Berita  

Ini Pengalamanku Iseng-Iseng Kenalan Sama Atlet Olimpiade Tokyo di Aplikasi Kencan

ini-pengalamanku-iseng-iseng-kenalan-sama-atlet-olimpiade-tokyo-di-aplikasi-kencan

Isi aplikasi kencanku berubah drastis kira-kira sejak tiga minggu lalu. Semakin banyak lelaki yang foto profilnya telanjang dada. Mereka tampak mengangkat dumbel, bukan lagi anjing peliharaan yang lucu. Jumlah pengguna yang bikin akun cuma untuk mencari guru bahasa Inggris pun semakin berkurang. 

Dari sekian banyak kencan yang kudatangi sejak pindah ke Tokyo, belum ada satu pun yang cocok untukku. Mungkin kehidupan cintaku hanyalah lelucon bagi Tinder dan Bumble, makanya aku lebih sering patah hati daripada menemukan orang yang benar-benar menarik perhatianku. Karena itulah aku sempat girang melihat pengguna aplikasi kencan lebih bervariasi. Aku kira keberuntungan akhirnya berpihak padaku.


Namun, begitu membaca profil mereka, aku pun tersadar. Mereka tidak muncul secara ajaib hanya untukku. Kebanyakan orang yang aku temukan di aplikasi kencan sedang berpartisipasi di Olimpiade Tokyo.

Ini sama sekali tidak mengherankan. Setelah hari-hari penuh latihan yang intens dan pertandingan menegangkan, sudah paling tepat menghabiskan malam bersama seseorang untuk melepas penat.

Sebelum pandemi, orang biasa sepertiku masih punya peluang bertemu para atlet di waktu senggang mereka. Tapi sekarang, pembatasan yang berlaku guna mencegah penularan Covid-19 mengecilkan kemungkinan bertemu lelaki idaman di Desa Olimpiade.

Main aplikasi kencan seakan tidak ada gunanya, mengingat kita tidak akan bisa bertemu langsung dengan match. Tapi sebagai anak Gen-Z, aku memahami batasan-batasan ini takkan mampu menghentikanku ngegebet orang. Lagi pula, bisa PDKT sama orang baru saja sudah cukup menyenangkan untukku.

Selain itu, aku juga penasaran kenapa atlet Olimpiade masih menggunakan aplikasi kencan, padahal pembatasannya diberlakukan secara ketat. Apakah mereka bosan dan butuh hiburan? Atau mereka menginginkan koneksi dengan dunia luar karena tidak bisa pergi ke mana-mana? Untuk mencari jawabannya, aku pun mulai menguji nasib percintaan di Bumble.

Aku memasang foto secantik mungkin di aplikasi tersebut, salah satunya adalah foto yang aku pakai untuk urusan pekerjaan. Untuk menunjukkan “vibe” alias keunikan diri, aku menceritakan cara terbaik makan selada. Baru-baru ini aku mengetahui kalau kita sebaiknya menyobek daun selada satu per satu.

Profil Hanako Montgomery di aplikasi kencan
Penulis “enggak sengaja” pakai foto kerja. Foto milik Hanako Montgomery

Profilku akhirnya siap, dan aku mulai swipe kanan-kiri. Tipe cowok yang aku sukai simpel saja. Aku tidak peduli bagaimana penampilan fisiknya, yang terpenting dia harus percaya diri dan bisa membuatku tertawa.

Aku kaget melihat betapa banyaknya pengguna yang terlibat dalam ajang internasional ini. Ada engineer, sukarelawan, jurnalis sampai teknisi Olimpiade Tokyo yang main Bumble. Aku agak gugup ketika match dengan para atlet. Beberapa dari mereka atlet terkenal, jadi wajar saja kalau aku merasa takjub ketika mereka nge-swipe kanan.

Yang paling aku suka dari berkencan di usia dewasa adalah kita bisa ghosting satu sama lain tanpa perlu merasa tidak enakan. Lebih baik mengabaikan chat daripada memaksakan diri untuk mengobrol meski sudah tidak tertarik. Beberapa chat-ku bersama atlet terhenti ketika kami tidak menemukan kecocokan.

