Ana tak pernah membayangkan hubungannya akan berubah 180 derajat. Sebelum berpacaran, lelaki yang menjadi kekasihnya cuek bebek dan sulit didekati. Namun, setelah mereka saling menyatakan cinta, pacar Ana selalu mengontrol hidupnya.
“Dia bilang kami serasi, lalu mengatakan kami dua raga dalam satu jiwa,” ungkap perempuan 22 tahun yang berprofesi sebagai guru spiritual.
Awalnya Ana tak melihat ada yang aneh dari sikap pacarnya. Percintaan mereka bak kisah romansa, bahwa pasangan serasi tak pernah terpisahkan selama-lamanya. Tapi yang tak ia sadari, kekasihnya benar-benar menganggap serius kata kiasan “dua raga dalam satu jiwa”. Sang pacar bingung dan tidak terima saat Ana memesan makanan yang berbeda darinya di restoran. Pasangannya juga merasa seperti “bertengkar dengan diri sendiri” setiap kali mereka berselisih pendapat. Dia ngotot mereka harus teleponan setiap hari hingga berjam-jam, meski jarak tempat tinggal mereka tidak begitu jauh.
Perlahan-lahan Ana mulai menyadari dirinya terjerat dalam “enmeshed relationship”.
Psikiater Era Dutta mendefinisikannya sebagai hubungan erat yang mengaburkan batasan, sampai-sampai semua orang yang terlibat “tidak memiliki ruang untuk menjadi diri sendiri dan akhirnya melakukan apa yang sebenarnya tidak mereka sukai.”
Menurutnya, jenis hubungan ini awalnya membuat orang merasa dicintai, dan mereka baru sadar telah terjebak dalam hubungan yang tidak sehat begitu sifat-sifat buruk orang tersayang terkuak.
“Hubungannya bisa menjadi tidak sehat bagi salah satu dari mereka, tetapi biasanya kedua individu juga terlibat,” terang Dutta. “Layaknya banyak hal dalam dunia psikiatri, kebiasaan menempel dengan pasangan sering kali berkaitan dengan cara orang tua mengasuh anak.”
Dutta menjelaskan, dalam beberapa kasus, orang tua terlalu berlebihan mengendalikan hampir setiap aspek kehidupan anak. Tanpa mereka sadari, orang tua menanamkan rasa takut akan ketidakpastian dan tidak siap menghadapi dunia luar pada diri anak. Anak pun hanya bisa bersembunyi di ketiak ayah ibu, yang semakin membuat mereka semakin tak terpisahkan dari orang tua. Dari situlah pandangan mereka tentang hubungan yang ideal terbentuk. Bagi mereka, orang yang saling mencintai sangat terikat satu sama lain. Mereka harus melakukan segala sesuatunya bersama-sama.
Institut Kesehatan Nasional AS menemukan hubungan kuat antara enmeshed relationship dan cara anak bersosialisasi di luar rumah, setelah mengamati perilaku anak prasekolah dan orang tua/wali mereka selama dua tahun. Penelitiannya menyimpulkan, anak yang terlalu lengket dengan ibu mengalami “eksternalisasi masalah” yang lebih tinggi.
“Eksternalisasi” yang dimaksud di sini adalah memandang masalah sebagai hal yang harus dipahami secara terpisah.
Para ahli yang melakukan penelitian ini menyampaikan, orang tua yang “terlalu terikat secara emosional” terlihat sangat menyayangi dan mencurahkan sebagian besar waktu untuk anak-anak, bahkan tak jarang membanjiri mereka dengan pujian dan hadiah — tetapi pada akhirnya, cinta orang tua yang seperti ini terbukti hanya sebagai sarana memuaskan kebutuhan mereka sendiri.
Shivani, perempuan 24 tahun yang bekerja sebagai manajer hubungan masyarakat, merasakan langsung dampaknya. Sang pacar sangat bergantung dengannya akibat pola asuh orang tua saat masih kecil.
Dia pertama kali pacaran saat baru masuk kuliah. Shivani percaya sifat cowoknya yang menuntut adalah caranya mengekspresikan kasih sayang. Dia terima-terima saja saat pacar memintanya teleponan lima kali sehari, memberi kabar setiap waktu dan memprioritaskan dirinya — yang membuat Shivani jauh dari teman dan keluarganya.
Masalah memuncak setelah pacar menciumnya secara paksa di acara kampus. Sama seperti pacar Ana, dia tidak terima Shivani punya hak dan keinginannya sendiri. “Sahabat lalu memberitahuku, perlakuannya bukanlah cinta,” kenangnya.
