Untuk pertama kalinya, ilmuwan berhasil melacak asal mula penyebaran virus herpes wajah ribuan tahun lalu. Hasil analisis sampel DNA manusia yang hidup sekitar 5.000 tahun silam menyoroti praktik budaya baru, seperti berciuman, sebagai salah satu penyebab penularannya.
Virus herpes simpleks 1 (HSV-1) yang ditularkan melalui kontak oral dapat menyebabkan luka di sekitar mulut, muka dan bibir. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan sebanyak 67 persen populasi dunia di bawah usia 50 menderita HSV-1, menjadikannya jenis virus yang paling umum dijumpai di masyarakat. Strain virusnya telah berevolusi hingga dapat menyebabkan infeksi pada primata, ikan dan berbagai bentuk kehidupan lainnya.
Dalam penelitian terbaru, sejumlah ilmuwan berusaha mencari tahu proses evolusi virus ini pada kehidupan manusia. Mereka sukses mengurutkan genom herpes wajah dengan mengambil sampel DNA yang berasal dari gigi empat penderitanya di masa lalu.
Sampel itu terdiri dari lelaki dewasa yang hidup di pegunungan Ural, Rusia sekitar 1.500 tahun lalu, perempuan Inggris dari periode sama yang dikubur dekat Cambridge, jasad laki-laki di Cambridge yang meninggal 1.000 tahun kemudian, dan seorang perokok di Belanda yang kemungkinan tewas dalam serangan Prancis pada 1672.
Data genetik tertua yang telah diketahui sebelumnya berasal dari warga laki-laki di New York pada 1925. Namun, berdasarkan penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science Advances, tim ilmuwan melihat versi dominan HSV-1 sudah ada sejak 5.000 tahun lalu. Penyakit ini kemungkinan disebabkan oleh “munculnya praktik budaya baru, seperti ciuman romantis-seksual”. Dengan demikian, temuan ini memberikan gambaran lebih luas tentang garis waktu penyebaran HSV-1.
“Tampaknya ada yang berubah dari genom herpes itu sendiri, atau mungkin telah terjadi perubahan pada perilaku manusia dan penyebaran virusnya kala itu,” terang Christiana Scheib, peneliti utama dari St. John’s College, University of Cambridge, saat dihubungi VICE.
“Penularan herpes relatif stabil karena biasanya diturunkan dari orang tua,” imbuhnya. “Namun, ketika kamu memperkenalkan perilaku baru, seperti ciuman, maka bisa dipahami mengapa strain ini bisa mengungguli [jenis lainnya]. Tindakanmu mentransfer [virus] pada orang-orang selain keluarga dekat.”
Scheib menekankan temuannya perlu diteliti lebih dalam untuk memastikan benar tidaknya HSV-1 yang muncul 5.000 tahun lalu berasal dari ciuman. Timnya menyajikan beberapa referensi sejarah yang dapat menguatkan hubungan keduanya, seperti kitab suci Weda dari Asia Timur pada Zaman Perunggu dan larangan berciuman yang dikeluarkan oleh Kaisar Romawi Tiberius. Walaupun begitu, dia menegaskan ini bukan kebiasaan universal.
“Mungkin ada hal lain yang membuat strain lebih gampang menular, atau bisa juga karena terjadinya migrasi besar-besaran ke Eropa pada awal Zaman Perunggu. Bahkan virus ini bisa menular dari wadah minum dan bentuk kontak lainnya,” Scheib melanjutkan.
Sampel DNA ini mendukung temuan penelitian tahun 2020 yang memperkirakan asal-usul strain HSV-1, yang sekarang menginfeksi 3,7 miliar orang di seluruh dunia. Temuan tim Scheib berbeda dengan penelitian sebelumnya, yang mengatakan penularan herpes wajah berasal dari Afrika puluhan ribu tahun lalu. Penyakit ini memang sudah ada pada masa prasejarah, tapi penelitian terbaru mengusulkan strainnya berbeda dari yang ada sekarang.
Scheib berharap penelitian selanjutnya dapat menemukan asal-usul herpes wajah pada manusia—atau bahkan Neanderthal—yang hidup puluhan ribu tahun lalu. Membandingkan genom herpes kuno dengan strain yang lebih modern dapat membantu ilmuwan memetakan proses evolusi virus sepanjang sejarah manusia.