Bagi Chloé yang terobsesi dengan kulit mulus, jerawat adalah musuh terbesarnya.
Setiap ada benjolan kecil muncul di wajah, perempuan 19 tahun ini akan buru-buru pergi ke kamar mandi dan berkaca di depan cermin. Matanya hanya tertuju pada jerawat yang mengganggu penampilan. Chloé tanpa ampun mencabut, menggaruk dan mengopek kulitnya sendiri, meninggalkan lubang menganga penuh darah. Jika sudah begini, rencana kencan atau pesta pasti gagal total. Satu-satunya tempat yang bisa dia datangi hanyalah apotek.
Chloé mengidap dermatillomania, kondisi psikologis yang ditandai dengan kebiasaan mencabuti kulit secara berlebihan. Juga dikenal sebagai skin-picking disorder, gangguan ini bisa dipicu oleh stres, kecemasan, kebosanan akut hingga masalah kulit lainnya.
Semakin agresif seseorang mengelupasi kulit demi mencapai “kesempurnaan”, semakin besar kemungkinan seseorang mengalami luka-luka pada tubuhnya. Para pengidap sulit mengendalikan diri begitu dorongan muncul, kerap sampai menyebabkan infeksi dan kerusakan pada kulit. Gangguan ini dapat menimbulkan rasa malu dan bersalah yang kuat. Tak sedikit orang mengucilkan dirinya sendiri karena tak tahan melihat penampilannya sendiri.
“Kulit saya jauh lebih penting daripada pergi main atau belajar,” ungkap Chloé, yang tergila-gila dengan kulitnya sejak masih remaja. “Saya sulit menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Saya selalu membayangkan kulitku akan terlihat sempurna setelah dikelupas, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Kulit saya rusak, berdarah-darah dan korengan. Saya sampai malu keluar rumah.”
Dengan adanya akun Instagram Psy Dermatillomanie, psikoterapis Karine Blondeau berharap bisa membantu orang-orang seperti Chloé. “Dermatillomania sangat menyakitkan,” tuturnya, “tapi sayangnya, belum banyak bantuan yang tersedia untuk itu.”
Blondeau menjelaskan, rata-rata pengidap skin-picking disorder adalah perempuan muda yang hipersensitif dan rendah diri. Tetapi menurutnya, masalah ini tak hanya terletak pada kulit saja. “Gangguan ini membuatmu terobsesi, sehingga sering menutupi masalah lain.”
Chloé mulai menggunakan ponsel saat berusia 15, ketika jerawat mulai bermunculan di wajahnya. Dia semakin sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain sejak punya akun Instagram. Foto-foto influencer berkulit mulus yang memenuhi feed semakin memperburuk perasaan. “Saya melihat cewek lain fotonya cantik-cantik,” katanya. “Kulit mereka semulus bayi, sedangkan saya jerawatan.”
Seperti Blondeau, dokter kulit Audrey Perret-Court bertekad menyebarkan konten edukasi seputar masalah kulit di media sosial. Cukup ironis memang, mengingat jejaring sosial merupakan salah satu pemicu seseorang bisa mengalami kondisi seperti skin-picking disorder. Perret-Court sebagian menyalahkannya pada cara platform mendorong pengguna berlomba-lomba mengunggah selfie terbaik mereka. “Kamu merasa tidak bisa berkomunikasi jika kamu risi dengan wajahmu sendiri,” ujarnya.
Namun, standar kulit yang sempurna tidak muncul dari Instagram maupun Snapchat. Representasi kecantikan perempuan di media nyatanya masih menggunakan penggambaran yang kurang adil dan tidak realistis. Foto-foto model perempuan dipoles sedemikian rupa hingga memberi kesan cantik tanpa cacat. Itulah sebabnya pakar jerawat dan ahli naturopati Kelly Jastszebski berambisi memberantas semua majalah dan tabloid wanita Prancis yang masih menggunakan foto hasil retouch. “Perempuan selalu terlihat memakai riasan tebal di wajah mereka, sedangkan laki-laki bisa menampilkan kerutan mereka apa adanya.”
Untuk waktu yang sangat lama, Camille Montaz menyalahkan diri sendiri karena merasa tidak secantik perempuan lain. Perempuan 31 tahun itu tak hanya minder melihat penampilan flawless yang terpampang di majalah, tetapi juga foto-foto model di buku pelajaran semasa sekolahnya. “Orang-orang seusiamu tampak memiliki kulit sempurna di foto,” kenangnya.
Montaz mulai berdandan dengan harapan teman-teman tidak berkomentar aneh tentang dirinya, tapi yang dia terima justru tanggapan kurang sedap dari mereka. “Saya sangat malu dengan diri sendiri,” ucapnya.
Belasan tahun kemudian, dia menemukan forum untuk berdiskusi dan berbagi saran seputar dermatillomania. Dari situlah Montaz memantapkan hati untuk ikut terapi dan belajar mempraktikkan mindfulness, yang membantunya mengurangi perilaku kompulsif ini.
Pada 2019, Montaz menerbitkan “My Dermatillomania Story”, yang mengisahkan perjuangannya melawan dorongan yang berlebihan untuk mengelupasi kulit selama 15 tahun hidupnya. Perasaan Montaz semakin lega setelah menceritakan kondisinya kepada orang lain. Pikiran-pikiran negatif yang melumpuhkan dirinya selama ini pun enyah juga. “Selama bertahun-tahun, saya membayangkan orang memiliki pandangan yang buruk tentangku. Akhirnya sekarang saya menyadari, orang-orang sebenarnya menghargaiku apa adanya dan tidak menilai hanya dari penampilan saja. Saya terpaku pada ketakutan-ketakutan yang tak nyata.”
Lalu, bagaimana tepatnya seseorang bisa pulih dari kondisi tersebut? Perret-Court menganjurkan untuk mulai dengan memahami dan menerima kenyataan bahwa tak ada yang namanya kulit “sempurna”. Setelah itu, kamu bisa menangani sumber masalahnya. Bentol kecil di wajah mungkin hanya jerawat atau bekas gigitan nyamuk biasa, tapi faktanya ini dapat memicu kebiasaan yang tidak sehat. Dan mungkin, hindari penggunaan cermin yang membuat sesuatu terlihat lebih besar daripada kenyataannya.
Artikel ini pertama kali tayang di VICE France.