Sekitar seribu tahun lalu, bangsa Viking berlayar ke Greenland dan mendirikan permukiman di sana. Kondisi pulau di wilayah Amerika Utara itu kurang layak untuk dihuni. Matahari bahkan hampir tak pernah terbit selama musim dingin. Namun, mereka mampu bertahan melalui segala rintangan selama berabad-abad.
Peradaban itu menghilang secara misterius pada abad ke-15, hanya meninggalkan tulang belulang dan reruntuhan. Banyak ilmuwan menduga populasi Norse di Greenland mulai berkurang saat suhu di Bumi menurun untuk waktu yang cukup lama, periode yang biasa disebut “Zaman Es Kecil”.
Akan tetapi, asumsinya telah dibantah oleh Boyang Zhao, peneliti pascadoktoral Brown University di AS yang mempelajari hilangnya permukiman Viking di ujung selatan pulau tersebut. Bersama tim penelitinya, dia menunjukkan bukti bahwa “kekeringan berperan besar dalam rusaknya Permukiman Timur [sebutan untuk perkampungan bangsa Viking].” Temuan ini diuraikan dalam studi yang diterbitkan di jurnal Science Advances.
Penelitian terdahulu mendalami situs-situs peninggalan Norse ini berdasarkan catatan suhu dan iklim daerah yang berjarak hampir 1.000 kilometer jauhnya di utara Permukiman Timur, dan pada ketinggian yang lebih tinggi. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan Zhao dan rekan-rekan, mereka menggunakan data suhu dan hidroklimatologi di danau tepat di sebelah bekas lahan pertanian Norse. Data ini memberikan gambaran baru tentang sejarah iklim di sekitar permukiman tersebut.
“Kami mengunjungi lokasi tersebut karena ingin memberikan catatan sejarah iklim yang lebih rinci dan terkini dari wilayah ini. Kami ingin melihat apakah perubahan iklim ada kaitannya dengan kehancuran peradaban Viking,” terang Zhao ketika dihubungi melalui telepon. Dia melakukan penelitian saat mengejar gelar PhD geosains di University of Massachusetts Amherst.
Selama tiga tahun tim Zhao mengumpulkan sedimen dari Danau 578, yang bersebelahan dengan bekas lahan pertanian bangsa Norse. Hanya beberapa kilometer dari lokasi tersebut, terdapat perkampungan Qassiarsuk (Brattahlíð) yang dulunya dihuni oleh komunitas Norse terbesar di Greenland. Penjelajah Viking yang dijuluki Erik si Merah pernah menetap di sana.
“Kami yakin ada satu keluarga besar, atau mungkin 2-3 keluarga, yang tinggal di sini,” lanjut Zhao. “Mereka mungkin memanfaatkan air danau untuk minum atau bertani.”
Zhao dkk. menemukan sisa-sisa tanaman yang terkubur ribuan tahun lamanya di dasar danau yang menghidupi bangsa Viking Abad Pertengahan. Penemuan itu memberikan informasi seputar suhu dan hidrasi situs tersebut hingga 2.000 tahun lalu. Rupanya, Permukiman Timur tidak mengalami tingkat pendinginan yang sama seperti daerah-daerah sampel di bagian utara selama Zaman Es Kecil.
Meskipun begitu, tim peneliti menemukan bukti kekeringan sebelum hancurnya perkampungan bangsa Norse di daerah tersebut, yang bisa menjadi penjelasan bukti arkeologis sebelumnya yang mengusulkan perubahan pola makan penduduk dari hasil pertanian menjadi hewan laut.
“Kami tidak menemukan tanda-tanda Zaman Es Kecil di daerah ini,” Zhao menerangkan. “Tapi kami melihat tren kekeringan yang merugikan petani lokal. Tren ini sudah pasti mengubah hidup mereka.”
“Mereka sulit menanam rumput karena kondisinya semakin kering,” imbuhnya. “Mau tak mau mereka harus berburu ke laut untuk mencari makan.”
Zhao menekankan temuan terbaru tidak mengesampingkan kemungkinan adanya faktor lain yang menyebabkan hilangnya perkampungan bangsa Norse di Greenland. Studi ini membenarkan gagasan bahwa mereka menghadapi berbagai tantangan, seperti “perubahan iklim, kegagalan manajemen, ekonomi kolaps atau stratifikasi sosial.” Namun, bukti lapangan menyiratkan kekeringan berperan besar dalam kehancuran koloni-koloni terpencil itu.
Menariknya lagi, selain memberikan wawasan baru tentang peradaban Viking di Greenland, penelitian ini juga mengungkapkan fenomena serupa, bahwa masyarakat di ujung selatan Greenland lagi-lagi dilanda kekeringan. Zhao mengatakan, dinamika atmosfer dan lautan yang kompleks di wilayah ini mempersulit kita untuk memisahkan perubahan iklim akibat ulah manusia sebagai pendorong kekeringan yang semakin sering terjadi sepanjang satu dekade terakhir. Namun, hal itu memberikan hubungan yang menarik antara kehidupan masyarakat Greenland di masa lalu dan masa sekarang.