Populasi Tiongkok turun drastis untuk pertama kalinya dalam 60 tahun terakhir, delapan tahun lebih cepat dari prediksi awal.
Berdasarkan data Badan Statistik Tiongkok, jumlah penduduk negara itu turun sekitar 850.000 menjadi 1,41 miliar jiwa pada akhir 2022. Tiongkok terakhir kali mencatat angka kematian lebih tinggi daripada kelahiran pada masa pemerintahan Mao Zedong yang mengakibatkan bencana kelaparan. Krisisnya menewaskan sekitar 30 juta warga dalam kurun tiga tahun (1958-1961).
Xiujian Peng, peneliti senior Pusat Studi Kebijakan Universitas Victoria di Australia, menyebut kabar ini mengejutkan bagi rakyat Tiongkok. “Pemerintah tidak ada persiapan akan terjadi secepat itu,” Peng memberi tahu VICE World News.
Menurutnya, kebijakan “Zero Covid-19” menjadi alasan utama menurunnya tingkat kelahiran di Tiongkok. Dia juga mengusulkan kemungkinan warga ragu punya anak karena menghadapi ketidakpastian ekonomi, serta hilangnya akses pelayanan medis.
Angka kelahiran di Tiongkok sebetulnya telah mengalami penurunan beberapa tahun terakhir. Tingkat fertilitas negara itu bahkan berada jauh di bawah standar yang diperlukan untuk mempertahankan jumlah penduduk, dengan perkiraan 1,15 anak per ibu pada 2021.
Tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa memprediksi populasi Tiongkok akan menyusut hingga di bawah 800 juta orang pada akhir abad ini, lebih suram dari perkiraan tiga tahun sebelumnya yaitu 1,06 miliar.
Bert Hofman, direktur Institut Kajian Asia Timur di Universitas Nasional Singapura, mengutarakan, dampak dari penurunan itu adalah terpangkasnya pertumbuhan ekonomi negara sebesar 1 persen poin per tahun.
Seiring bertambahnya populasi yang menua, penurunan jumlah tenaga kerja di Tiongkok berpotensi memengaruhi sistem pemberian tunjangan hari tua dan pelayanan kesehatan. Berkurangnya kelompok usia produktif bisa menambah beban keuangan publik. Dana pensiun negara bahkan terancam menipis pada 2035. Tahun lalu, Tiongkok mencatat pertumbuhan ekonomi terlemahnya sejak 1970-an.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menaikkan angka kelahiran, seperti menghapus kebijakan satu anak pada 2021. Warga kini boleh punya anak maksimal tiga orang dalam rangka memulihkan pertumbuhan populasi. Tiongkok juga berupaya menaikkan batas usia pensiun secara bertahap. Sementara itu, Komisi Kesehatan Nasional memperkenalkan program pemberian tunjangan untuk orang tua baru pada Agustus lalu.
Pemerintah kota Shenzhen, misalnya, akan membantu meringankan biaya mengurus bayi maksimal 19.000 yuan (Rp42,3 juta). Beberapa kota lain telah memperpanjang jatah cuti lahiran dan memberikan subsidi pajak untuk orang tua. Namun, belum bisa dipastikan seberapa efektif program-program tersebut.
“Konsekuensinya tidak langsung terasa,” terang Peng. “Tapi berkaca dari yang telah terjadi di Eropa dan negara asia lainnya, seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan, tidak mudah menaikkan tingkat fertilitas.”
Follow Rachel Cheung di Twitter dan Instagram.