Berita  

Ide Santet Koruptor Merespons Vonis Ringan Juliari Batubara Ternyata Bukan Hal Baru

ide-santet-koruptor-merespons-vonis-ringan-juliari-batubara-ternyata-bukan-hal-baru

Publik sedang geregetan. Mantan Menteri Sosial dan terdakwa maling bansos Covid-10, Juliari Pieter Batubara, hanya dihukum 12 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Senin (23/8). Hukuman itu lebih berat setahun dari tuntutan jaksa yang minta 11 tahun penjara.

Hukuman yang terlalu kecil ini akibat KPK memakai UU Tipikor Pasal 12 b tentang suap (ancaman hukuman 4-20 tahun penjara) alih-alih Pasal 2 tentang memperkaya diri sendiri (ancaman hukuman 20 tahun atau hukuman mati).


Sejak sidang tuntutan, kasus Juliari memang sudah bikin dongkol publik. Tuntutan memakai pasal suap tersebut dianggap sebagai gelagat KPK yang lain di mulut lain di tindakan. Cukup tahu saja, Desember tahun lalu sewaktu Juliari ditangkap, Ketua KPK Firli Bahuri sesumbar bahwa Juliari bisa dituntut hukuman mati.

Bukan cuma vonisnya yang santai bikin publik muntab. Alasan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta mengapa meringankan vonis Juliari sama bikin sakit hatinya. Menurut majelis hakim, hal yang meringankan terdakwa dalam kasus ini adalah hukuman sosial yang sudah diberikan masyarakat kepada terdakwa selama kasus berlangsung.

Iya, cacian, makian, dan hinaan publik, termasuk trending topic “Juliari Kontol” di Twitter beberapa pekan lalu dianggap hakim cukup bikin Juliari menderita sehingga hukuman pidananya wajar dikurangi. Dengan penuh rasa hormat, saya enggak mau mengerdilkan ilmu hukum para hakim yang bisa bikin kesimpulan demikian, tapi yang bener aja dong.

Kalau emang pengin bikin-bikin alasan, kasih kami akal-akalan yang lebih meyakinkan dikit. Saya kasih contoh: keringanan patut diberikan karena dari caci-maki netizen, Juliari tidak bisa kembali bersinar dan berpijar seperti dulu kala. Meski bakal tetap diprotes warga, seenggaknya kita jadi bisa nyanyi bareng Pak Hakim dengan semua tangan di atas. Kalian luar biasaaahhh!!!

Di antara berbagai respons di media sosial, lembaga pemantau siaran Remotivi mengampanyekan untuk mengganti sebutan koruptor menjadi maling….

… di sudut lain, netizen yang geregetan mulai membicarakan alternatif hukuman yang lebih memberi rasa keadilan dan dianggap khas Indonesia, yakni menggunakan ilmu hitam untuk mengirim santet, teluh, you name it. Ilmu ini emang dipercaya bisa mencelakai orang lain hanya bermodal foto, boneka, atau rambut korban lewat bantuan makhluk gaib. Siapa tahu kan, masalah manusia ternyata solusinya adalah bukan manusia.

Sebelum kasus maling Juliari, warganet sebenarnya sudah akrab dengan gagasan menyantet koruptor. Misalnya saat pendirian Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu) Indonesia di Banyuwangi, Jawa Timur, viral awal tahun ini, banyak warganet mengirim harapan agar paguyuban ini bisa menyatukan ilmu para dukun untuk mengirimkan santet kepada para koruptor.

Dalam praktiknya, ancaman santet adalah bagian dinamika dunia politik dan hukum sejak dulu. Tapi jika merujuk arsip berita, korban ancaman klenik ini justru kebanyakan dari pihak yang berperan aktif menegakkan hukum. Misal klaim santet ke Gedung KPK, ke mantan Kapolri legendaris Jenderal Hoegeng, eks Menteri KKP Susi Pudjiastuti, dan mantan hakim agung Artidjo Alkostar

“Tapi santetnya tidak mempan. Darah Madura juga memungkinkan saya untuk tidak takut terhadap ancaman,” seloroh Artidjo, dikutip Tempo, tiga tahun lalu.

Jadi apakah kita bisa beralih dari ilmu hukum ke ilmu hitam untuk menegakkan keadilan? Sayangnya enggak. Harapan ini harus kita pupuskan karena beberapa alasan. Pertama, akademisi Universitas Jember yang meneliti seluk-beluk santet di masyarakat adat Osing di Banyuwangi mengatakan kurang tepat apabila santet kerap dikaitkan sebagai tindakan menyakiti.

Dalam kehidupan masyarakat Osing, santet bisa jadi pengasihan atau cinta kasih. Heru menjelaskan ada empat ilmu dalam budaya masyarakat Banyuwangi: hitam, merah, kuning, dan putih. Santet berada di kelompok merah dan kuning. 

“Dalam konteks masyarakat Banyuwangi, kita tidak boleh menilai ini selalu jelek. Ada satu perspektif yang dalam konteks masyarakat lokal, ini untuk sarana membangun keluarga. Misalnya, jika laki-laki atau perempuan tidak ‘laku-laku’,” kata Heru, dilansir VOA Indonesia.

Alasan kedua, kalaupun publik bersikukuh meminta bantuan spiritual untuk bikin koruptor jera, baiknya kita berpikir kritis sedari awal: bukankah para politisi korup itu udah punya “pelindung” masing-masing dari serangan gaib?

Ketua Presidium Jaringan Aktivis Reformasi Indonesia (Jari) 98 Willy Prakarsa bahkan dengan percaya diri menyatakan banyak politisi yang mengirim guna-guna ke Presiden Joko Widodo agar terpilih jadi menteri. Waduh, dukunnya para politisi pasti dukun elite. Dukun kiriman hasil patungan warga belum tentu efektif. Hi, seram.

Lebih seram lagi jika dukun yang publik mintai tolong untuk menyantet koruptor ternyata ditawar lebih tinggi oleh orang yang harusnya ia target. Tuh kan, semua kalah oleh uang. Harapan terakhir kita tinggal di pundak Eren Jaeger. Sasageyo!!!