“Gimana rasanya masih WFH?”
Itulah pertanyaan yang paling sering kudengar selama dua tahun terakhir. Setiap kali ditanya begitu, biasanya aku cuma bisa menjawab sambil tersenyum meringis. Yah… lumayan lah. Uang makan siang bisa buat ditabung. Aku juga bisa potong kuku sambil rapat.
Tapi sejujurnya, pemahamanku akan konsep waktu menjadi berantakan sejak bekerja di rumah, di mana aku cuma bisa memandang tembok penuh Post-It sepanjang hari.
Ada kalanya aku mampu merampungkan pekerjaan sesuai tingkat kepentingan dan waktu yang telah ditentukan. Waktu berjalan seiring kecepatan jari-jemari memencet keyboard. Tapi ada juga saat-saat waktu terasa begitu singkat, terutama ketika tenggat waktu sudah di depan mata. Keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuh, membasahi kedua telapak tangan yang tak kunjung merangkai kata-kata. Pada saat seperti ini, aku melahap berbatang-batang cokelat dengan harapan bisa menemukan inspirasi.
Seperti itulah perasaanku sekarang, yang sedang menulis artikel ini di Kafe Manuskrip.
Kedai yang terletak di kawasan Koenji, Tokyo ini terbuka untuk semua penulis yang sedang dikejar deadline. Disulap dari studio rekaman, Kafe Manuskrip hanya menampung 10 orang saja. Begitu membuka pintu masuk, pengunjung akan disambut oleh dinding batu bata dan bilik-bilik yang dibatasi oleh sekat kaca transparan.
Kedainya telah menyediakan WiFi, charger dan colokan listrik, sehingga kamu cukup memikirkan apa yang ingin ditulis hari itu. Kamu juga bisa memesan kopi, jadi tidak ada alasan untuk bermalas-malasan atau mengantuk. Para pengunjung tidak wajib pakai masker, karena anggapannya mereka takkan sempat mengobrol setelah membenamkan diri dalam pekerjaan.
Akan tetapi, jangan terlalu berharap kamu bisa bekerja dengan tenang dan santai di sana. Pengunjung baru boleh pergi setelah tulisan mereka rampung, dan kalau belum selesai juga, mereka akan tertahan di sana sampai kafe tutup. Dalam kasusku, aku dilarang pulang sampai aku menyelesaikan artikel ini.
Ada serangkaian peraturan yang harus dipatuhi selama mengerjakan tugas di Kafe Manuskrip. Tomu Inokawa, editor majalah peralatan video yang bekerja sambilan sebagai staf kafe, menyambut kedatanganku dan menanyakan tujuanku hari itu. Dia lalu menyerahkan secarik kertas untuk menulis nama, tenggat waktu (dua jam), dan berapa banyak kata yang ingin aku kerjakan hari itu (aku hanya memasukkan 500 kata supaya bisa pulang sebelum kafe tutup pukul 7 malam).
Keunikan kedai ini terletak pada tekanan verbal yang diberikan oleh para staf—kamu bisa memilih tingkat keparahannya dari ringan, normal hingga keras. Menurut Inokawa, pegawai kafe akan bertanya “Sudah sampai mana progresnya?” untuk tingkat ringan, “Waktu kamu tinggal satu jam lagi, lho” atau “Kamu belum selesai juga?” untuk tingkat normal, dan ucapan-ucapan yang bikin kita kesal atau malu untuk tingkat keras.
Inokawa menghampiri kami sejam sekali untuk mengecek sudah seberapa besar kemajuan kami. Dia biasanya datang setelah bel kafe berbunyi. Aku menyayangi diri sendiri dan tidak mau stres terganggu ucapan staf, makanya aku pilih tingkat normal. Rasa dongkol tidak bagus buat produktivitas.
Aku melihat perempuan di dekatku mengemasi barang-barangnya sejam kemudian, setelah aku menulis beberapa ratus kata. Bernama Mariko Tomioka, penulis manga fanfiksi ini tahu Kafe Manuskrip dari suaminya dan baru pertama kali mengunjungi tempat ini. Targetnya dia bisa menulis 3.500 karakter Jepang—setara 1.750 kata—dalam dua jam. Kalau sedang tidak produktif, dia butuh berhari-hari menyelesaikan tulisan sebanyak itu.
“Pikiranku gampang terganggu kalau bekerja di kafe biasa, baik oleh ponsel maupun orang-orang yang duduk di dekatku,” ungkapnya. “Sedangkan di sini, aku bisa menyelesaikan tulisan dengan cepat karena ada deadline dua jam. Jarang-jarang aku bisa seperti ini.”
Dengan perasaan bangga, Tomioka memasukkan laptop ke tas dan mengatakan kapan-kapan akan berkunjung ke sini lagi. Masih ada dua naskah yang harus diselesaikan pada Juli dan Agustus—masing-masing sebanyak 35.000 karakter Jepang.
Saat Inokawa datang untuk mengecek progres tulisan, aku bertanya seberapa produktif para pengunjung kafe. “Menurutku, yang paling penting, kamu akan merasakan dorongan harus bekerja jika melihat orang-orang di sekitar berkonsentrasi pada pekerjaan masing-masing,” tuturnya.
“Setiap orang mengerjakan hal yang berbeda, tapi tujuannya sama—menyelesaikan deadline,” lanjut Inokawa.
Semua pengunjung telah pergi ketika aku menulis kalimat ini. Aku bisa memahami ucapan Ikonawa, meski aku pribadi tidak merasa panik melihat orang lain cepat selesai. Ada rasa urgensi yang tak terelakkan saat kamu bekerja sesuai tenggat waktu di luar rumah. Kalau boleh jujur, aku takut menghabiskan lebih dari dua jam di sini karena tulisan tak kunjung rampung—karena itu artinya aku gagal membuktikan kalau diriku ini penulis yang produktif.
Tapi pada akhirnya, aku yakin telah mencapai tujuanku hari ini. Tulisanku selesai delapan menit sebelum jam menunjukkan pukul 4 sore. Aku memanfaatkan waktu luang untuk ke kamar kecil. Dengan perasaan senang, aku mematikan laptop dan berharap editor mau menerbitkan artikel ini.
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.