Berita  

Ini Panduan Jika Bos Sengaja Bikin Kalian Tak Betah Agar Resign dari Kantor

ini-panduan-jika-bos-sengaja-bikin-kalian-tak-betah-agar-resign-dari-kantor

Arzan Pawar sempat mengira ia telah mendapat pekerjaan impiannya ketika diterima menjadi koki di sebuah hotel berbintang di India. Pemuda umur 23 ini senang bisa mengenyangkan perut para tamu dengan resep andalannya. Dia melakoni tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh.

Namun, atasan Arzan malah membuatnya tidak betah bekerja di sana. Orang itu merendahkannya di depan rekan kerja mereka, lalu menyindir Arzan secara halus saat dia memutuskan hengkang. “Dia bilang saya tidak profesional dan lemah gemulai. Dia merekamku saat sedang berjalan, dan menyebarkan videonya ke seluruh departemen buat mengejek cara jalan saya,” kenangnya. Meski sadar penuh Arzan sudah muak dengan lingkungan kerjanya, sang atasan sengaja menawarkan posisi penuh waktu hanya untuk memancing emosinya.


Perlakuan yang diterima laki-laki itu cukup sering terjadi di dunia kerja, di mana pun kita berada. Tak jarang orang sampai terpikir ingin resign karena sudah tidak nyaman di kantor. Tapi dalam kasus Arzan, atasan secara terang-terangan menciptakan lingkungan yang toksik hingga memaksanya keluar.

Fenomena itu sudah ada sejak dulu kala, tapi tidak ada istilah khusus untuk menggambarkannya. Sebutan “quiet firing” baru muncul setelah tren “quiet quitting” – bekerja sesuai porsinya – ramai dibicarakan di media sosial beberapa waktu lalu. Dalam praktiknya, atasan mungkin tidak punya alasan tepat untuk memecat karyawan, sehingga mereka membuat situasi yang tidak menyenangkan agar karyawan memilih mengundurkan diri.

Jajak pendapat LinkedIn News menyebutkan “quiet firing” dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti tidak pernah memberi kenaikan gaji, membuat karyawan merasa tidak kompeten, dan tidak memberikan kesempatan untuk mengembangkan karier. Dalam bentuk yang lebih parah, praktik ini bisa berupa dilarang cuti, tidak pernah diajak berdiskusi soal pekerjaan hingga dianaktirikan.

Aishwaria, 28 tahun, melepas posisinya sebagai jurnalis di kantor berita terkemuka setelah terlibat konflik yang tiada ujung dengan atasannya. Selain tenggat waktu yang tidak masuk akal, tempat kerjanya jarang sekali mengizinkan karyawan memakai hak cuti mereka.

“Atasan marah kalau kami terlalu lama izin sakit, atau mengambil cuti karena ada anggota keluarga yang meninggal,” tuturnya. “Omelan sudah menjadi santapan kami sehari-hari. Membuat kesalahan kecil saja pasti akan dimarahi.”

Aishwaria dan rekan-rekan wartawannya kerap diforsir bekerja hingga 10 jam sehari, bahkan saat tidak ada peristiwa penting. Tidak tahan dengan perlakuan bos yang “mirip iblis”, dia bertahan dua tahun saja di sana. Dia resmi keluar pada Oktober 2018.

Kebanyakan kasus quiet firing terjadi atas dasar penilaian subjektif atasan, padahal karyawan telah melaksanakan tugas mereka sebagaimana mestinya. Akan tetapi, menurut konsultan Bhaumik Gowande, ada kalanya taktik tersebut menjadi pilihan terakhir perusahaan untuk menyingkirkan karyawan yang kinerjanya kurang memuaskan.

“Biasanya di perusahaan konsultan seperti tempat saya bekerja, kami harus menyediakan alasan dan bukti yang solid mengapa karyawan pantas dipecat,” jelasnya. “Kami harus menunjukkan telah memberi mereka kesempatan untuk berubah sebelum membuat keputusan akhir.”

