Berita  

Indonesia Harus Mulai Sadar Risiko Kejatuhan Sampah Antariksa

indonesia-harus-mulai-sadar-risiko-kejatuhan-sampah-antariksa

Bumi baru saja kejatuhan puing roket seberat 18 ton milik Tiongkok, pada 9 Mei 2021. Untungnya, puing bekas roket tersebut jatuh di Samudera Hindia, dekat kepulauan Maladewa sehingga tidak menelan korban jiwa. Namun lokasinya, dapat dikatakan tidak jauh di Indonesia, mengingat Samudera Hindia ada di barat dan selatan nusantara. Puing lain dari roket Long March 5B ini tercatat pernah jatuh menimpa Pantai Gading, persis di bulan yang sama tahun lalu meski tidak menelan korban jiwa, dan hanya menyebabkan kerusakan bangunan.

Beberapa hari sebelum roket tersebut jatuh ke Samudera Hindia, sempat ada pemberitaan mengenai perkiraan lokasi jatuhnya puing Long March 5B. Badan roket tersebut diperkirakan oleh Aerospace Corp seperti dilansir dari The Guardian, berisiko jatuh di kota-kota Amerika Serikat bagian timur lalu jatuh di area dekat khatulistiwa, termasuk Indonesia.


Meski akhirnya prediksi Long March jatuh di Indonesia tak terbukti, tapi bukan berarti negara ini boleh bersantai. Indonesia sudah pernah menjadi area jatuhnya benda antariksa sebanyak lima kali. Dimulai di Gorontalo pada 1981 dan Lampung pada 1988 yang keduanya merupakan roket asal Rusia. Kemudian roket asal Cina yang jatuh di Bengkulu pada 2003, asal Amerika Serikat di Madura pada 2016, dan yang terbaru wilayah Agam, Sumatera Barat pada 2017, yang kejatuhan roket asal Cina

Lantas apakah ada kemungkinan benda asing dari antariksa jatuh lagi ke bumi di masa depan? Apakah ada pihak yang sudah mengantisipasi peristiwa macam ini?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, VICE ngobrol dengan Andrew Reyhans yang sempat menekuni Hukum Antariksa di Universitas Keio, Tokyo, demi mengetahui lebih dalam soal jatuhnya benda-benda antariksa atau yang sering disebut-sebut sebagai sampah antariksa.

VICE: Apa aja sih yang tergolong sampah antariksa? Andrew: Sampah antariksa atau space debris itu seluruh benda buatan manusia yang telah diluncurkan ke luar angkasa dari permukaan bumi yang sudah tidak berfungsi kembali. Intinya sih, semacam rongsokan di luar angkasa lah.

**Berarti lalu lintas di antariksa itu kurang lebih sama kayak di bumi yang padat?
**Iya. Saat ini jumlah sampah di antariksa mencapai kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Awalnya kegiatan keantariksaan itu kan mulai di tahun 1957, di mana Soviet waktu itu meluncurkan satelit Sputnik. Sebelum itu sama sekali belum ada istilah sampah antariksa di luar angkasa, karena memang belum ada kegiatan keantariksaan. Semenjak itu manusia semakin banyak meluncurkan [satelit]. Ini kenapa komunitas internasional di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mulai memikirkan gimana caranya sampah antariksa ini tidak semakin banyak jumlahnya.

**Adakah regulasi yang memayungi kegiatan keantariksaan?
**Regulasinya berlaku secara internasional. Jadi dari segi bidang keilmuannya, ini masuk ranah hukum antariksa (space law). Space law ini cabang dari hukum internasional. Jadi seluruh aturan dan tata cara negara-negara di dunia dalam melaksanakan kegiatan keantariksaannya misalnya meluncurkan roket, menempatkan satelitnya atau mereka mau melakukan penelitian di luar angkasa misalnya, itu udah ada semua regulasinya. Regulasi induknya itu namanya Traktat Antariksa (Outer Space Treaty) yang dibuat tahun 1963.

