Salah satu pekerjaan lepas yang populer bagi banyak mahasiswa adalah jadi pelayan kafe. Aku dulu menjalani profesi itu untuk menambah uang jajan, semasa masih jadi mahasiswa pada tahun 2012. Motivasiku mau jadi pelayan sederhana: karena syarat diterimanya mudah, serta pengaruh tontonan FTV.
Biasanya karakter utama FTV bekerja sebagai pelayan kafe untuk biaya kuliah. Di situ dia berbuat ulah, entah menumpahkan minuman atau tabrakan dengan perempuan, yang nantinya menjadi pacar di akhir cerita. Alasan ini terkesan ngasal, tapi memang itu salah satu unsur aku bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe saat kuliah. Siapa tahu dapat jodoh.
Tapi setelah nyemplung, baru kusadari kalau bisnis kafe tidak seperti kerja kantoran yang punya jam kerja ajeg. Alhasil privasi terpaksa kugadaikan demi tambahan uang jajan. Boro-boro pacaran. Kalau dapat pacar karena ketemu di kafe sekalipun, mana sempat aku punya waktu untuk mesra-mesraan?
Fakta itu terasa makin suram setelah aku menyadari tempat kerjaku adalah kafe yang buka seharian tanpa jeda, konsepnya menyerupai warmindo. Kalian tentu tahu, warmindo kedai yang kurun operasionalnya 24 jam penuh. Nyaris tanpa libur dalam setahun. Sebutan lazimnya adalah burjo di kawasan Jogja dan sekitarnya (dulu jualan utamanya bubur kacang ijo, alias burjo, tapi belakangan konsepnya berubah bahkan ikut menjual nasi dengan bermacam lauk).
Saat itu, lantaran beberapa pegawai berasal dari luar Jogja, pemilik burjo berkedok kafe ini memberi fasilitas tempat tidur. Selain para mahasiswa dan mahasiswi iseng sepertiku yang bekerja di sana, ada tiga orang lain yang bekerja penuh waktu di kafe tersebut.
Dua laki-laki dan satu perempuan. Sebut saja meraka Rifki, Dodi, dan Yanti*. Mereka tidur di kamar yang berada di bagian belakang kafe. Sementara para mahasiswa dan mahasiswi memiliki kos masing-masing. Hanya sesekali saja tidur di kafe.
Para pegawai berumur antara belasan sampai 25 tahun, usia gelora seksual yang sedang renyah-renyahnya. Awal bekerja di kafe tersebut, Rifki dan Dodi belum punya pacar. Dalam melampiaskan hasrat seksual, seperti kebanyakan anak muda lain, mereka mengandalkan masturbasi.
Ini bukan sekadar dugaanku saja. Ponselku pernah jadi korbannya. Sebagai pembantu imajinasi, Rifki pernah meminjam ponselku cukup lama. Setelah dikembalikan, sepertinya dia lupa atau justru sengaja, membiarkan beberapa video porno yang dia download di ponselku tetap tersimpan. Kala itu ponselnya memang belum cukup layak untuk mengunduh video.
Dalam momen gajian, kadang terselip bercandaan antara para pegawai, “Gimana, apa kita patungan sewa prostitusi saja, lalu kita bawa ke sini?”
Itu candaan getir sebetulnya. Mustahil melakukan hubungan seks, konsensual maupun berbayar, di kamar kafe itu. Selain sempit, pintu masuknya terlihat banyak orang. Pemilik kafe mana coba yang ikhlas warga sekitar menggerebek tempat usahanya, gara-gara ada pegawai kebelet birahi?
Tapi situasi rikuh itu memunculkan siasat lain. Kalau memang sulit cari pacar, berarti sikat saja teman kerja. Dodi yang tinggal di kafe, menempuh taktik itu. Dia berpacaran dengan sesama pegawai, sebut saja Ratih*. Lantaran Dodi tinggal di kafe, meski tidak ada jadwal bekerja, Ratih seringkali datang untuk ngapel. Tidak jarang mereka bermesraan di ruang televisi, yang berada di depan kamar tidur.
Pernah saat aku datang ke kafe untuk menjalani shift, Rifki dan Yanti sedang berada di area meja konsumen. Padahal mereka tidak ada jadwal jaga, dan biasanya mereka bersantai di belakang. “Ngapain di sini? Bukannya lagi enggak jaga?”
“Biasa, lagi dipakai Dodi.”
Barulah setelah perilaku asmara mereka diketahui banyak pihak, termasuk para pelanggan, owner menegur Dodi dan pacarnya, dan kamar istirahat dilarang untuk jadi tempat bermesraan. Ini baru pacaran, bagaimana apabila suami istri bekerja di warung 24 jam yang juga tinggal bersama pegawai lain? Pengalaman jadi pelayan kafe itu yang membuatku jadi kepikiran nasib serupa yang dialami orang lain di bisnis serupa.
Imbas dari kapitalisme bisnis jasa yang berhasrat melayani konsumen kapanpun (tutup toko sejenak bahkan dianggap inefisien), semakin banyak pula usaha yang jam bukanya 24 jam di masa sekarang. Selain burjo, ada toko kelontong yang menjual bensin (sering dijuluki ‘warung Madura’ karena penjaganya memang berasal dari Pulau Madura), atau restoran cepat saji 24 jam. Kalau sistemnya shift mungkin privasi masih bisa dimiliki. Tapi dalam beberapa kasus, penjaga toko atau burjo itu hidup juga sehari-hari di tempat kerjanya.