Shivani mencari tahu alasan pacarnya bersikap begitu, dan ternyata dia tidak mendapat dukungan emosional sejak kecil. Pacarnya sangat dekat dengan sang ibu. Namun, alih-alih bertindak sebagai pelindung anak, ibunya justru bergantung padanya untuk merasakan cinta dan kenyamanan.
“Saya menjadi satu-satunya sumber kenyamanan baginya,” tutur Shivani. “Dia memperoleh harga diri dan jati diri melalui hubungan kami. Saya baru menyadari ini di kemudian hari.”
Dia pun mengakhiri hubungannya dengan lelaki itu.
Berkaca dari pengalaman Shivani, Dutta menganjurkan agar kita tidak menjauhkan diri dari orang-orang terdekat demi pacar. “Teman atau orang terdekat biasanya bisa melihat jika ada yang berubah dari dirimu, dan mereka akan memperingati kalau kamu berada dalam hubungan yang terlalu terikat,” terangnya.
Dutta juga menganjurkan untuk memperhatikan apakah sikap dan pandanganmu semakin lama semakin mirip dengan pasangan.
“Kamu mungkin jadi sering mendengarkan lagu favorit mereka atau makan makanan kesukaan mereka. Kamu mungkin memaksakan diri nonton film arthouse daripada film populer yang kamu sukai. Tanyakanlah pada dirimu sendiri apakah kebiasaan baru ini memang sejalan dengan jati dirimu sebenarnya. Kamu mungkin juga merasa bosan dengan pacar karena semuanya mudah ditebak.”
Coach keintiman Pallavi Barnwal mengatakan, jika ada klien yang terjerat dalam hubungan ini, maka hal pertama yang dia tanyakan adalah: bagaimana mereka menyelesaikan perbedaan pandangan dengan orang tua, terutama saat masih kanak-kanak?
“Jawabannya sering kali ayah atau ibu mereka yang menyelesaikannya,” dia memberi tahu VICE. “Sejak awal, kemampuan pribadi pasangan yang lain tidak diakui. Keluarga suka memakai kata ‘kami’ (saat membicarakan rahasia dan kebanggaan keluarga), sehingga akhirnya ini menjadi pola yang ditiru seseorang dalam hubungan percintaan mereka.”
Barnwal menyampaikan, anak-anak dalam keluarga disfungsional kerap tidak diberi privasi. Orang tua harus mengetahui dan mengawasi semua gerak-gerik mereka. Alhasil ketika mereka menjalin hubungan asmara, mereka merasakan keharusan mengetahui segala hal tentang pasangan dan selalu terlibat dalam hidup pasangan.
Bijoy merasa kebebasannya direnggut oleh pacar yang ingin menghabiskan sebagian besar waktu bersamanya. “Dia baru pindahan dan tempat tinggalnya sangat jauh dari rumahku,” ungkap lelaki 28 tahun yang berprofesi sebagai urban planner. “Tapi dia bela-belain melakukan perjalanan lebih dari tiga jam setiap hari hanya untuk menemuiku. Saya merasa ruang pribadi terusik oleh kehadirannya. Bahkan dia sering bolos kuliah di hari Senin dan mengajakku nonton bioskop atau pergi ke museum. Padahal, jadwal saya sangat padat.”
Barnwal berpendapat, untuk keluar dari hubungan yang amat menyesakkan, kamu perlu terlebih dulu mempertimbangkan seberapa besar cintamu dengan pasangan. Apakah kalian bersama murni karena cinta, atau karena ada hal lain?
“Jika alasannya karena mencintai pasangan, cobalah tanya pada diri sendiri manfaat apa yang kamu terima darinya,” jelasnya. “Kita dapat memahaminya melalui keuntungan sekunder, yang mana setiap tindakan toksik memiliki manfaat sekunder. Misalnya, stres akan hilang setelah merokok. Kamu perlu menanyakan diri sendiri: Apakah hubungan yang terlalu erat ini memenuhi keinginanmu mendapatkan cinta dan validasi secara terus-menerus? [Atau] kamu berhubungan dengannya hanya karena takut merasa kesepian?”
Apabila semua itu berlaku pada dirimu, maka Barnwal menyarankan pentingnya mencari cara lain untuk memperkaya hidup.
“Mungkin kamu bisa menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga, membaca buku, mencoba hobi baru atau memelihara hewan. Temui terapis apabila kamu menemukan diri terus-terusan mencari validasi, dan belajar untuk mengakhiri kebiasaan tersebut.”
“Kamu harus memperluas ruang lingkup hidupmu. Jangan buang-buang energi untuk hubungan dan orang yang menyusahkanmu.”
Follow Arman Khan di Instagram dan Twitter.