Sejak pertama kali diluncurkan nyaris 20 tahun lalu, produk alas kaki Crocs telah menghiasi pusat perbelanjaan hingga pagelaran busana bergengsi Balenciaga. Sepatu karet ini menjadi andalan sejuta umat karena nyaman dipakai dan tidak mudah rusak. Lebih menariknya lagi, bahan yang “kenyal” seperti jeli sukses bikin orang gemas ingin mengunyahnya.
Saya tidak ingat kapan pertama kali mendengar rumor Crocs aman untuk dimakan. Mungkin sejak saya masih kanak-kanak, ketika saya dan teman-teman masih lugu dan memercayai apa pun yang kami dengar. Tapi yang pasti, topik itu sering muncul saat main, berpesta hingga akhirnya beredar luas di internet. Peringatan macam “jangan makan sepatumu” bahkan tak mampu memadamkan jiwa-jiwa penasaran.
Unggahan pengguna @Bobotheoptimist pada papan pesan Straight Dope menjadi bukti paling awal ketertarikan orang makan Crocs merambah dunia maya. Pada 2006 silam, orang itu mengaku bertanya soal kelayakan produk sebagai bahan makanan melalui email yang ditujukan pada perwakilan perusahaan. “Walaupun tidak beracun, bahan pembuatan Crocs tidak mengandung gizi,” demikian bunyi email balasan yang ia terima. “Konon, rumornya muncul dari kisah petugas kamp yang merebus potongan sepatu Crocs sebagai pengganti permen untuk anak-anak yang tinggal di kamp itu.”
Tampaknya, saya bukan satu-satunya yang penasaran seperti apa rasanya makan Crocs, karena mantan rekan kerjaku nekat mengunyah sepatunya saat dia baru 11 tahun. Kejadian ini tepat 2006 lalu, saat rumornya beredar di internet. “Sejauh pengetahuanku, Crocs satu-satunya sepatu yang aman dimakan,” kata Ian Burke. Ternyata dulu dia juga percaya Crocs bisa menjadi santapan darurat ketika kita tersesat di hutan belantara. Maka dari itulah, Burke menyanggupi tantangan temannya untuk membuktikan rumor ini. “Saya masih butuh sepatu buat pulang, jadi cuma memotong bagian talinya. Teksturnya sangat alot dan sulit ditelan, kayak makan stirofoam keras.”
Pelajar bernama Gunnar Lundberg di Minnesota, Amerika Serikat, menerbitkan artikel untuk koran sekolah yang menceritakan pengalamannya makan satai Crocs pada 2016. “Kala itu, saya masih ada jatah menulis artikel untuk kategori ‘Diversions’,” kenang lelaki itu, yang sedang mengejar S2 di Polandia, melalui panggilan Zoom. Setelah merebusnya selama 90 menit, dia membumbui dua potong Crocs seukuran steik daging dengan saus sriracha.
“Saya tidak mengalami gangguan pencernaan sesudah makan,” tuturnya. “Saya bisa merasakannya di tenggorokan, tapi ya sudah. Begitu saja.”
Saya pikir ide Crocs aman dimakan cuma sebatas obrolan iseng anak-anak sepantaranku dulu. Tapi kemudian saya menemukan fakta yang lebih mengejutkan. Rasa penasaran ini juga melanda orang dewasa. Pada Februari 2020, Kendall Jenner menggigit sepatu Crocs sungguhan karena mengira itu makanan. Pengguna Reddit satu ini ditantang makan Crocs setelah kalah taruhan. Akun Instagram @beancrocdaily bahkan rutin mengunggah foto sepatu Crocs berfungsi sebagai wadah pengganti kacang kalengan. Beberapa konten kreator di YouTube dan TikTok juga membahasnya secara eksklusif. Para blogger yang memberi update seputar alas kaki bahkan menelusuri lebih dalam ketertarikan publik terhadap sepatu Crocs sebagai makanan. Perusahaan sepatu ini juga pernah berkolaborasi dengan KFC untuk menciptakan sepatu beraroma ayam goreng krispi, membuat orang semakin ngiler untuk melahapnya.
Sekarang mari kita membicarakan bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sepatu Crocs. Setelah resmi berdiri, perusahaan dikabarkan membeli hak produksi bahan misteriusnya—kini dikenal sebagai Croslite—dari Foam Creations. Menurut paten tahun 2006, Croslite sebagian terbuat dari busa EVA yang tidak berbahaya dan umum digunakan dalam pembuatan tikar yoga. Akan tetapi, ada tanda-tanda karsinogen formamida pada bahan ini, yang berarti tidak sepatutnya dikonsumsi.
Namun, perusahaan membuat gebrakan baru pada 2021. Sebagai upaya mewujudkan net zero (menurunkan emisi karbon) pada 2030, Crocs menggunakan teknologi ECOLIBRIUM Dow Chemical dalam proses pembuatannya. 98 persen bahan yang digunakan bersifat terbarukan — sebuah produk tanpa timbal dan ftalat yang terbuat dari bahan-bahan nabati, seperti jerami.
Saya pun berpikir, itu artinya Crocs semakin aman untuk dikonsumsi, dong? Untuk memastikan tebakan saya benar atau tidak, saya menghubungi Melissa Layton, direktur komunikasi global Crocs, dan meminta pendapatnya. “Terlepas dari bahan pembuatannya, kami sangat tidak menganjurkan Anda memakan Crocs. Sepatu ini hanya untuk dipakai secara eksternal,” Layton menegaskan.
Saya masih ngeyel dan belum puas mendengar jawabannya. Apakah bisa sepatu Crocs menjadi santapan mengenyangkan, atau membantu kita bertahan hidup dalam situasi berbahaya? “Meski bahannya tidak beracun, bukan berarti kamu bisa memakannya,” tandas Abbey Sharp, ahli gizi terdaftar. “Tubuh kita tidak bisa mencerna dan menyerapnya karena tidak terdapat enzim khusus [yang dibutuhkan untuk memperlancar proses pencernaan].”
Sharp memperingatkan risiko kesehatan, seperti sembelit, diare, dan penyumbatan usus. “Kalaupun bisa dicerna sebagian, Croslite tidak mengandung nutrisi apa pun,” lanjutnya. “Seandainya kamu tersesat di hutan, saya sih lebih menyarankan kamu pakai sepatu Crocs sebagai alat menangkap bahan makanan.”
Saya sedih tidak mendapat izin dari ahli gizi untuk menjajal kelenturan sepatu Crocs, tapi saya paham mengapa Sharp tidak menganjurkan makan produk sisaan bahan baku. Lagi pula, artikel ini dimaksudkan untuk mengupas tuntas lapisan busa EVA yang membentuk sepatu, serta berusaha memahami kenapa ada orang tertarik menelan sepatu jelek ini. Apa sebenarnya alasan mereka bisa sampai senekat itu? Apakah para pemakan sepatu Crocs punya kebiasaan menyiksa diri, atau mereka merasa hidup belum lengkap jika rasa penasarannya belum terjawab? Apa pun alasannya, saya rasa orang-orang ini memiliki keberanian dan sifat kepo yang kelewat tinggi.
Follow Francky di Twitter.