Daripada penasaran sendiri, aku pun bertanya pada orang-orang yang menjalani hidup macam itu.
Salah satu penjaga burjo di Sleman, Herkules*, memilih mengontrak rumah setelah dia menikah. Sebelum menikah, dia tinggal bersama pegawai lain di burjo. Namun lantaran privasi yang ingin dia jaga dalam berkeluarga, maka Herkules memilih mengeluarkan biaya tambahan untuk tempat tinggal.
“Biasanya, misal awalnya tinggal di warung sama temen, kalau yang udah menikah gitu, pada pindah rumah,” kata Herkules yang merupakan warga asal Kuningan, Jawa Barat.
Sudah sejak lulus SMP, Herkules bekerja di Sleman sebagai penjaga burjo. Awalnya tinggal di warung 24 jam cukup mengganggunya. Tidak ada saat-saat warung bisa sepi. Selama 24 jam hidup terus. Namun hanya perlu waktu dua pekan sampai dia benar-benar menyesuaikan.
Penyesuaian privasi awalnya mudah, lantaran pacar Herkules kala itu ada di Kuningan. Namun situasi jadi rumit setelah mereka menikah, dan istrinya ikut tinggal di Jogja.
“Misal masih tinggal di warung, kasihan privasi istri sama anak, jadi yaudah pindah saja,” kata pria yang saat ini berusia 24 tahun. “Tapi misal warung yang kecil-kecil gitu, biasanya milik suami-istri, mereka tetep tinggal di warungnya. Siang istri yang jaga, kalau malem suami yang jaga.”
Apabila suami-istri yang mengelola warung 24 jam, mungkin ada pertanyaan, terus kapan waktu mereka bercinta atau berhubungan intim? Kan warungnya buka terus?
Penjaga burjo lain di Sleman, Nana*, memilih menutup tempat usahanya apabila hendak berhubungan intim. Meski ada waktu-waktu burjonya sepi, dia tidak ingin ambil resiko. “Ya setelah berhubungan [sama istri], mau buka warung atau enggaknya tergantung suasana. Kalau capek yang tutup sampai pagi, kalau masih kuat yang buka lagi warungnya,” ujarnya sambil tertawa.
Pilihan menutup warung saat hendak berhubungan intim juga yang Aswad* lakukan. Penjaga warung kelontong Madura 24 jam ini mengatakan setiap pemilik warung beda-beda manajemen waktunya.
“Ada yang misal ingin berhubungan [intim], dia nutup warungnya. Ada juga yang kadang tidak ditutup, tapi nunggu ketika sepi. Di sekitar jam 1 dini hari kan sepi, bisa berhubungan,” kata laki-laki berusia 33 tahun asal Madura ini. “Kalau saya mending tutup warung sekalian. Kalau enggak tutup berisiko.”
Dalam menjaga warung kelontongnya, Aswad sering jaga mulai pukul 24.00 sampai 06.00 WIB. Setelah itu dilanjutkan oleh istrinya. Adapun jam-jam tersepi toko kelontongnya sekitar pukul 03.00-04.00 WIB.
Setelah berhubungan intim selesai, bisa kemudian Aswad membuka membuka lagi tokonya atau sekalian tutup sampai pagi.
Keputusan menutup warung saat berhubungan intim, menurut orang-orang yang kuajak ngobrol, tetaplah pilihan terbaik. Selain bisa lebih fokus dengan kegiatan saat itu, potensi pencurian barang di toko juga minim. Jangankan sedang bercinta yang butuh konsentrasi, saat sedang menjaga warung secara normal saja Aswad beberapa kali kecurian.
Pernah dua kali, ada pengendara motor yang memiliki bakat terpendam acting, yang kemudian mencuri dagangan milik Aswad. “Jadi dia beli rokok, tapi sepeda motornya di taruh deket jalan. Setelah ambil rokoknya, dia bilang kalau mau ambil barang atau uang di motor, ternyata langsung kabur,” kata Aswad yang sudah berada di Jogja sejak 2009.
Kasus pencurian juga pernah terjadi saat Aswad ketiduran. Selain menjaga toko pada malam hari, pagi sampai siang dia bekerja sebagai advokat di salah satu perusahaan. Sehingga potensi mengantuk saat jaga warung, apalagi kalau sepi, sangat mungkin terjadi. Pernah dua kali ketiduran saat jaga warung, pencuri mengambil tabung gas milik Aswad.
Namun Aswad kembali menegaskan tiap pemilik warung berbeda-beda manajemen waktu dalam menjaga warung 24 jamnya. Aswad tipe orang yang saat capek, memilih untuk istirahat, tidak memaksakan diri. Apalagi sekarang dia sudah punya pegawai, jadi bisa membantu menjaga toko kelontongnya. Hubungan pribadi dengan istri juga bisa lebih leluasa.
“Kalau dalam guyonan [sesama penjaga warung 24 jam] itu, di etalase dikasih lubang. Sembari berbuat apapun di [dalam area] warung, lubang itu buat ngeliat ada orang atau enggak di luar. Tapi itu hanya guyonan aja,” kata Aswad. Namun karena dia tersenyum nakal, aku ragu kalau lubang itu betul-betul hanya lelucon.
*Semua nama narasumber telah diubah untuk menjaga privasi mereka