Di kantor Gowande, pernah ada karyawan yang diterima murni karena punya kenalan orang dalam. Orang itu aslinya tidak mampu menjalani pekerjaan dan malah membebani teman sekantor. “Dia tidak bisa menyusun proposal. Bahkan dia juga tidak tahu caranya menggunakan Microsoft suite dan melibatkan pemangku kepentingan. Proyek yang seharusnya rampung dalam dua minggu, dia baru menyelesaikannya dua bulan kemudian,” kata lelaki yang berusia 29.

“Kami sudah berusaha menyuruhnya mengerjakan proyek lain. Kami bahkan mempertahankannya selama empat bulan, tapi tetap tidak ada perubahan. Kami akhirnya angkat tangan. Gajinya besar, tapi dia tidak bisa apa-apa dan malah menambah kerjaan orang lain. Manajer merasa tidak enak memecatnya secara langsung, makanya mereka sengaja menciptakan lingkungan yang tidak nyaman. Saya tadinya diminta mempersiapkan alasan untuk memecatnya, tapi tahu-tahu dia mengajukan resign duluan.”

Tapi balik lagi, cerita Bhaumik hanyalah satu dari segelintir kasus di mana karyawan menjadi pihak yang salah. Tindakan memecat karyawan secara halus lebih sering terjadi karena adanya dinamika kekuasaan yang tidak seimbang antara karyawan dan manajer.

Bagi Arjun Randhawa, penulis muda yang tinggal di Delhi ini merasa diperlakukan secara tidak adil oleh editor karena dia bukan orang berkulit putih. “Saya awalnya bisa mengatur sendiri tenggat waktunya dan dibayar sesuai hasil tulisanku,” ujarnya. “Tapi lama-lama saya mulai merasa terisolir. Saya diabaikan, dan masukan dariku tidak pernah didengar. Tanggung jawab saya dan rekan kerja yang orang Amerika padahal sama, tapi mereka lebih diakui daripada saya.”

Menurutnya, sistem outsourcing pada organisasi yang mempekerjakannya cuma menguntungkan karyawan Amerika. Sementara di negaranya, mereka tidak punya HR yang menunjang kebutuhan karyawan. Orang-orang seperti Arjun juga jarang dilibatkan dalam urusan pekerjaan. Bayaran yang diterima pun lebih rendah dari upah minimum di India (Rp37 ribu per hari). Terlalu sering dianaktirikan, serta upah yang tidak layak, pada akhirnya menguras tenaga dan batinnya. Arjun resign tiga bulan kemudian, setelah mengalami burnout parah. Dia sudah berusaha menyampaikan apa yang mengganggu pikirannya, tapi tidak digubris oleh editor. Dia malah dicap berhalusinasi.

Ada banyak faktor yang mendasari keputusan atasan menerapkan metode quiet firing kepada karyawannya, seperti tidak mau membayar pesangon atau membuka peluang bagi karyawan lain untuk mengungguli mereka. “Pada tingkat psikologis, atasan tidak puas dengan kinerja karyawan tapi mereka sudah kehabisan solusi untuk menyelesaikan masalahnya secara sehat, atau mereka tidak mampu mengomunikasikan permasalahan dengan baik. Akhirnya mereka memilih quiet firing,” psikolog Jasleen Kaur Sachdev memberi tahu VICE.

Sayangnya, bagi karyawan, tidak mudah memprotes sikap atasan yang kurang adil. Buka suara hanya akan semakin meningkatkan risiko seseorang kehilangan pekerjaan. Namun, menurut psikolog klinis Anjali Gowda Ferguson, diam saja saat menerima perlakuan semacam ini dapat merugikan kesehatan mental kita dalam jangka panjang.

“Jika kamu tidak bisa mengundurkan diri, carilah cara agar ini tidak memengaruhi kesehatan mental kamu,” katanya. “Cari orang yang bisa mendukungmu, dan lakukan aktivitas di luar jam kerja yang dapat meningkatkan hubunganmu dengan kolega. Bisa saja kamu bukan satu-satunya yang mengalami masalah ini, dan cerita mereka dapat memperkuat bukti kamu diperlakukan tidak adil.”

Follow Arman di Twitter dan Instagram.