Berita  

Kami Bertanya pada Peneliti Humor: Apakah Bikin Materi Komedi Wajib Riset Dulu?

kami-bertanya-pada-peneliti-humor:-apakah-bikin-materi-komedi-wajib-riset-dulu?

Kita semua tahu humor itu subjektif. Materi komedi yang dibuat oleh tukang melucu paling berpengalaman sekalipun, tidak akan mampu bikin tertawa orang sedunia. Ada konteks candaan yang perlu dicermati secara utuh, dimengerti secara penuh. Perkembangan pola pikir manusia bisa mengubah sesuatu yang lucu dulu menjadi sesuatu yang tak lucu kini. Kedekatan kita dengan hidup si komedian juga turut memberi pengaruh semudah apa kita ikut tertawa. 

Konsep subjektivitas dalam komedi yang sudah rumit ini akan makin jelimet saat kita melibatkan kepekaan isu dalam materi yang dibawakan. Pertanyaan penting muncul: apakah pelawak perlu mempertimbangkan kalau-kalau materinya diskriminatif dan menyerang pihak yang sejatinya sudah teropresi? Apakah membicarakan kelucuan dari sebuah isu membuat komedian mesti melakukan “riset” terhadap isu itu terlebih dahulu agar leluconnya “lebih valid”? Atau sebenarnya, tugas komedian yang pertama dan utama adalah melucu sehingga salah-benar serta menyinggung-atau-tidak jadi urusan nomor sekian?


Bagi stand-up comedian misalnya, materi yang paling umum dibawakan biasanya seputar pengalaman hidup dan hasil observasi. Tapi kan pengalaman dan observasi seseorang pasti ada batasnya, tergantung seberapa peka dan seberapa panjang perjalanan hidup si komika. Makanya tak jarang bit hasil pengalaman hidup dan observasi yang bertujuan melucu itu bukan hanya dianggap tidak lucu, tapi juga jadi perdebatan ketika disampaikan kepada masyarakat luas. 

Diskusi seputar kepekaan isu macam inilah yang muncul akibat twit komedian Patra Gumala di Twitter, dua hari lalu. Bit-nya seputar isu parkir khusus perempuan dibumbui dengan kalimat “Mau lo disamain dengan difabel?” dianggap merendahkan perempuan dan difabel. Di premis leluconnya, Patra dinilai tidak mengerti esensi dibuatnya parkir khusus perempuan. Komedian tersebut mengelak dari tudingan para pengkritik. Ia juga menyuruh pihak yang protes untuk menonton utuh videonya agar “lebih mengerti konteks”.

VICE lantas ngobrol bareng peneliti humor Ulwan Fakhri dari Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3). Kepada Ulwan, kami bertanya seputar seberapa perlu seorang komedian untuk melakukan “riset” sebelum membuat materi.

Menurut Ulwan, ada dua sumber yang sangat layak dijadikan inspirasi materi komedi, yakni pengalaman hidup pribadi dan hasil observasi isu berdasarkan “riset”. “Komika bisa tanya-tanya [soal isu tersebut] ke orang yang lebih ngerti, misalnya dilakukan Pandji [Pragiwaksono] di [persiapan showcase] Juru Bicara. Dia wawancara orang WALHI dan KontraS untuk mencari poin-poin yang sebenarnya dia enggak ngalamin, tapi [mau] dijadikan ide premis materinya,” ujar Ulwan kepada VICE.

Ulwan berpendapat sebenarnya enggak ada yang mewajibkan komedian untuk riset mengingat pengalaman hidup sudah cukup layak jadi materi. Lantas, ia menggarisbawahi bahwa humor itu tidak netral sehingga tergantung kepada pemateri mau menggunakannya untuk kepentingan apa.

“Mengutip Seno Gumira Ajidarma, co-founder IHIK, beliau bilang baiknya posisi humor itu untuk public good, kebermanfaatan orang yang lebih banyak. Keadilan dan peradaban yang ingin diraih oleh humor itu berasal dari orang yang termarjinalkan,” tambahnya.

Konsep inilah yang membuat materi komedi seputar kebijakan dan tingkah polah pemerintah menjadi populer dan tahan lama. Sudah kita pahami bersama, masyarakat kerap tak berdaya melawan represi negara, alhasil muncul komedi yang lahir dari keresahan. Komedi jenis ini mudah dikonsumsi karena jadi ajang menertawakan penguasa. Menurut Ulwan, itulah salah satu contoh penerapan humor untuk public good.

“Di IHIK3, kami memodifikasi quote-nya Sir John Hegarty bahwa kalau bikin humor itu read, think, and create gitu. Prosesnya penyerapan informasi, pengolahan informasi, baru menghasilkan sesuatu yang harapannya bisa membawa manfaat di luar diri kita,” tambahnya. 

Namun, bukankah konsep untuk public good itu sendiri subjektif? Alasan ini tentu bisa dipakai oleh siapa pun, termasuk sang komedian, ketika materinya menjadi perdebatan. Ulwan menyebut, alaminya humor itu menyatukan sekaligus memecah belah sehingga parameter yang bisa dipakai terkait public good adalah materi apa yang menyatukan paling banyak elemen masyarakat. Dalam kasus jokes tentang pemerintah tadi misalnya, tentu pihak pemerintah merasa materi tersebut bukan untuk public good.

“Yang riskan itu kalau sesama sipil gitu karena kita jadi [terbelah] kecil-kecil,” tutupnya.