Masyarakat sempat disuguhi ketegangan akibat meluasnya foto acungan jari tengah ikonik dari pengendara motor kepada gerombolan pesepeda balap. Minggu ini, gesekan sosial berpotensi kembali terjadi, tapi antara sesama pengendara sepeda setelah para pesepeda non-sepeda balap mengekspresikan keluh kesahnya gara-gara kebijakan Dinas Perhubungan DKI Jakarta terlampau menganakemaskan pengendara sepeda balap.
Alhasil, sejak 23 Mei 2021, telah digelar uji coba pembukaan jalur khusus sepeda balap atau road bike di Jalan Layang Non-Tol Kampung Melayu-Tanah Abang (biasa disebut JLNT Casablanca) setiap akhir pekan, dari jam 17.00 sampai 08.00. Jalur ini disediakan pemerintah provinsi khusus untuk mengakomodasi maraknya hobi bersepeda balap warga Jakarta.
Jenis sepeda satu ini emang problematis kalau dipakai di tengah kota. Sepeda balap lebih lambat dari kendaraan bermotor, namun jauh lebih cepat daripada sepeda pada umumnya. Kalau dipersilakan masuk ke jalur kendaraan bermotor, kelompok pesepeda dianggap mengganggu lalu lintas pengendara lain.
Kalau diarahkan ke jalur sepeda umum, sepeda balap jadi terlalu kencang (karena jalurnya emang buat transportasi santai) sehingga membahayakan kedua kelompok. Pemprov DKI Jakarta lantas mencoba membahagiakan semua pihak dengan membuka jalur khusus sepeda balap di JLNT Casablanca. Masalahnya, tidak semua pihak bahagia.
Minggu (6/6) kemarin, pesepeda non-sepeda balap bernama Darta mengeluh kebijakan jalur khusus sepeda balap menganakemaskan orang kaya. Diliput Kompas, Darta diminta keluar jalur oleh petugas Dishub yang berjaga saat ia berupaya melintasi JLNT Casablanca dengan sepedanya.
“Harga road bike itu minimal Rp25 juta lho, saya merasa dibedakan,” kata Darta kepada Kompas. Yono, pesepeda lain, mengaku kesal karena disuruh keluar jalur dan tidak bisa melalui lintasan JLNT Kampung Melayu dengan sepeda. “Mangkel saya, tiba-tiba disuruh keluar karena sepeda saya berbeda. Sangat diskriminatif karena kan sebenarnya bisa kami diberikan jalur lambat [di JLNT Casablanca],” kata Yono kepada Kompas.
Menanggapi polemik di lapangan, Kepala Dishub DKI Jakarta Syafrin Liputo menyebut penetapan jalur khusus sudah berdasarkan kajian pemerintah. Pertama, JLNT dianggap tepat mengakomodasi para pengendara sepeda balap karena lalu lintas pagi hari di akhir pekan cenderung rendah. Kedua, jalur tanpa sepeda umum diperlukan sepeda balap karena kecepatan yang terlampau tinggi dari sepeda lain. Ketiga, embusan angin di JLNT yang tidak terlalu tinggi di pagi hari sehingga aman bagi pengendara sepeda balap. “Kecepatan para road biker itu 40 km/jam, dan pada pagi hari itu embusan angin tidak terlalu tinggi sehingga ini masih bisa dibawa kendali bagi para road biker,” kata Syafrin dilansir Tribunnews.
Syafrin tidak menutup kemungkinan akan dibuka jalur khusus lain setelah melihat jumlah pesepeda balap yang menggunakan JLNT Casablanca naik 74 persen selama uji coba. Per hari ini (7/6), Pemprov DKI Jakarta juga sedang mengujicobakan jalur sepeda balap di Jalan Sudirman-Thamrin pada hari kerja dari jam 05.00 sampai 06.30. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut keputusan gubernur terkait aturan penetapan jalur sepeda balap sedang dibahas.
Senada dengan pesepada non-balap, pengamat kebijakan publik Azas Tigor Nainggolan juga menganggap kebijakan ini diskriminatif. Keistimewaan ini disebutnya melanggar UU 22/2009 tentang LLAJ Pasal 122 dan 229.
“Kebijakan diskriminatif tersebut harus segera dihentikan agar tidak menimbulkan kekacauan dan menjadi preseden buruk dalam penegakan aturan lalu lintas,” kata Tigor kepada Kompas. “Akibat ulah pembuatan [jalur khusus road bike] oleh kepolisian dan kebijakan liar oleh Pemprov Jakarta, ini akan membuat publik marah kepada pesepeda secara umum,” tambah Tigor.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan sepeda balap memang harus punya tempat tersendiri, namun bukan di tengah kota. “Kalau yang high speed begitu, itu pakai Velodrome [gedung olahraga khusus sepeda balap] atau ada pengawalan. Lalu, [lokasinya] di jalan sepi, bukannya padat seperti Jakarta,” kata Agus kepada iNews.
“Sebelum terjadi gesekan sosial di jalan, road bike itu tidak bisa digunakan di jalan raya di kota, kecuali dengan pengawalan khusus. Jalur sepeda yang disediakan oleh pemprov itu jalur sepeda untuk transportasi, untuk santai, di seluruh dunia [juga] begitu. Road bike itu barangnya kayak moge [motor gede], kan itu barangnya rata-rata mahal yang dipakai. Nah, ini kan bisa jadi persoalan sosial nanti.”
Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno turut mengkritik kebijakan pemprov dan menganggap jalur spesial bagi pengguna sepeda balap saat pagi hari kerja tak perlu dilakukan.
“Sebaiknya tidak dilakukan, karena sudah tersedia juga jalur khusus sepeda [di hari kerja]. Cukup di hari libur dan akhir pekan. Sebenarnya, lajur sepeda yang sudah dibangun di sepanjang Sudirman-Thamrin tujuannya untuk shifting sepeda untuk kerja tiap hari, bukan untuk olahraga. Kalau olahraga dengan road bike memang harus di stadium, seperti halnya balapan motor atau mobil di sirkuit. Bukan balapan di jalan raya,” kata Joko dilansir VOI.