JAKARTA- Jelang Pemilu 2024, Penunjukan Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati/Walikota mendapat sorotan sejumlah pihak.
Sejumlah kalangan seperti akademisi, pengamat, dan pemantau pemilu berharap proses penunjukan penjabat, berlangsung transparan, terukur, akuntabel dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi. Serta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Seperti yang mengemuka dalam webinar dengan tema “Problematika Pengangkatan Penjabat Daerah” yang digelar Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FHUI berkolaborasi dengan Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI, Jumat malam (27/5/2022).
Dalam webinar tersebut menghadirkan pembicara Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si (Dosen Hukum Administrasi Negara FHUI), Titi Anggraini, S.H., M.H. (Anggota Dewan Pembina Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) dan Yunani Abiyoso, S.H., M.H. (Dosen Hukum Tata Negara FHUI).
Serta Pengamat Pemilu Ramdansyah, yang ikut menanggapi tema diskusi tersebut.
Seperti diketahui, pada periode 2022-2023 ini, setidaknya terdapat 271 kepala daerah yang akan berakhir masa jabatan definitifnya sehingga menyebabkan kekosongan jabatan hingga terselenggaranya Pilkada umum pada 2024 mendatang.
Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) memandatkan penunjukan Penjabat Kepala Daerah untuk mengisi kekosongan ini diusulkan oleh Menteri Dalam Negeri dan dipilih oleh Presiden.
Sementara itu, Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si (Dosen Hukum Administrasi Negara FHUI) dalam diskusi tersebut merekomendasikan sejumlah hal.
Menurutnya, dalam menentukan Penjabat kepala daerah bisa memaksimalkan peran atau melalui DPRD. Idealnya, mempertimbangkan Pasal 18 UUD
1945 dan berbagai UU, seleksi dan pemilihan Penjabat ada di DPRD.
“Presiden melalui PP dapat mengatur pedomannya,” jelasnya.
Saat ini mekanisme seleksi dan pemilihan
dilaksanakan Penjabat oleh Kementerian,
sebaiknya berdasarkan aturan detil yang
ditetapkan Presiden –berdasarkan
wewenangnya menurut Pasal 4 UUD 1945.
Sementara itu Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah mengatakan, menanggapi kisruh penetapan Penjabat Gubernur untuk mengisi kekosongan jabatan sesuai Pasal 210 UU No. 10 tahun 2016 Rumah Demokrasi menyatakan harus berdasarkan Peraturan teknis yang cermat.
“Peraturan teknis yang dibuat pemerintah tentunya harus sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB),” jelas Ramdansyah.
Menurutnya, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyampaikan hal tersebut dalam pertimbangan hukum putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
Pertimbangan hukum MK menyebutkan bahwa, “Pemerintah perlu mempertimbangkan dan memperhatikan untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut pasal 201 UU No. 10 tahun 2016.
“Sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsif-prinsif demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah,” tegas Ramdansyah.
Peraturan teknis yang dibuat Pemerintah selain harus mengacu pada AUPB juga mengacu pada prinsip-prinsip demokratis, terbuka, transparan dan akuntabel. Seperti disebutkan dalam pertimbangan hukum dalam putusan MK Nomor 67/PUU-XIX/2021.
“Tujuannya diharapkan agar peraturan teknis tersebut tidak merugikan hak-hak kebebasan sipil dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku,” jelas Ramdansyah
Dengan tidak adanya peraturan teknis, maka Pasal 1 angka 1 UU No 8 tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa Penjabat Gubernur, Bupati dan Walikota adalah Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku akan menjadi multi interpretasi.
“Pemerintah menganggap penunjukan anggota Polri aktif sebagai Pj Gubernur Jawa Barat oleh Mochamad Irawan tahun 2018 adalah dibenarkan. Hal tersebut adalah preseden yang perlu dievaluasi oleh Pemerintah. Apakah keputusan tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian?,” terang Ramdansyah.
