Dalam bahasa Yohan Goutt Goncalves tidak ada satu pun kata yang bermakna salju. Sebab, Timor Leste merupakan negara yang berada di iklim tropis. Alhasil, penduduk berbahasa Tetum baru mengenal istilah salju dari otoritas kolonial Portugal yang menjajah negara mungil tersebut selama 500 tahun. Meski berasal dari negara yang tidak punya wahana seluncur salju, nyatanya Goncalves berhasil menjadi salah satu peserta Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing, Tiongkok, untuk cabang ski.
Menurut pengakuan Goncalves, dia sama sekali tidak terkenal di negaranya sendiri. “Setidaknya, saya yakin akan muncul perhatian terhadap Timor Leste, ketika bendera negara saya turut dikibarkan di ajang internasional seperti Olimpiade Musim Dingin,” ujarnya kepada VICE World News.
Atlet 27 tahun itu menjadi minoritas dalam ajang olahraga internasional yang gaungnya kurang terasa bagi penduduk Indonesia. Olimpiade musim dingin mempertandingkan cabang olahraga yang tidak populer bagi warga negara Tropis. Bahkan, ajang ini sering dijuluki pesta olahraga khusus bagi negara-negara kaya yang berada di belahan utara dunia. Alat untuk melakukan ski, snowboard, atau ice skating terhitung mahal. Dampaknya, peserta Olimpiade musim dingin sangat jarang yang berasal dari negara berkembang.
Meski menghadapi berbagai hambatan itu, Goncalves tidak patah semangat. Dia dan keluarganya berjuang membiayai sendiri proses latihan untuk bisa berpartisipasi dalam ajang olimpiade musim dingin. Duit dari kocek pribadi itu saja masih kurang, yang untungnya bisa sedikit ditambal setelah Goncalves mendapat beasiswa dari Komite Olimpiade Internasional sebesar 1.200 Swiss Francs per bulan.
Namun Goncalves menyadari bahwa latar belakangnya turut membantu munculnya kesempatan bertanding di ajang olimpiade musim dingin. Ayahnya adalah warga negara Prancis, sementara ibunya asli Timor Leste. Dia pun bisa hidup di luar negeri, meski anggarannya cekak, untuk mengejar cita-cita jadi atlet ski profesional. Hal yang sulit diraih mayoritas penduduk Timor Leste.
“Saya memilih berlatih di Rumania, karena di negara ini menurut saya ongkos latihan skinya paling murah, biaya makan dan akomodasi tinggal juga termurah dibanding di wilayah Eropa lain,” ujarnya.
Ternyata, dia tidak sendirian. Menurut pengakuan Goncalves, calon atlet olimpiade musim dingin dari negara berkembang lain merasa senasib sepenanggungan. Dia mengaku sering patungan ongkos sewa hotel, atau membayar biaya transportasi, dengan atlet dari negara kecil lainnya.
Lalu kenapa harus memaksakan diri berkompetisi jika memang berat?
Meski klise, menurut Benjamin Alexander, motivasi utamanya sama seperti Goncalves. Yakni mengharumkan nama bangsanya, Jamaika, di ajang internasional. Atlet ski yang sempat lama berprofesi sebagai DJ itu merasa terpanggil ikut serta, setelah melihat Jamaika hanya diwakili oleh tiga atlet dalam ajang Olimpiade Musim dingin 2018 di Pyeongchang.
“Jujur saja, olahraga berbasis salju memang tidak mewakili keberagaman geografis di dunia ini. Harus ada upaya dari komite Olimpiade untuk melibatkan lebih banyak atlet dari negara yang secara alamiah tidak memiliki salju,” kata Alexander saat diwawancarai VICE World News.
Saking termotivasi untuk ikut olimpiade, Alexander terhitung telat mendalami olahraga yang sekarang dia geluti. Dia sudah berusia 32 tahun ketika pertama kali menjajal ski salju. Kini, dia berhasil tampil di Beijing setelah usianya 38, tapi dengan sederet pengorbanan besar.
