Beranggotakan anak muda yang mulai sibuk memikirkan cicilan bermacam kredit tiap bulan, awak redaksi VICE tak sanggup berkata-kata lagi saat mendengar kabar viral Ghozali, pemuda 22 tahun asal Semarang, berhasil meraup cuan sekitar Rp13 miliar berkat jualan swafotonya.
Setiap hari selama lima tahun sejak 2017, Ghozali mengaku mengambil foto diri menggunakan kamera komputernya dengan tujuan membuat video timelapse foto-foto tersebut. Namun, Ghozali lantas iseng menjual ratusan foto selfie tersebut di marketplace NFT, singkatan dari non-fungible token, bernama OpenSea dengan harga 0,001 Ethereum, setara Rp30-40 ribu.
Foto itu laku keras, dibeli beberapa influencer Indonesia seperti Reza Arap dan Arnold Poernomo. Permintaan naik, menyebabkan harga yang semula puluhan ribu per foto, melonjak tajam menjadi Rp40-50 juta. Sisanya adalah sejarah, Ghozali disebut mendulang koin kripto yang nilainya sempat setara Rp13 miliar.
Maka, kami mulai mencari tahu soal NFT ini dengan harapan murni materialistis: agar bisa menjadi miliarder selambat-lambatnya minggu depan.
Secara sederhana, NFT adalah bukti kepemilikan seseorang atas sebuah produk. Di marketplace NFT saat ini, produk yang didagangkan didominasi oleh artwork. Belakangan, mulai muncul pula NFT untuk musik atau foto jurnalisme.
Alur simpel transaksinya begini: kreator mengunggah karya ciptaannya ke marketplace NFT, lalu karya itu bisa dibeli oleh orang lain menggunakan aset kripto. Pembeli tersebut kini sudah tercatat secara digital sebagai pemilik sah karya seni tersebut dan bisa menjualnya ke orang lain lagi, biasanya dengan harga yang lebih mahal. Setiap transaksi yang terjadi atas hasil karya tersebut selanjutnya akan tetap memberikan “royalti” sebesar 2,5 persen kepada si pembuat karya.
Penjelasan dasar ini belum menjawab rasa penasaran kami yang paling pamungkas, gimana bisa selfie seorang pemuda yang tak tampan-tampan amat menjadi artwork yang laku keras di pasar internasional? Kami akhirnya memutuskan ngobrol sama beberapa praktisi NFT. Apa pun kami lakukan demi kekayaan instan.
Pertama adalah Fani*, berkecimpung di dunia NFT sejak Juli 2020. Doi meminta namanya disamarkan karena merasa pendapatnya bisa memicu backlash. Fani termasuk pengguna yang aktif melakukan jual-beli NFT.
“Gue ngeliat Ghozali ini kayak dipilih jadi semacam representative dari komunitas NFT di Indonesia kepada dunia. Begitu dia upload selfie-nya ke OpenSea, para influencer NFT di Indonesia berbondong-bondong beli banyak dan promosi. Karena dipromosikan terus-terusan, influencer NFT luar negeri akhirnya ikutan beli, membuat harganya melonjak,” kata pria 30 tahun tersebut kepada VICE.
Tahu tujuan kami bertanya-tanya soal Ghozali hanyalah tentang uang, uang, dan uang, karyawan swasta di Kota Bandung itu lantas mengingatkan kami. Fani yakin konten absurd seperti Ghozali hanya akan mahal sesaat. Meski emang sempat mencapai harga 1 Ethereum per selfie, pada saat artikel ini ditulis harganya udah merosot di angka 0,24. Fani yakin, harga tersebut akan terus merosot mendekati harga awalnya di 0,001 Ethereum.
“Jadi, kan kasian orang yang ikut-ikutan [beli NFT Ghozali] pas di harga tinggi. Sekarang mereka terjebak karena harga udah turun. Pas beli 1 ETH, sekarang cuma 0,24 ETH, jadi enggak bisa dijual [untung] lagi,” kata Fani.
Terlepas dari rasa berkabung kepada mereka yang terjebak harga pas lagi tinggi-tingginya sehingga terpaksa cut loss, kepada Fani kami menanyakan seberapa besar kemungkinan kami punya kapal pesiar dari hasil foto selfie?
“Enggak bisa kayaknya kalau selfie doang, ini cuma berhasil sekali. Udah terlambat, udah banyak yang ngikutin Ghozali, harga udah turun. Cari konten absurd lain aja. Sulit sih, tapi ya siapa yang tahu?” kekeh Fani.
