Teucrium Wheat Fund terpaksa menghentikan sementara pembukaan saham baru menyusul tingginya permintaan investor. Jumlah saham yang ditawarkan sangat terbatas—hanya 7,4 juta—sehingga ETF mencapai ambang batasnya ketika semakin banyak investor tertarik meraup keuntungan dari lonjakan harga. Reksa dana berbasis gandum itu mulai memperdagangkan saham dengan premi yang signifikan di atas nilai aktualnya.
“Harga komoditas telah melonjak selama dua pekan terakhir sebagai akibat serangan Rusia ke Ukraina, sehingga menarik perhatian para investor pemula yang ingin cepat kaya,” tulis Jared Dillian, editor dan penerbit newsletter The Daily Dirtnap, dalam artikel Bloomberg pada Kamis lalu (10/3).
ETF tersebut masih dapat diperdagangkan saat itu terjadi, karena Komisi Sekuritas dan Bursa AS mempercepat permintaan sponsor untuk membuat saham baru. Permintaannya disetujui pada Rabu waktu setempat, sedikit menstabilkan harga saham setelah meroket hingga $13,64 (Rp195 ribu) per gantang (27 kg) gandum pada Selasa. Namun, sebagaimana dilaporkan Bloomberg News, nilainya tetap naik 50 persen dibandingkan dengan harga di awal tahun.
Ketertarikan terhadap gandum di bursa berjangka mencerminkan kekhawatiran bahwa konflik Rusia-Ukraina dapat memengaruhi rantai pasokan pangan global. Harga komoditas memang sudah naik dari sebelum terjadinya invasi, sebagian karena gangguan rantai pasok yang lebih luas dan kekeringan panjang di Timur Tengah. Namun, menurut laporan Quartz pada 24 Februari, perang Rusia telah membuat harga saham gandum berjangka di Chicago Board of Trade mencapai titik tertinggi sejak Juli 2020. (Sebagai konteks, harga pangan secara luas telah mencapai rekor tertinggi sekitar waktu itu, jadi sesuai dengan tren yang lebih luas.)
Ukraina dan Rusia, yang dulu dijuluki “Keranjang Roti Eropa” karena statusnya sebagai pengekspor gandum besar, mewakili 29 persen dari perdagangan gandum dunia. Sejak Ukraina diserang Rusia, negara itu terpaksa menutup lima pelabuhan utama yang menjadi jalur pengiriman biji-bijian. Ukraina juga telah menghentikan kegiatan ekspornya untuk memastikan bahan pangan tetap stabil selama konflik belum berakhir.
Rusia melakukan hal serupa mulai Kamis lalu, begitu juga dengan negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik, seperti Mesir yang merupakan negara tujuan ekspor gandum terbesar bagi Ukraina. Ada kekhawatiran terhambatnya perdagangan dengan Rusia dan Ukraina akan membebani pasokan dalam negeri.
Seperti dikutip Bloomberg News pada 8 Maret, Goldman Sachs menebak ini akan menjadi “kejutan paling tajam” bagi pasar biji-bijian global sejak 1972, seperti saat Uni Soviet memborong jutaan ton gandum AS di tengah kegagalan panen.
Pakar keamanan pangan global khawatir kenaikan harga saham gandum berjangka dan larangan ekspor akan menyebabkan langkanya bahan pokok di pasar. “Serangan di Ukraina dapat memperburuk krisis kelaparan global hingga ke tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya,” ujar direktur eksekutif Program Pangan Dunia David Beasley pada 4 Maret.