Pasal 28 ayat 3 UU No. 2 tahun 2002 yang berbunyi, “anggota kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.
Saat itu pengangkatan Penjabat Gubernur Jawa Barat Komjen Pol. Mochamad Irawan sebagai Pejabat Pimpinan Tinggi Madya setelah menduduki Jabatan sebagai Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional (Sestama Lemhamnas), tetapi posisi yang bersangkutan masih tetap aktif sebagai anggota Polri.
“Sebagai anggota Kepolisian aktif saat itu ia harus tunduk pada UU Kepolisian,” jelas Ramdansyah.
Ramdansyah menambahkan, posisi aktif di Kepolisian lalu diangkat sebagai pejabat gubernur dapat mengurangi kebebasan sipil juga berlaku terhadap anggota TNI.
“Ketentuan Pasal 47 UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Ketentuan ini menyebutkan bahwa Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,” ujar Ramdansyah.
“Prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil yang membidangi kordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, lembaga ketahanan nasional dewan pertahanan nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional dan Mahkamah Agung,” imbuhnya.
Petunjuk teknis penetapan penjabat gubernur secara terbuka dapat menunjuk TNI/Polri merujuk kepada kondisi keamanan atau kerawanan suatu provinsi.
“Ketentuan yang mengatur mengenai keadaan bahaya diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 23 tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Ada tiga tingkat bahaya yang ditetapkan oleh Perppu tersebut. Tingkat bahaya paling rendah adalah Keadaan Darurat Sipil dimana militer masih belum dilibatkan sebagai penguasa daerah. Keterlibatan militer sebagai penguasa daerah dilakukan ketika suatu daerah menjadi Darurat Militer dan Darurat Perang. Dalam kondisi sekarang ini, ketiga kondisi bahaya ini tidak terjadi, sehingga alasan penempatan TNI/Polri sebagai Penjabat Gubernur tidaklah beralasan,” ujar Ramdansyah.
“Rumah Demokrasi tetap mendorong PNS Madya dengan rekam jejak yang sudah jelas untuk menjadi Pj. Gubernur,” imbuh Ramdansyah.
Sementara itu, Titi Anggraini, S.H., M.H. (Anggota Dewan Pembina Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) menyarankan beberapa pertimbangan.
“Sebelum mengangkat Penjabat, Presiden/Mendagri paling kurang atau setidaknya.terlebih dahulu meminta pendapat dan masukan dari DPRD dan kepala daerah setempat,” jelas Titi.
“Sebelum pemilihan nama, terlebih dahulu meminta usulan kriteria dan nama yang diharapkan/dibutuhkan daerah, serta setelah ada nama calon Penjabat: meminta respon/pendapat dan masukan atas nama calon Penjabat yang tersebut,” imbuhnya.
Kemudian jelas Titi, memperhatikan afirmasi Orang Asli Papua (OAP) dalam Pemilihan Penjabat di Provinsi Papua.
Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) membentuk Tim atau Kelompok Kerja Khusus untuk mengawasi pengisian Penjabat Kepala Daerah yang melibatkan aparatur sipil negara serta memastikan netralitas dan imparsialitas Penjabat pada saat menjabat dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024.
“KPK, PPATK, dan Aparat Penegak Hukum perlu mengantisipasi potensi praktik transaksional dan koruptif dalam pengisian Penjabat Kepala Daerah,” pungkasnya.
Sementara itu, Yunani Abiyoso, S.H., M.H. (Dosen Hukum Tata Negara FHUI) mengatakan perlu ada aturan spesifik soal Penjabat. Khususnya saat ini.
“Memang kita koridor Hukum Tata Negara, harus sesuai konstitusi,” jelasnya.
Berita dengan Judul: Ini Alasan Pengamat Pemilu Ramdansyah mendorong PNS Madya menjadi Penjabat Gubernur pertama kali terbit di: Berita Terkini, Kabar Terbaru Indonesia – Liputan4.com. oleh Reporter : taufik