Penelitian terbaru mengungkap sedikitnya 47.000 hewan liar dijual di berbagai pasar Wuhan sebelum pandemi, menambah panjang perdebatan sengit tentang asal-usul COVID-19.
Penelitian ini menambah wawasan kita tentang keadaan di tempat manusia pertama kali tertular pada akhir 2019. Temuannya memberikan gambaran paling rinci tentang perdagangan hewan liar yang diyakini dapat menyebarkan virus ke manusia.
38 spesies mamalia, reptil dan burung dijual di empat pasar hewan di Wuhan sepanjang Mei 2017 – November 2019. Beberapa di antaranya adalah anjing rakun, musang dan cerpelai, yang sebelumnya disebut bisa jadi inang perantara antara kelelawar dan manusia.
Laporan ilmiah tersebut diterbitkan pada 7 Juni oleh para peneliti yang berafiliasi dengan China West Normal University, University of Oxford dan University of British Columbia dalam jurnal yang ditinjau sejawat Scientific Reports. Mereka melakukan survei bulanan terhadap 17 toko hewan liar di Wuhan untuk mencari sumber hewan potensial dari patogen yang tidak terkait dengan virus corona jenis baru.
Mereka belum menemukan mata rantai yang hilang antara kelelawar, yang diyakini sebagai asal-usul SARS-CoV-2, dan manusia. SARS-CoV-2 adalah nama virus penyebab COVID-19.
Wuhan jauh dari habitat alami kelelawar, sehingga tidak mungkin menularkan langsung ke manusia. Penelitian itu juga membuktikan tidak ada kelelawar di pasar Wuhan yang disurvei, termasuk pasar ikan Huanan.
Kolaborasi antara WHO dan Tiongkok awal tahun ini menduga virus corona melompat dari inang perantara dalam peristiwa limpahan alami, meski ketua WHO menganggap semua hipotesis masih harus didiskusikan.
Beberapa ahli virologi menyebut studi sebagai bukti lebih lanjut bahwa hewan yang mampu membawa SARS-CoV-2 secara aktif diperdagangkan di pasar kotor, dan dapat menularkannya ke manusia yang pada akhirnya memicu krisis kesehatan di seluruh dunia.
Yang lain, terutama yang percaya virusnya bocor dari laboratorium Wuhan, berpendapat penelitian tersebut mengesampingkan trenggiling sebagai inang perantara virus karena peneliti tidak menemukan hewan tersebut di pasar.
Angela Rasmussen, ahli virus dari University of Saskatchewan di Kanada yang tidak terlibat dalam studi ini, mengatakan penelitiannya memperkuat kemungkinan kemunculan alami SARS-CoV-2 dengan menunjukkan keberadaan beberapa hewan yang rentan terhadap virus corona jenis baru di Wuhan.
“[Penelitiannya] memasukkan hewan di Wuhan dan membuat hipotesis yang menarik,” Rasmussen memberi tahu VICE World News. Walaupun begitu, dia berujar itu “bukan bukti”.
“Untuk memberikan bukti, kita harus benar-benar mengurutkan dan mengisolasi virus yang sangat mirip dengan SARS-CoV-2 dari salah satu hewan ini.”
Sebelumnya, laporan tim WHO-Tiongkok hanya mengidentifikasi ular, salamander dan buaya di pasar Huanan, yang mana 28 persen pasien awal COVID-19 dikonfirmasi terpapar. Media sebelumnya melaporkan pasar menjual hewan hidup, tapi tim WHO-Tiongkok menyatakan laporannya tidak dapat diverifikasi. Mereka mengutip otoritas setempat bahwa pasar tidak memperdagangkan satwa secara ilegal, tapi studi terbaru menegaskan klaim itu salah.
Rasmussen menganjurkan pelacakan sumber hewan, mengambil sampel hewan liar yang didistribusikan ke seantero Tiongkok, dan menyaring virus terkait untuk langkah selanjutnya.
“Terlepas dari keadaan ketika virus jenis baru muncul, kita tak selalu langsung mengetahui asalnya, dan terkadang tidak dapat menemukannya sama sekali,” tuturnya.
