Berita  

Jangan Sepelekan Pelecehan dan Perundungan Online, Korban Bisa Trauma Mendalam

“Rasanya seperti dalam bahaya,” kata R.J. Aguiar, konten kreator asal Los Angeles, Amerika Serikat, mengenang pengalamannya menjadi korban online harassment beberapa tahun silam. Komentar negatif hingga aksi perundungan yang menghantui R.J. lama-lama menjadikannya sosok yang gampang tersinggung dan paranoid. “Ada semacam kegusaran terhadap ancaman yang tidak diketahui dari mana asalnya. Seolah-olah semua orang membencimu… siapa saja bisa menjadi musuhmu.”

Pengikut setia mulai mengusik hidup R.J. sejak berpisah dengan pasangan 11 tahun lalu. Vlogger berusia 33 itu terkenal memamerkan kemesraan mereka berdua lewat video YouTube. Alih-alih dukungan, yang ia terima justru penghinaan dan ejekan dari para troll. Penggemar yang berpihak pada mantan tanpa ampun merendahkannya.


Namun, cercaan hanyalah satu dari sekian banyak bentuk perundungan yang menimpanya. “Mereka tak pernah kehabisan akal untuk menguji kesabaranmu,” tutur R.J. Bahkan ada yang niat membuat akun palsu dan merencanakan serangan online agar dia dipecat dari pekerjaannya. Juga sempat terjadi kasus seorang catfish di aplikasi kencan membocorkan foto dan video pribadi R.J. ke ibunya. Akibatnya, R.J. jadi tidak nafsu makan dan sulit berkonsentrasi. Dia susah tidur karena pikirannya selalu dihinggapi perasaan tidak tenang.

Hingga saat ini, belum banyak penelitian yang mengkaji pengaruh online harassment terhadap kesehatan korban. Meskipun demikian, mereka yang pernah dipermalukan di internet umumnya mengalami sejumlah gejala psikologis mirip trauma. Ada orang-orang yang kesulitan menjalani hidup ketika kondisi psikis mereka terguncang.

“Seolah-olah semua orang membencimu… siapa saja bisa menjadi musuhmu.” — R.J. Aguiar

Peristiwa traumatis dapat mengacaukan suasana hati, menimbulkan pergolakan batin hingga menyebabkan insomnia. Pada saat pelecehannya terjadi secara online, tindakan hater hanya akan meninggalkan luka baru yang dampaknya berkepanjangan. Menurut studi tinjauan dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, korban online harassment mengalami masalah kejiwaan serius, seperti depresi, keinginan bunuh diri dan serangan panik.

R.J. bertemu psikiater yang memahami konsekuensi dari perundungan online dan PTSD. Berkat terapi trauma yang ia lakukan selama sesi konseling, kondisinya kini jauh lebih baik. Dari situ jugalah ia menyadari sisi gelap dunia influencer, sehingga R.J. mengambil keputusan untuk tidak terlalu bergantung pada profesi ini.

Lanskap digital yang kian berkembang pesat menjadikan internet sebagai sarana penting untuk menjalani aktivitas sehari-hari. Internet mempermudah segalanya, dari berkomunikasi hingga menyelesaikan pekerjaan di kantor. Namun, di era yang serba digital ini, kita juga semakin rentan terhadap aksi perundungan maupun pelecehan online. Bagaimana jika itu terjadi kepada kita? Apa yang sebaiknya dilakukan ketika kita tak lagi merasa aman akibat tindakan jahat seseorang di dunia maya?

Jami Dumler, pekerja sosial klinis berlisensi di Pennsylvania, menerangkan, masalah ini dapat diatasi dengan “berlatih menenangkan diri, mengelola emosi dan memulihkan sistem saraf secara efektif”. Sama seperti saat menangani gangguan kecemasan akut, trauma atau PTSD, korban dapat menjalani psikoterapi (seperti terapi trauma EMDR, NARM atau CPT, baik secara kelompok maupun pribadi), atau minum antidepresan (khususnya SSRI dan SNRI) dan antihistamin untuk menanggulangi dampak psikologis dari online harassment. Menurut Dumler, peluang keberhasilan terapinya lebih tinggi kalau mereka ditangani dokter spesialis yang dapat menyesuaikannya dengan pemicu tertentu. Contohnya, seseorang bisa berkonsultasi dengan terapis yang terbiasa menangani masalah trauma dan kekerasan seksual jika mereka menjadi korban revenge porn atau penyebaran foto dan video vulgar yang telah dipalsukan.