Percakapan yang berlanjut sangat menghibur. Orang-orang yang bekerja keras mencapai target sangatlah keren, dan aku senang mendengar cerita mereka yang menggebu-gebu. Aku juga diajak berlibur ke negara mereka, ditanya kenapa belum punya pacar dan dipuji cantik (jadi geer, nih).

Beberapa menolak dan langsung unmatch ketika aku mengutarakan ingin mewawancarai mereka, sedangkan lainnya bersedia diwawancara dengan syarat. Mereka baru mau ngobrol setelah selesai bertanding. Ada juga yang mengatakan mereka dibatasi boleh berbicara ke media mana saja selama kompetisi.

Atlet tenis meja Can Akkuzu dari Prancis mengaku, dia menggunakan aplikasi untuk “bertemu orang baru di Desa [Olimpiade]”. Katanya dia sedih tidak bisa bertemu denganku. Dari skala 1 sampai 10, dia bilang tingkat frustrasi dan patah hatinya mencapai “9,5”. (Entah hilang ke mana 0,5-nya.)

Sebelum terbang ke Jepang, peserta Olimpiade wajib tes COVID-19 setiap hari selama satu minggu. Mereka juga harus isolasi mandiri. Mereka terus menjalani pemeriksaan setibanya di Desa Olimpiade. Ada pula pembatasan sosial dan larangan yang mesti dipatuhi. Saat ini, Tokyo mengalami gelombang keempat COVID-19, sehingga ada ketakutan kasusnya meningkat drastis apabila atlet internasional berbaur dengan warga lokal.

Desa Olimpiade terkenal akan budaya seksnya yang gila, dan Akkuzu bisa membuktikan ini. Meski dia tidak ikut Olimpiade Rio 2016, teman-temannya menceritakan apa saja yang terjadi di sana. “Kamar mandi bukan cuma buat mandi,” tuturnya. Pada Olimpiade Musim Dingin Sochi 2014, atlet seluncur salju membeberkan kepada Us Weekly, “[Kencan] Tinder di Desa tak ada tandingannya.” Kepada ESPN, sejumlah atlet mengungkapkan betapa seringnya pasangan kerap keluar dari kamar, tas ransel penuh kondom dan pesta seks gila-gilaan.

Di Desa Olimpiade Tokyo 2020, atlet dilarang berpelukan, tos dan makan malam bersama anggota tim lain. Ada juga laporan kasurnya terbuat dari kardus untuk mencegah aktivitas seksual, meski itu telah dibantah. Kondom yang biasanya dibagikan selama jalannya acara, kini diberikan sebagai cendera mata saat mereka pulang ke negara masing-masing.

Sebagian besar atlet mengatakan main aplikasi kencan untuk berkenalan dengan orang baru, baik itu atlet dari negara lain atau negara mereka sendiri. Seperti yang sudah kita ketahui, ngobrol di Bumble atau Tinder bisa mengurangi kesepian selama pembatasan COVID-19.

Akkuzu bercerita dia lomba di Tokyo atau Sapporo setiap tahun. Dia janji akan “mengabarkanku” kalau ke Jepang lagi “tahun depan”. Kita lihat saja nanti apakah artikel ini akan ada sekuelnya atau tidak.

Walaupun pada akhirnya aku tidak menemukan tambatan hati, aku tidak menyesal sama sekali PDKT dengan para atlet. Senang rasanya bisa banyak belajar tentang cabang olahraga mereka, serta mendengar pendapat mereka tentang Tokyo. Seru juga bisa berkelakar dengan orang-orang dari berbagai budaya. Ini membuktikan ketertarikan seksual itu universal dan bisa dirasakan secara virtual. Selain itu, aku punya gebetan baru.

Ada sesuatu yang menggembirakan dari flirting, terlebih ketika kalian menyadari takkan mungkin bisa bertemu mereka. Kami sama-sama mengetahui hubungannya akan cepat berakhir, tapi itu tak menghentikan kami untuk berinteraksi. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, tapi siapa tahu saja suatu saat nanti aku beneran bisa bertemu Prince Charming di negaranya (kalau kamu membaca ini, kamu tahu siapa yang aku maksud).

Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.