Penelitian itu juga menemukan masalah kebersihan dan kesejahteraan hewan yang signifikan di pasar-pasar Wuhan. Menurut studi, beberapa spesies mamalia menderita luka tembak atau jebakan, menunjukkan kemungkinan diperoleh secara ilegal. Tujuh dari 17 toko yang disurvei berlokasi di pasar Huanan.
“Hampir semua hewan dijual hidup-hidup, dikurung, ditumpuk dan dalam kondisi buruk,” bunyi penelitiannya. “Sebagian besar toko menyediakan jasa penyembelihan di tempat, dengan implikasi yang cukup besar untuk kebersihan makanan dan kesejahteraan hewan.”
Ketersediaan hewan, banyak di antaranya spesies yang dilindungi, juga menunjukkan kelalaian penegak hukum Tiongkok dalam mengatur perdagangan satwa liar sebelum pandemi, bahkan setelah dikaitkan dengan wabah SARS pada awal 2000-an. SARS juga disebabkan oleh virus corona.
Pemerintah Tiongkok telah menindak keras perdagangan dan konsumsi hewan liar sejak awal pandemi.
Sejumlah ilmuwan mengatakan, daftar hewan liar yang dijual di Wuhan tak banyak membantu pelacakan asal-usul virus corona.
Roger Frutos, yang mendalami penyakit menular di University of Montpellier Prancis, menyampaikan virus corona kemungkinan telah berputar dan berkembang dalam populasi manusia jauh sebelum wabah COVID-19 pertama kali dilaporkan di Wuhan.
“Penyakitnya memang ditemukan di Wuhan, tapi bukan berarti infeksi pertamanya terjadi di sana,” tegas Frutos, yang tidak terlibat dalam penelitian.
“Virusnya bisa saja berasal dari orang lain di Tiongkok atau luar negeri,” lanjutnya.
Sebelumnya, tim WHO-Tiongkok mengatakan tidak dapat menarik kesimpulan apakah pasar Huanan terkait dengan wabah awal atau tidak, mengingat 45 persen dari kasus awal yang diketahui tidak ada hubungannya sama sekali dengan pasar. Menurut mereka, kasus ringan dan tanpa gejala yang tak terdeteksi mungkin berhubungan dengan kasus Huanan dan pasar lain. Laporan tersebut merekomendasikan pengujian sampel darah yang sebelumnya dikumpulkan di Wuhan dan luar Tiongkok untuk mencari tanda-tanda potensi penularan virus sebelum kasus paling awal diketahui.
Sejumlah ilmuwan telah menyerukan penyelidikan yang lebih menyeluruh terhadap kemungkinan pandemi disebabkan oleh kebocoran lab, skenario yang disebut “sangat tidak mungkin” oleh tim WHO-Tiongkok. Pada Mei, 18 ilmuwan menerbitkan surat dalam jurnal Science yang meminta agar hipotesis kebocoran alami dan lab lebih didalami lagi.
Pada bulan itu juga, presiden AS Joe Biden memerintahkan badan-badan intelijen untuk mengerjakan laporan asal-usul COVID-19 dalam kurun waktu 90 hari. Laporannya difokuskan pada kemungkinan kebocoran, mengutip penilaian yang bertentangan di antara para pejabat intelijen AS.
Akan tetapi, Frutos menganggap mencari hewan penyebab pandemi bisa menjadi upaya yang sia-sia. Menurutnya, dibutuhkan lebih banyak sumber daya untuk menyelidiki faktor-faktor sosial, seperti pertemuan sosial atau politik, yang membuat wabah meledak jadi pandemi.
Pemerintah Tiongkok dikritik habis-habisan karena berusaha menutupi tanda awal wabah di Wuhan, dan mengizinkan acara besar selama beberapa minggu setelah kasus pneumonia misterius dilaporkan di kota itu.
“Kita harus lebih fokus pada penyebaran virus yang awalnya dari beberapa orang saja menjadi banyak yang tertular.”
Follow Viola Zhou dan Alan Wong di Twitter.