Sewaktu kecil dulu, psikolog Swiss Jean Piaget yakin pernah diculik di sebuah stasiun kereta bawah tanah. Dia bahkan dapat menunjukkan dengan tepat lokasi penculikannya. Namun, peristiwa itu tidak pernah terjadi. Dia baru sadar pada saat berusia 14, kenangan buruknya palsu.
Adalah hal lazim ketika seseorang mengingat sesuatu yang sebenarnya tidak ada dan terjadi kepada mereka, meski mungkin tidak seintens Piaget. Walaupun begitu, ingatan palsu berpotensi meninggalkan bahaya atau risiko. Berbagai ilmuwan telah menunjukkan bagaimana ingatan palsu yang ditanamkan melalui sugesti merajalela dalam sistem peradilan pidana, yang mengarah pada pengakuan dan tuduhan palsu.
Akan tetapi, masih ada harapan bagi kita untuk membersihkan ingatan kita. Dalam penelitian terbaru yang terbit akhir Maret di jurnal PNAS, sejumlah psikolog Inggris dan Jerman menunjukkan kemungkinan memutarbalikkan ingatan palsu.
Guru besar psikologi Universitas Hagen Aileen Oeberst menjelaskan, sebagian alasan ingatan kita mudah keliru atau terpecah yaitu isi dan sumbernya sering kali disimpan secara terpisah.
Hal ini “dapat menimbulkan ingatan tanpa sumber yang benar (misalnya pewawancara/orang tua/terapis), kebingungan sumber langsung atau bahkan kesalahan atribusi sumber (misalnya mengira mimpi atau cerita orang sebagai pengalaman pribadi),” Oeberst memberi tahu Motherboard lewat email.
Dalam upaya memutarbalikkan pengalaman semacam ini, tim yang dipimpin Oeberst memberi sugesti kepada 52 orang baru dewasa yang berpartisipasi secara sukarela untuk menanamkan ingatan palsu yang masuk akal. Dengan bantuan orang tua peserta, mereka diceritakan hal-hal seperti pernah mengalami kecelakaan mobil atau kabur dari rumah di masa lalu.
Selama tiga wawancara yang berlangsung dua minggu, peserta diminta mengingat masing-masing dua peristiwa asli dan palsu. Pada wawancara ketiga, hingga 56 persen peserta mengembangkan ingatan palsu seputar peristiwa yang diceritakan kepada mereka.
Begitu peserta memercayai ingatan palsu mereka, peneliti menggunakan dua metode untuk memutarbalikkan ingatan palsu yang telah ditanamkan. Metode pertama disebut “sensitisasi sumber” dan yang kedua “sensitisasi ingatan palsu”.
Pada dasarnya, kedua metode ini mengharuskan peneliti untuk mengingatkan peserta tentang ingatan yang salah. Dalam metode sensitisasi sumber, peserta diminta mengingat bahwa memori tak selamanya berasal dari pengalaman pribadi, melainkan juga muncul setelah melihat foto atau mendengar cerita orang lain.
Ketika menggunakan sensitisasi ingatan palsu, peneliti menjelaskan bahwa ingatan palsu kadang-kadang tercipta karena kita terlalu sering mengingat sesuatu—seperti yang mereka lakukan selama tiga kali wawancara. Setelah memorinya diputarbalikkan, peneliti melaporkan kepercayaan peserta akan ingatan palsu mereka turun hingga 15 persen saat diminta meninjau kembali ingatannya.
Terlepas dari kesuksesan percobaan ini, peneliti Hartmut Blank dari Universitas Portsmouth belum tahu pasti apakah metode yang sama dapat memulihkan ingatan palsu yang sudah lama dipercaya.
“Belum banyak penelitian yang mengkaji tentang reversibilitas ingatan yang terdistorsi,” Blank menerangkan melalui email. “Mungkin akan lebih sulit memutarbalikkan ingatan (palsu) yang telah dianggap benar untuk waktu yang lama.”
Oeberst menduga diperlukan fase pemutarbalikkan yang lebih panjang untuk kenangan lama seperti itu. Meskipun demikian, dia berharap metode-metode ini dapat meringankan beban mental orang-orang yang memercayai ingatan palsu. Dengan begini, mereka bisa mendapatkan kembali kendalinya atas kisah hidup mereka sendiri.