**Apakah regulasi soal sampah keantariksaan ini berkaitan dan penting untuk hidup kita?
**Jawabannya secara singkat, ini tuh sangat sangat penting. Karena di keseharian saja, kita enggak bisa lepas yang namanya benda antariksa, yaitu satelit. Bayangkan kalau tidak ada satelit, kita enggak bisa nonton televisi atau mengakses sambungan internet. Kita bisa melakukan telekomunikasi dengan orang lain di jarak yang sangat jauh, atau melakukan pengindraan jauh, misalnya meneliti adanya kebakaran hutan di suatu area, itu juga pakai satelit.

**Berarti bisa dibilang sampah antariksa kalau sampai jatuh di wilayah padat layak disebut bencana akibat ulah manusia?
**Sampah antariksa ini memang manmade, tapi ada beberapa kondisi yang menyebabkan sampah antariksa ini bisa ada. Pertama, dari kegiatan keantariksaan. Misalnya ada misi antariksa, kita meluncurkan satelit atau roket. Itu kan begitu roket diluncurkan, ada beberapa benda atau fragmen yang harus lepas. Nah itu kan dia jadi sampah antariksa di situ.

Yang kedua karena kecelakaan. Misalnya ada tubrukan antara benda antariksa satu dengan yang lain. Salah satu insiden yang terkenal adalah satelit milik Rusia menabrak satelit milik Amerika Iridium. Tabrakan itu menghasilkan sekitar seribu keping puing-puing sampah yang berukuran 10 cm. Keping yang ukurannya cuma 10 cm jangan diremehkan, karena sangat berbahaya untuk kegiatan keantariksaan selanjutnya. Kepingan yang 10 milimeter aja, itu kan kalau di antariksa kan sangat cepat bergerak, kalau dia menubruk roket atau satelit kita yang ada di angkasa, itu kan jadi menyebabkan kerugian misalnya bisa menyebabkan roket atau satelit hancur.

Ketiga, sampah antariksa itu juga bisa terjadi karena kesengajaan. Misalnya ada suatu negara kalau yang contoh konkretnya sih China ya. China itu pernah mengeluarkan senjata anti satelit. Jadi China itu menghancurkan satelitnya sendiri secara sengaja. Karena penghancuran satelitnya sendiri itu, dia menghasilkan pecahan puing-puing sampah yang mungkin jumlahnya bisa ribuan dan berukuran besar. Sejarahnya sih, hasil sampah dari uji coba senjata anti-satelit ini paling banyak jumlahnya.

Jadi sampah antariksa bisa terjadi karena tiga hal itu, pertama karena misi antariksa, kedua karena kecelakaan, dan yang ketiga ada kesengajaan.

**Kalau begitu adakah sanksi untuk China pada kasus long march 5B atau untuk negara lain pada umumnya, mengingat tersedia regulasi yang mengatur kegiatan keantariksaan ini?
**Hukum internasional itu beda, enggak kayak hukum nasional. Kalau hukum nasional itu jelas sistem penegakan hukumnya. Dia punya polisi atau personel penegakkan hukum lainnya. Di hukum internasional, ini tuh abu-abu. Itu kelemahannya. Jadi walaupun ada regulasi, misal ada satu negara melanggar, ini bisa di-impose oleh negara-negara lain. Maksudnya gini, misalnya China dia melakukan penembakan satelitnya sendiri. Itu kan udah menyalahi hukum internasional sebenarnya. Negara-negara lain bisa meng-impose sanksi ke China. Tapi China kan bisa aja tidak mematuhi karena sebenarnya tidak bisa dipaksa. Jadinya sanksi bergeser ke hal yang lain sih, misalnya embargo ekonomi atau misalnya dia semacam dikucilkan. Intinya, sanksi yang timbul dari pelanggaran hukum internasional secara regulasi ada, tapi pelaksanaannya sulit. Apalagi China itu kan negara superpower ya dengan kekuatan keantariksaan yang sangat kuat, tambah sulit untuk dikenakan sanksi.