Ngobrol sama Fani memunculkan rasa pesimistis kami atas semangat cepat kaya lewat NFT. Untuk mengobatinya, kami menemui Sadam Husaen, karyawan salah satu penerbit di Yogyakarta yang termasuk salah satu manusia beruntung karena mendapat keuntungan maksimal dari Ghozali. Kepada VICE, doi cerita melihat keramaian Ghozali di Twitter pada Selasa (11/1) siang. Namun, saat itu Sadam belum terpikir mau beli.
“Tapi, waktu malam, saya berpikir lucu aja gitu kalau beli foto Ghozali dan dijadiin profil picture di Twitter. Akhirnya, saya beli lah dua foto Ghozali, masing-masing 0,001 ETH, sekitar Rp40 ribu,” kata Sadam saat dihubungi VICE. Keesokan harinya (12/1), Ghozali trending. Sadam lantas iseng menjual 1 foto Ghozali yang dimilikinya seharga 1 ETH, atau sekitar Rp30 juta. “Langsung laku, saya yang awalnya mau lucu-lucuan, eh malah cuan. Sekarang saya masih simpan satu foto Ghozali di koleksi NFT saya,” tambahnya.
Sadam menyebut laku kerasnya konten absurd semacam ini baru pertama kali ditemuinya. Doi menyebut Ghozali beruntung karena mendapat endorsement dari para publik figur yang terjun di NFT. Namun, Sadam tidak tertarik untuk ikut-ikutan langkah absurd Ghozali. Sebagai pemain NFT baru, Sadam menyarankan pemula untuk lebih memilih cara yang berkelanjutan dibanding berharap pada keberuntungan macam Ghozali.
“Sama aja kayak berdagang pada umumnya. Yang penting konsisten berkarya, rajin promosi, dan terus berkomunitas. Saling mengenal sesama kreator di medsos menurutku penting, saling mendukung,” kata Sadam yang karya NFT-nya bisa dilihat di tautan berikut. Waduh, kalau begitu sih kelamaan prosesnya.
Indro Moektiono, pria domisili Jakarta yang menjual foto dan artwork-nya sejak Agustus 2021 dalam bentuk NFT, mengatakan hal di luar nalar sebenarnya sudah biasa terjadi di ranah NFT, cuma yang sampai sukses besar seperti Ghozali termasuk langka.
“Mungkin yang lumayan bisa dibandingin adalah koleksi EtherRock yang sempat heboh pertengahan 2021 lalu. Gambar clip art batu ‘doang’ bisa laku miliaran (VICE pernah menulisnya di sini). Ini clip art gratisan dari internet pula, besutan developer tanpa nama,” kata Indro saat dihubungi VICE.
Kepada kami, Indro ngasih catatan. Menurutnya, embel-embel “doang” yang kerap disematkan orang awam pada karya-karya aneh yang laku keras di dunia NFT disebabkan oleh keengganan melihat faktor X yang membuat nilai karya digital tersebut melejit. Maksud Indro, penentu nilai jual NFT enggak melulu soal konsep dan wujud visualnya kok, melainkan juga cerita di baliknya
“EtherRock tadi, dirilis pada 2017, awal mula dunia NFT mulai berkembang, sehingga menyandang status ‘The OG’ alias barang antik bernilai mahal. Membeli EtherRock berarti memiliki kepingan sejarah internet, punya value yang sulit ditandingi. Dalam kasus Ghozali, ada elemen-elemen penting yang gagal dilihat oleh awam, yaitu ketekunan, konsistensi, kejujuran, keberanian, dan kejeliannya melihat momentum. Kombinasi ini susah banget direplikasi,” tambah Indro.
Ketika kami minta tips agar kami bisa sesukses Ghozali, Indro menyebut itu semua enggak ada rumusnya. Kalau emang pengen belajar sesuatu dari Ghozali, Indro menyarankan untuk mencontohnya dengan menjadi diri sendiri.
“Kisah sukses terbaik di kasus ini adalah menjadi diri sendiri. Sejatinya, berkarya seni di NFT itu semestinya menyenangkan dan membebaskan kita dari berbagai beban serta tuntutan yang selama ini mengekang kreativitas. Perlu diingat Ghozali menjalankan proyek foto diri setiap hari selama lima tahun. Ide itu gratis, yang mahal itu eksekusi dan konsistensi. Itu wajib diapresiasi,” tutup Indro.
Penjelasan Indro mengakhiri perjalanan kami dalam mencari cara cepat kaya via NFT. Karena diminta menjadi diri sendiri, kami memutuskan pulang, rebahan, dan kembali meratapi cicilan.