Contohnya, Alexander ngebut menambah jam terbang main ski saat berada di Kanada selama 37 hari. Dia tidak menyewa pelatih pro, dan akhirnya modal nekat curi dengar saran pelatih atlet lain yang kebetulan berada di tempatnya latihan mandiri. Orang normal yang main ski biasanya menempuh jarak 10 ribu kaki. Dalam periode ngebut belajar itu, Alexander menempuh jarak 1,7 juta kaki, dengan modal sangat minim.
“Sepanjang perjalanan menjadi atlet itu, saya sampai pinjam uang, kerja sampingan, mencuri ilmu dari siapapun yang bersedia membagikannya, dan kalaupun harus membayar pelatih, saya cuma mampu membayar sekian jam saja,” ungkapnya.
Alexander sadar diri, dengan segala pengorbanan itu, targetnya di Olimpiade Beijing bukanlah meraih medali emas. Dia hanya ingin nama negaranya semakin dikenal oleh masyarakat internasional. Alexander juga ingin mengikuti jejak tim bobsled Jamaika yang menghebohkan dunia pada 1988, karena berhasil ikut Olimpiade Musim Dingin, meski negara mereka tidak memiliki salju. Kisah atlet Jamaika dari dekade 80’an itu sampai difilmkan saking inspiratifnya.
Sebenarnya ada juga cara lain bagi negara tropis untuk mengirim atlet ke ajang Olimpiade Musim Dingin. Komite olimpiade mewajibkan kepemilikan paspor dari negara tertentu sebagai salah satu syarat partisipasi. Alhasil, banyak peserta berhasil mewakili negara yang berbeda dari tempat tinggalnya karena ortu mereka berkewarganegaraan ganda. Namun, jalur kewarganegaraan salah satu ortu ini juga cukup sulit ditempuh, mengingat hanya 1 dari 500 ribu orang bisa melakukannya.
Salah satu yang berhasil ikut olimpiade dari jalur ini adalah Aruwin Salehhuddin. Atlet 17 tahun ini nyaris seumur hidupnya tinggal di negara bagian Washington, Amerika Serikat. Namun, karena seluruh keluarga besarnya tinggal di Malaysia, dia memilih mewakili negara asal ortunya. Aruwin menjadi perempuan Malaysia pertama dalam sejarah yang ikut serta di Olimpiade Musim Dingin.
“Aku sih merasa sebagai warga Malaysia seutuhnya, meski tidak tinggal di sana,” ujarnya pada VICE World News. Seperti Goncalves, ongkos untuk mewujudkan cita-cita Aruwin tampil di Olimpiade disokong oleh beasiswa.
Biaya selalu disebut oleh para narasumber VICE sebagai salah satu hambatan utama, saat bicara kemungkinan atlet dari negara berkembang atau negara tropis ikut serta di ajang lomba musim dingin. Sebab, syarat utama latihannya adalah berada di wilayah subtropis yang sudah memiliki fasilitas olahraga khas musim dingin. Mereka semua, dengan berbagai cara, akhirnya harus hidup jauh dari keluarga untuk menjalani latihan di negara asing.
Pada akhirnya, atlet-atlet minoritas ini tidak bertanding untuk meraih medali. Kalau bisa dapat perunggu pun, itu sudah bonus luar biasa. Ambisi utama yang menggerakkan mereka adalah mengharumkan nama bangsa.
Goncalves mengaku sering bercanda dengan sesama atlet asal negara berkembang, bahwa dia baru bisa meraih emas “kalau atlet lain semuanya gagal tanding karena kena Covid-19.”
“Kami juga sering bercanda, menyadari keterbatasan masing-masing. Misalnya, target saya sebatas apakah bisa mencatatkan rekor lebih bagus dari teman asal Ghana atau India, atau malah sebaliknya,” kata Goncalves sambil tertawa.
“Gojlokan ataupun sindiran antara sesama atlet dari negara berkembang ini adalah hiburan kecil saja. Kami semua sudah seperti sahabat.”
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.