kamera ini lebih cocok disebut Gen Z sih dibanding milenial. Tapi maklumi aja deh salah kaprah ini. Video joget kader muda parpol macam itu masih mudah ditemukan di TikTok. Ketik saja iseng nama salah satu parpol di Indonesia, akan muncul video-video diniatkan jadi ajang kampanye dan berambisi #FYP.
Intinya, kompilasi video joget parpol tersebut telah memicu diskusi menarik seputar strategi marketing partai: apakah benar cara ini mampu menggaet anak muda untuk ikut berpolitik, atau justru menjauhkan anak muda dari politik mengingat generasi mereka sangat kritis?
Untuk menjawabnya, VICE bertanya pada Farid Fatahillah, digital marketer dari Inventure Indonesia, perusahaan konsultasi, riset, dan pelatihan di bidang marketing dan strategi pasar. Saat ini Farid juga menjadi staf ahli di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Pertama, mari apresiasi parpol ini dulu,” Farid memulai jawabannya dengan sangat humas. “TikTok itu identik dengan Gen Z dan milenial akhir. Dalam politik, segmen ini sebelumnya jarang dilirik parpol. Bukan enggak ada, tapi jarang digarap secara serius. Padahal, potensinya besar melihat [Indonesia akan mengalami] bonus demografi. Ketika parpol mulai melirik segmen Gen Z, itu menurut saya kemajuan,” ucap Farid.
Melihat parpol sebagai brand, Farid menjelaskan konsep marketing funnel. Konsep ini menjelaskan bahwa ada perjalanan panjang seorang customer, dari semula hanya aware akan keberadaan produk, hingga akhirnya membeli dan merekomendasikan produk ke orang lain. Dalam politik elektoral, perjalanan itu dimulai dari calon pemilih mengetahui keberadaan parpol hingga pada puncaknya, memilih si partai di pemilu. Dalam setiap tahapan di funnel ini, konten pemasaran yang dibutuhkan juga berbeda-beda.
“Konten kemarin [joget parpol] itu secara brand awareness oke. Minimal sudah viral, muncul respons positif atau negatif itu nanti dulu, yang penting dibicarakan. Nah, tahapan dari aware sampai akhirnya memilih itu beda kontennya. Untuk selanjutnya, harus ditambah konten yang enggak cuma receh, tapi juga bertanggung jawab mengedukasi audiens secara politis,” ujarnya.
Beberapa tips mengelola media sosial parpol ala digital marketer lantas dijabarkan Farid (halo para kader, tolong ini dicatat). Tujuannya untuk bisa mengubah orang yang semula hanya aware sama keberadaan parpol, menjadi lebih tertarik memilih.
Pertama, konten harus berpusat pada pemilih, atau istilah marketingnya customer-centric. Dalam konteks menggaet pemilih muda, mereka harus paham keinginan generasi ini.
“Partai, sebagai sebuah brand, harus ngerti dulu kebutuhan dan keinginan, kegelisahan dan hasrat para anak muda ini sehingga bisa ngasih penawaran yang relatable. Misalnya, isu krusial macam dunia kerja seperti work-life balance, literasi finansial seperti dana darurat atau perumahan terjangkau, kekerasan seksual, itu harus ditangkap parpol dalam konten untuk memberikan penawaran ‘kalau kalian memilih partai saya, saya akan memperjuangkan hal tersebut’. Itu kan sangat relate, jangan sekadar joget-joget,” tambah Farid.
Tips kedua, parpol harus bisa menjadi fasilitator anak muda. Dalam konteks media sosial, parpol bisa menjabarkan solusi dari isu-isu tersebut. “Jangan cuma cari suara, tapi juga fasilitasi, menjadi enabler. [Media sosial parpol] bisa jadi wahana audiens saling berinteraksi dan membicarakan solusi permasalahan anak muda. Jadikan audiens sebagai anggota komunitas, bangun kedekatan. Marketing itu bukan tentang selling, tapi facilitating.”
Ketiga, dan yang terpenting, medsos parpol seharusnya menunjukkan autentisitas parpol tersebut. “Poin penting dari marketing itu membuat diferensiasi. Customer-centric itu wajib, tapi harus membedakan diri dari partai lain, keluar dari jebakan komodifikasi. Kalau semua menawarkan hal sama, audiens malah tambah bingung milihnya. Konten TikTok joget-joget itu ternyata semua parpol melakukannya kan? Kalau sudah sama, maka butuh konten-konten lain yang lebih mengedukasi, atau mengadvokasi [isu-isu anak muda],” tutup Farid.