Sekelompok tim peneliti di Jepang berhasil menciptakan potongan daging wagyu yang cocok untuk sajian steak, lewat printer 3 Dimensi. Metode produksi daging sintetis ini, menurut salah satu ilmuwan yang terlibat, bisa menjadi alternatif pasokan daging yang lebih ramah lingkungan di masa mendatang.
“Kami menjajal produksi wagyu sintetis sebagai permulaan, karena ini daging yang menjadi salah satu simbol kuliner Jepang,” kata Michiya Matsusaki, guru besar ilmu Kimia Terapan di Osaka University, yang turut terlibat penelitian ini, saat dihubungi VICE World News. “Dengan teknologi 3D printing, kami tetap bisa mempertahankan tekstur daging dengan marble, seperti wagyu biasa, tapi prosesnya lebih berkelanjutan.”
Marble, bagi pembaca yang awam, adalah jaringan lemak intraotot berwujud guratan putih di daging sapi. Lemak di antara daging itulah yang membuat daging terasa lezat ketika jadi steak. Wagyu menjadi salah satu jenis daging termahal di pasaran, karena kualitas marble-nya tinggi. Matsusaki dkk mengaku lemak sintetis yang mereka hasilkan lewat 3D printing bahkan bisa diatur ketebalan ataupun intensitasnya.
Eksperimen tim ilmuwan di Jepang ini sebetulnya merespons permintaan pasar penikmat daging yang makin sadar lingkungan. Industri daging secara global merupakan salah satu penyumbang emisi karbon, yang memicu perubahan iklim. Sebanyak 14,5 persen emisi karbon di Planet Bumi berasal dari rantai pasok industri peternakan, merujuk data dari Badan Pengelolaan Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Matsusaki mengklaim, teknologi 3D Printing ini, jika bisa diaplikasikan secara massal, akan menurunkan kebutuhan daging sapi riil. Sebab, untuk menghasilkan wagyu sintetis, ilmuwan hanya butuh beberapa sel punca dari seekor sapi, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut di laboratorium.
Ada dua sel punca yang mereka pakai, keduanya berasal dari pipi seekor sapi. Sel pertama jenis satelit mendorong pertumbuhan otot dan daging merah, sementara sel punca kedua adalah adipose, untuk menciptakan lapisan lemak.
Hasil ekstraksi kedua sel tadi digabungkan dengan kolagen, menghasilkan lapisan daging yang wujudnya sudah mirip daging betulan. Lapisan-lapisan tersebut kemudian “dijahit”, menggunakan printer 3D, untuk menjadi satu porsi daging yang menyerupai aslinya.
Kelak, jika teknologi yang mereka kembangkan semakin maju, Matsusaki meyakini pembeli bisa memesan ketebalan lemak dan daging sesuai kemauan mereka. “Sehingga, siapapun bisa menentukan, “oh aku hari ini ingin makan wagyu yang rendah lemak’, atau ‘ah, aku ingin wagyuku berlemak banget’,” ujarnya.
Akan tetapi proses menuju produksi massal masih sangat panjang. Daging dari printer 3D ini seporsinya butuh biaya hingga 100 ribu Yen (setara Rp12,3 juta). Sebagai perbandingan, seporsi wagyu kualitas terbaik harganya Rp2,8 juta per 500 gram.
Selain itu, daging yang mereka hasilkan masih belum siap santap. Matsusaki mengakui ada lapisan lem dan serum pengembang sel yang tidak aman dikonsumsi, sehingga daging hasil printer 3D ini belum bisa dimasak jadi steak. Kualitas rasanya pun jadi pertanyaan, tapi tim yang dia pimpin mengklaim pada akhir 2021, daging dari printer 3D tersebut bakal mulai bisa dimasak.
Tim Matsusaki menargetkan, daging sintetis ini siap masuk fase produksi massal pada 2025. Dia pun mengaku siap jadi pencicip pertama kali.
“Tim kami mungkin akan menggelar uji coba makan-makan ketika eksperimen tersebut sukses,” tandasnya.
Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.