**Mungkinkah suatu saat antariksa ini penuh sampah dan akhirnya manusia tidak bisa melakukan kegiatan keantariksaan lagi?
**Sebenarnya kalau lihat definisi antariksa itu sangat luas ya, tidak terbatas. Tapi antariksa di sini, kita sempitkan definisinya menjadi orbit yang mengelilingi bumi. Jumlah satelit itu sebenarnya diatur. Ada organisasi namanya International Telecommunication Union. Dia yang melakukan pelacakan satelit-satelit apa aja yang ada di luar angkasa sekarang. Setiap negara yang mau meluncurkan satelit atau roket, dia punya kayak semacam nomor antrean gitu. Mereka sudah punya datanya, kapan giliran negara A bisa meluncurkan satelit tersebut. Masih ada ruang di antariksa jadi masih bisa dilakukan kegiatan keantariksaan sampai saat ini. Kayaknya kecil kemungkinan orbit penuh sampai kita manusia tidak bisa melakukan kegiatan keantariksaan lagi.

**Sampah antariksa ini kan kabarnya terbakar saat melewati ozon. Lalu kenapa masih dianggap berbahaya?
**Sebenernya roket-roket ini kan bawa zat-zat kimia, dalam roketnya atau satelitnya. Nah roket-roket atau satelit yang tidak berfungsi lagi, yang menjadi sampah kan berputar mengelilingi orbit bumi. Sampah antariksa ini jadi gak cuma menyebabkan kekhawatiran bisa jatuh atau bisa menubruk ke roket atau satelit lain, tapi juga bisa berdampak ke lingkungan. Kerusakan ozon jadi bisa semakin progresif. Jadi dia memicu rusaknya ozon, tapi ozon yang udah terlanjur semakin menipis karena pemanasan global pun jadi membuat sampah antariksa perlu semakin diwaspadai.

**Indonesia sendiri beberapa kali pernah kejatuhan sampah antariksa. Apakah lokasi Indonesia di garis ekuator punya risiko lebih besar jadi lokasi jatuhnya sampah antariksa?
**Benda antariksa, misalnya roket yang diluncurkan ke antariksa itu ada regulasinya. Sekarang ini ada pedoman untuk negara-negara mengenai gimana caranya mereka meluncurkan roket atau satelit yang nantinya tidak menyebabkan sampah antariksa yang bakal jatuh ke bumi. Atau kalau memang jatuh ke bumi, langsung diarahkan ke daerah yang tidak berpenghuni, misalnya di lautan lepas, atau di samudera mana. Cuma memang ada beberapa negara yang tidak mematuhi, contohnya ya jatuhnya roket dari China Long March 5B tempo hari.

Kalau dari berita tercatat kalau China tidak mematuhi pedoman yang sudah ditentukan, bahwa roket-roket yang diluncurkan itu mestinya sudah diatur sedemikian rupa supaya pasti jatuh di samudra. Makanya daerah yang bisa kena jatuhan bekas roket itu tidak menentu, sempat disebut bisa di Indonesia, bisa di negara-negara lain, bisa juga bahkan di kota yang penduduknya banyak. Tapi memang tidak ada sangkut pautnya sama ekuator sih, bisa di mana saja [sampah antariksa] dia jatuh. Beberapa kali Indonesia kena serpihan sampah antariksa itu kebetulan [yang sulit diprediksi].

Indonesia berencana membangun spaceport di Biak, Papua. Apakah fasilitas ini kelak membantu kita memitigasi risiko bencana terkait sampah antariksa?Bandar antariksa ini sebenernya udah diwacanakan sejak lama. Bahkan sekarang kita punya regulasi nasional namanya UU Keantariksaan tahun 2013. Di situ sudah ada pasal terkait bandar antariksa. Itu artinya kan sudah ada paling tidak inisiasi atau keseriusan dari pemerintah untuk melakukan pembangunan bandar antariksa itu. Kenapa? Dari segi ekonomi, wilayah Indonesia ini sangat menguntungkan untuk dijadikan peluncuran bandara antariksa, karena kita kan terletak di ekuator. Jadi peluncuran roket yang dilakukan di daerah khatulistiwa, itu yang saya lihat dari banyak jurnal atau artikel, khususnya bagian teknis, itu keuntungannya adalah biaya peluncuran yang lebih murah.

Sekarang ini peluncuran dari khatulistiwa itu tidak banyak. Indonesia ini terbentang dari Sabang sampai Merauke, banyak daerah yang bisa dibangun, misalnya di Morotai, ada rencana juga dibangun bandar antariksa. Itu supaya kita menarik banyak negara-negara asing supaya bisa meluncurkan roketnya di Indonesia. Kita juga sebagai negara yang punya bandar antariksa jadi tidak perlu lagi meluncurkan roket kita dari negara lain. Sekarang paling tidak secara regulasi sudah diatur tentang bandar antariksa ini, cuma memang realisasinya kita masih belum tahu seperti apa.

