Sekitar 183 juta tahun silam, terjadi letusan dahsyat gunung berapi yang menyemburkan gas rumah kaca dan menyebabkan kepunahan massal di muka Bumi. Terjadi pada periode Jurassic tahap Toarcian awal, fenomena alam ini kemudian dikenal sebagai peristiwa anoksik samudra (T-OAE), yang mana kurangnya kadar oksigen di dalam air menyebabkan kepunahan makhluk hidup dalam jumlah besar. Akan tetapi, penyebab erupsi vulkanik terus menjadi teka-teki.
Sebuah penelitian baru mengusulkan perlambatan pergerakan benua tampaknya telah mendorong terjadinya erupsi. Dipimpin oleh Micha Ruhl, lektor sedimentologi di Trinity College Dublin, Inggris, temuan itu dijabarkan secara rinci dalam Science Advances.
Ruhl dan rekan-rekan menduga perubahan tersebut menyebabkan keluarnya magma dari perut bumi dan menciptakan large igneous provinces (LIP), hamparan besar batuan vulkanik yang sampai saat ini terukir di lanskap Afrika Selatan dan Antartika.
Penelitian ini memberikan wawasan baru tentang peristiwa yang mengguncang periode Jurassic, yaitu ketika dinosaurus masih berkeliaran di Bumi dan superbenua Pangea memasuki tahun-tahun senjanya. Selain itu, tim Ruhl mengatakan, pengurangan kecepatan benua memiliki implikasi yang lebih luas karena “mekanismenya konsisten dengan waktu terjadinya beberapa peristiwa vulkanik LIP terbesar sepanjang sejarah Bumi, sehingga bisa berkaitan dengan perubahan iklim global dan kepunahan massal di masa lalu,” demikian bunyi studinya.
“Kami mulai mempelajari peristiwa vulkanik besar lainnya di masa lalu, dan melihat hal yang sama terjadi pada kebanyakan peristiwa tersebut. Jadi kami berpikir model ini berlaku untuk sebagian besar sejarah Bumi,” Ruhl memberi tahu Motherboard, rubrik teknologi VICE. Tapi rupanya, model yang diamati oleh Ruhl dkk. tampaknya baru.
Aktivitas vulkanik yang hebat telah diketahui dapat memicu pembentukan LIP dari gumpalan magma yang mencapai permukaan Bumi. Dan kini, tim peneliti menemukan peristiwa yang terjadi pada periode ini bertepatan dengan kecepatan pergerakan lempeng benua.
Benua bergeser dengan kecepatan beberapa sentimeter per tahun, dan telah bergerak dengan kecepatan yang relatif cepat sejak jutaan tahun sebelum terjadinya T-OAE.
Tim peneliti mempelajari sedimen yang tercipta pada periode tersebut, yang mengendap di kedalaman satu mil di Wales, Inggris. Siapa sangka, hasil analisis menghubungkan data dengan model gerakan lempeng sebelum dan sesudah terjadinya erupsi. Mereka menghubungkan perlambatan tren pergeseran benua ke utara yang memicu T-OAE, diikuti oleh penghentian gerakan, dengan garis waktu terjadinya letusan gunung berapi hebat.
Ruhl menyebut prosesnya ibarat kita membentangkan kertas di atas lilin. Kertas akan hangus terbakar jika kita mengayunkannya dengan cepat di atas api, dan berlubang apabila digerakkan secara lambat. Dalam erupsi yang menyebabkan kepunahan massal, gerakan benua yang lambat membuat lempengan terpapar magma untuk waktu yang lebih lama, sehingga bulu mantel yang melelehkan lapisan bawah meledak ke permukaan.
Tim Ruhl menunjukkan, proses melambatnya atau terhentinya gerakan benua terjadi bersamaan dengan peristiwa kepunahan massal paling parah sepanjang masa, dikenal sebagai Great Dying, yang menyapu lebih dari 90 persen kehidupan di Bumi 250 juta tahun lalu, di samping beberapa kepunahan massal lain yang terjadi selama 500 juta tahun terakhir.
Temuan baru ini juga bisa menjadi gambaran bagaimana perubahan iklim akibat ulah manusia akan mengubah masa depan kita. Walaupun aktivitas vulkanik berbeda dari penggunaan bahan bakar fosil, keduanya sama-sama melepaskan karbon dioksida dan gas-gas lainnya yang dapat menyebabkan pemanasan global dalam jumlah besar, dan hal itu terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat. Dengan mempelajari pengaruh lonjakan gas rumah kaca pada habitat Bumi, serta beraneka ragam bentuk kehidupan di dalamnya, kita dapat mengantisipasi apa yang mungkin terjadi saat suhu global meningkat berpuluh-puluh tahun mendatang.
“Gunung berapi melepaskan sejumlah besar karbon dan gas rumah kaca ke atmosfer,” terang Ruhl. “Dengan demikian, penting bagi kita mengetahui hubungannya dengan gangguan lingkungan dan iklim. Kita dapat mempelajari berapa banyak karbon yang dilepaskan, dan apa dampaknya terhadap kenaikan suhu di permukaan air laut, penurunan pH dan lain-lain.”