Sebuah gugatan perdata yang ramai dibahas media massa sejak 6 April 2021 mengingatkan kita betapa berbagai dampak kebijakan Orde Baru masih terasa di Indonesia sampai sekarang. Meski detail kasusnya belum banyak dibahas, dokumen salinan gugatan ini dapat membantu kalian memahami bahwa kasus ini terkait proses pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Menurut informasi perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, disebut pihak penggugat adalah perusahaan konsultan bisnis asal Singapura, Mitora Pte. Ltd.
Perusahaan itu menuding kelima anak mantan presiden ke-2 Indonesia, Suharto, telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sebagai kompensasi, Mitora menuntut jatah tanah 20 hektare di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) beserta Museum Purna Bhakti Pertiwi, dan sebuah rumah mewah bernama Puri Jati Ayu agar disita. Selain itu para tergugat diminta membayar ganti rugi kepada Mitora sebesar Rp584 miliar. Gugatan tersebut sudah didaftarkan ke PN Jaksel sejak 8 Maret 2021.
Kalau Mbak Tutut, Mas Bambang, Mbak Titiek, Mas Sigit, dan Mbak Mamiek yang digugat, kok yang dituntut sita malah tanah serta bangunan di TMII? Gugatan ini alhasil berpeluang menyadarkan masyarakat, bahwa selama ini tempat singgah wajib study tour anak SMP berbagai kota tersebut ternyata dikuasai anggota Keluarga Cendana.
Btw, ini gugatan kedua Mitora ke lima bersaudara Suharto junior. Pada Desember 2018, perusahaan yang sama pernah mengajukan perkara ke pengadilan dengan nilai ganti rugi Rp1,1 triliun, namun dicabut pada April 2019. Di kedua kasus tersebut juga tak terang apa perbuatan melanggar hukum yang dimaksudkan.
Bicara soal penguasaan TMII, meski tak jelas ada kaitannya dengan gugatan ini atau tidak, sejak 31 Maret 2021 Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) 19/2021 yang mengatur alur pengambilalihan pengelolaan TMII dari Yayasan Harapan Kita ke Sekretariat Negara. Perpres ini sekaligus mengakhiri Keppres 51/1977, diteken Suharto, yang dahulu menyerahkan hak kuasa dan kelola TMII kepada Yayasan Harapan Kita.
“Presiden telah menerbitkan Perpres No. 19/2021 tentang TMII. Yang di dalamnya mengatur penguasaan dan pengelolaan TMII dilakukan oleh Kemensetneg,” terang Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam konferensi pers, Rabu (7/4), dilansir Kompas.
Kalau penjabaran Pratikno terasa rumit, gampangnya begini: status 146 hektare tanah TMII adalah hak pakai atas nama Sekretariat Negara (karena negara enggak boleh punya hak milik). Tapi selama 44 tahun, tepatnya sejak 1977, presiden RI kala itu memberi hak penguasaannya kepada Yayasan Harapan Kita, yang notabene petingginya anggota keluarga presiden yang bikin keppresnya.
Nah, perpres terbaru Jokowi ini bisa diduga ada kaitannya dengan gugatan Mitora yang sedang diajukan ke pengadilan, karena pada Pasal 2 ayat 3a disebut Yayasan Harapan Kita dilarang melakukan pelepasan aset sampai perjanjian utang tanpa persetujuan Setneg.
Sekilas sejarah, pembangunan TMII diinisiasi oleh istri Suharto, Siti Hartinah, yang terinspirasi Disneyland di Amerika Serikat. Bu Tien, panggilan akrabnya, pengin punya wahana dan taman bermain kayak gitu di Tanah Air, tapi dengan kearifan lokal. Idenya: TMII adalah brief resume, miniatur wajah kebudayaan Indonesia, diwakili dengan rumah dan baju adat semua provinsi.
Proyek pembangunannya kemudian dimulai pada 30 Juni 1972, disertai protes keras dari berbagai elemen di Indonesia, terutama oleh mahasiswa. Saking kerasnya protes atas pembangunan TMII yang dinilai buang-buang duit, pimpinan TNI sampai turun tangan melarang unjuk rasa dan diskusi kritis tentang megaproyek ini.
TMII akhirnya diresmikan Presiden Suharto pada 20 April 1975, dengan ikonnya berupa bangunan Teater Keong Mas, dengan desain menyerupai Sydney Opera House, yang kelak mewarnai buku pelajaran anak Indonesia.
Dua tahun kemudian, keppres yang sudah disebut di atas menetapkan Yayasan Harapan Kita, salah satu yayasan bentukan Keluarga Cendana, sebagai pengelola tunggal. FYI aja, anak-anak Suharto memang getol bikin yayasan. Pembuatan yayasan diduga aktivis antikorupsi sebagai salah satu modus keluarga simbol Orde Baru tersebut untuk menghimpun dana publik dalam rangka memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan mereka.