**Apakah Indonesia belum punya tempat untuk meluncurkan roket sendiri?
**Sebenarnya ada, di Garut. Tapi roket yang diluncurkan lebih ke arah penelitian data cuaca atau penginderaan jauh. Tapi kalau yang roket pembawa satelit itu belum bisa di Indonesia. Sementara kan roket-roket yang banyak meluncurkan satelit itu kebanyakan diluncurkan misal dari China, India, atau Jepang. Biasanya Indonesia numpang dari negara lain, kita belum punya kapabilitas untuk meluncurkan roket yang ada satelit.



**Mungkinkah kelak kejatuhan sampah antariksa ini bisa diprediksi lebih akurat, termasuk oleh ilmuwan Indonesia?
**Sejauh ini tidak ada yang bisa memprediksi sampah antariksa akan jatuh persisnya di mana. Yang bisa diperkirakan kira-kira range areanya. Selain itu waktu jatuhnya, itu masih bisa [diprediksi], dilihat dari segi sisa bahan bakarnya atau setelah dia menembus atmosfer seperti apa keadaannya apakah terbakar atau tidak. Itu bisa dilacak oleh sistem.

**Apa saja usaha mitigasi yang sudah dilakukan dunia? Dan apa saja yang belum dilakukan namun sudah seharusnya dilakukan?
**Usaha mitigasi sebenarnya udah banyak. Saat ini ada pedoman mitigasi sampah antariksa yang dituangkan beberapa institusi. Misalnya Eropa ada namanya European Space Agency. Mereka punya pedoman supaya negara-negara di Eropa mematuhi gimana caranya agar tidak menghasilkan debris itu. Si roket itu harus didesain sedemikian rupa ketika dia sudah tidak beroperasi lagi, bisa diarahkan untuk jatuhnya ke perairan terluas di bumi.

Atau roketnya didesain untuk meminimalisir adanya pecahan fragmen-fragmen pada saat operasional. Atau juga bisa membatasi kemungkinan roket ini menabrak roket lain. Tapi untuk bisa mematuhi pedoman-pedoman ini kan perlu biaya, dari segi teknis gimana caranya supaya roket ini enggak jadi sampah antariksa. Tapi biayanya mahal. Jadi tiap negara jadi kesulitan untuk bisa patuh dengan pedoman ini dalam praktiknya.

**Dengan keadaan sampah antariksa yang semakin menggunung ini, apakah Indonesia perlu mempersiapkan pedoman mitigasi juga?
**Kalau dari jangka panjang, we need to worry. Generasi-generasi yang akan datang kan masih akan sangat bergantung dengan kegiatan keantariksaan. Sekarang saja, sudah ada vonis dari banyak pihak kondisi sampah antariksa yang semakin mengkhawatirkan.

Untuk di jangka pendek sih mungkin enggak perlu sampai “Aduh, takut nih ada sampah antariksa jatuh di kota kita.” Ini sih kemungkinannya kecil ya, tidak begitu mengkhawatirkan semestinya. Indonesia kan juga belum meluncurkan roket setiap hari, bukan kegiatan yang dilakukan secara sering, paling beberapa tahun sekali. Tapi semua negara tidak boleh tinggal diam dan saat ini PBB tetap meng-enforce agar pedoman yang sudah ada ini dipatuhi.

Istilahnya mencegah, bukan mengobati. Karena untuk mengurangi sampah antariksa yang sudah terlanjur ada di orbit bumi akan jadi sangat sulit, bahkan masih dalam tahap penelitian. Sekarang ada semacam robot yang diluncurkan di luar angkasa, bentuknya kayak tebar jaring, nanti sampah antariksa ini akan terperangkap di jaring itu. Tapi teknologi ini sampai sekarang belum established. Jadi saat ini tahapan yang lebih bisa dilakukan itu gimana caranya kita mencegah penambahan jumlah sampah antariksa.

*Wawancara telah disunting agar lebih ringkas dan enak dibaca