Lantas bagaimana caranya kita mengetahui metode yang tepat untuk kondisi kita? Dumler mengatakan, kita dapat memperhatikan tanda-tanda seperti patah semangat, mudah terdistraksi dan menarik diri dari kehidupan sosial. “Terkadang orang akan menjauh ketika mereka tidak sanggup menghadapi pelecehan online. Menarik diri bisa menjadi pertanda [kamu] tak lagi bahagia melakukan hal-hal yang biasa kamu lakukan,” jelasnya. Pelecehan online juga dapat menumbuhkan rasa malu dan menyebabkan perubahan fisiologis, seperti susah tidur dan tidak selera makan hingga berhari-hari. Apabila kamu mengalami salah satu atau banyak dari gejala ini, maka itu artinya kamu sudah membutuhkan bantuan profesional.

Dumler dan Howard Pratt, psikiater di Pusat Kesehatan Masyarakat Florida Selatan, sama-sama menganjurkan untuk mengurangi penggunaan platform yang menjadi sumber utama pelecehannya. Akan jauh lebih baik jika kamu melaporkan pelecehan untuk menghentikannya, atau memblokir orang-orang yang menyerangmu di internet. Jika memang diperlukan, kamu bisa bikin akun baru yang digembok agar terbebas dari mereka. Pratt berujar metode alternatif seperti yoga, akupunktur dan terapi somatik, juga dapat menenangkan serta memperkuat pikiran dan fisik orang-orang yang mengalami kejadian traumatis.

“Terkadang orang akan menjauh ketika mereka tidak sanggup menghadapi pelecehan online. Menarik diri bisa menjadi pertanda [kamu] tak lagi bahagia melakukan hal-hal yang biasa kamu lakukan.” — Jami Dumler

Data kekerasan online yang dirilis Women’s Media Center menunjukkan, kasus pelecehan online lebih sering menyasar perempuan, dan bentuknya mengarah pada pelecehan seksual. Faktanya, terlepas dari maraknya serangan anonim, pelaku pelecehan online tak jarang berasal dari lingkaran pertemanan atau bahkan anggota keluarga. “Dalam banyak kasus, kamu sudah kenal orang yang menguntit, melecehkan [atau] menyebarkan gosip tentangmu,” terang Dumler.

Maggie, 32 tahun, menjalani terapi trauma setelah mantan bersekongkol dengan pacar barunya untuk memfitnahnya. Pelaku membuat akun anonim di Instagram dan menyebarkan foto dokumen perebutan hak asuh yang dihadapi Maggie. Mereka juga mengata-ngatai Maggie “ibu yang jahat pada anaknya”. Dia mengetahui postingan tersebut lewat tangkapan layar yang ia terima dari seseorang. Dalam tangkapan layar, akun itu terlihat mengikuti semua pengikut Maggie di medsos dan mengirimi pesan yang menghina Maggie.

“Saya jadi ketakutan,” kata Maggie. “Sebagai orang dewasa, saya menggunakan media sosial bukan cuma untuk berkomunikasi. Saya juga membutuhkannya untuk keperluan bisnis. Saya jadi gelisah dan depresi [menghadapi serangan dari mereka]. Saya takut akan terjadi yang tidak-tidak.”

Untungnya bagi Maggie, tunangannya pengacara. Dia memahami tindakan ini sudah termasuk pencemaran nama baik. Maggie pun disarankan menyeret pelaku ke meja hijau, dengan tangkapan layar postingan mereka sebagai bukti pelecehan online. Maggie menang dan memperoleh hak asuh tersebut.

Namun, menurut Maggie, ia takkan sanggup menghadapi semua ini tanpa bantuan terapis. Dia didiagnosis mengalami gangguan kecemasan umum, sehingga harus meluangkan waktu sejenak sebelum mengecek medsos setiap pagi. “Saya seharusnya masa bodoh dengan sikap [mantan] dan tidak bereaksi sesuai yang ia inginkan,” lanjutnya. “Berkonsultasi dengan terapis sangat membantu. Saya jadi paham kenapa orang tega melakukan itu, dan sebenarnya itu bukan salah kita.”

Follow Suzy Katz di Twitter.