Berita  

Humor Gelap KPK: Eks Napi Tipikor Bisa Jadi Penyuluh, Titelnya ‘Penyintas Korupsi’

humor-gelap-kpk:-eks-napi-tipikor-bisa-jadi-penyuluh,-titelnya-‘penyintas-korupsi’

Barangkali inilah akibatnya jika lembaga sebesar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak punya juru bicara tetap. Jika saja KPK sudah mendapat pengganti Febri Diansyah yang mengundurkan diri September tahun lalu, bukannya menggunakan tenaga pelaksana tugas seperti sekarang, mungkin blunder komunikasi publik KPK hari ini bisa diantisipasi.

Habis gimana ya, masak sekelas deputi bisa berinisiatif menggelari eks napi tindak pidana korupsi sebagai “penyintas korupsi” dan bahkan menyatakan lembaganya berniat menjadikan para alumni pencuri uang negara sebagai penyuluh antikorupsi.


Gagasan tersebut disampaikan Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana di Lapas Sukamiskin, Bandung, pada Rabu (31/3). Konteksnya, Wawan sedang bicara di depan para 25 napi tipikor yang dapet jatah program asimilasi dan sebentar lagi bakal bebas. Dia menjelaskan bahwa ketika sudah bebas kelak, para mantan napi ini masih punya tugas moral mengampanyekan antikorupsi dengan cara (((berbagi pengalaman))).

“Dan kebetulan mereka [mantan napi tipikor] punya pengalaman, katakanlah sebagai penyintas korupsi. Sehingga diharapkan dengan pengalaman yang mereka dapatkan itu bisa di-sharing kepada masyarakat yang lain, calon yang [ingin korupsi] tidak jadi punya niat,” terang Wawan dikutip Kumparan.

Semoga kelak ada klarifikasi dari KPK bahwa ujaran Wawan tadi berniat satire saja. Sebab ide tersebut sudah lucu sejak dalam pikiran. Jika pembaca VICE bertanya-tanya di mana letak humornya, UU 30/2002 yang menjadi dasar hukum pembentukan KPK terang menyebut tipikor sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Jadi kedudukan kejahatan korupsi sama dengan pembantaian manusia. Nah, sekarang bayangkan jika napi genosida dikasih panggung untuk bicara tentang perang melawan genosida.

Kita jelas bisa bilang ide KPK jadikan eks napi sebagai penyuluh bukan hal baru. Ingat jaman duta-dutaan sekitar awal 2000-an sampai tahun dua ribu belasan? Jelas menyalahi logika reward and punishment, gaya memberi panggung pada pelanggar hukum sempat tren di masa itu.

Misalnya aktor Roy Marten yang dijadikan duta antinarkoba setelah terjerat kasus narkoba dan penyanyi Dewi Perssik yang hendak dijadikan duta tertib busway setelah menerobos jalur busway. Preseden Roy bahkan menginspirasi musisi Fariz RM yang Ketika terlilit kasus narkoba, menyatakan ingin jadi duta narkoba juga. Tren ini juga membuat orang sulit melupakan kontradiksinya. Belakangan, setelah sempat jadi duta antinarkoba itu, Roy ditangkap kembali karena kasus yang sama. Bah.

Pemakaian istilah penyintas korupsi juga tak kalah kocak karena istilah ini identik disematkan kepada korban. Jadi, meski pemakaian istilah penyintas korupsi kayak sambil lalu aja tercetus dari Pak Deputi Wawan, sebenarnya ia sedang membuat dekonstruksi pada makna besar-besaran.

Bayangkan kelak jika penyintas beneran jadi kontranim alias kata yang memiliki dua arti bertentangan. Nantinya, pelaku pembunuhan bisa disebut penyintas pembunuhan, Komnas Perempuan akan bingung siapa yang berhak disebut penyintas pemerkosaan, dan wartawan akan mulai menulis tsunami sebagai penyintas bencana alam.

Tapi anggaplah ide absurd KPK ini bermotif baik dan masih mungkin diarahkan jadi tepat sasaran. Mungkin ada pentingnya mengembalikan citra lama bahwa kita bangsa yang ramah dan pemaaf (no debat, Microsoft). Mungkin tidak apa-apa orang yang sudah memiskinkan negara diberi panggung dan dikasih engagement biar bisa nyalon lagi jadi anggota DPR. Dengan sejumlah syarat dan ketentuan, VICE menilai inisiatif KPK di atas masih layak diuji coba.

Syarat pertama: mengoreksi istilah penyintas korupsi menjadi penyintas antikorupsi. Alasannya, penyintas korupsi lebih cocok dijadikan sebutan untuk seluruh masyarakat Indonesia yang masih aja semangat kerja dan bayar pajak meski bolak-balik menonton pejabat negara dicokok karena memperkaya diri.

Dengan memakai titel penyintas antikorupsi, kata yang terdengar tetap indah karena ada penyintas-nya, sekaligus tak ada makna yang dipelesetkan. Penyintas antikorupsi bisa didefinisikan kira-kira sebagai orang yang meski sudah pernah jadi “korban” operasi antikorupsi, mereka masih tetap bertahan hidup dengan bangga, masih punya harga diri, dan yang terpenting: tidak miskin-miskin juga. Inspiratif, bukan. 

Syarat kedua: penyuluhan antikorupsi yang dilakukan eks napi tipikor dilakukan dengan format bisa roleplay, bisa juga dramatic reading. Nantinya, peran maupun dialog yang dimainkan harus diatur sedramatis mungkin, menggambarkan penderitaan napi tipikor yang begitu dahsyat di penjara. Kalau bisa bahkan naskahnya dikomikkan dengan menggunakan gaya tutur komik Siksa Neraka.

Dua syarat itu kami usulkan bukan tanpa alasan logis. Nyatanya, kalau eks napi korupsi disuruh menceritakan pengalaman mereka apa adanya, yang ada justru orang bersemangat korupsi dong. Sebab kita sudah tahu dari Mata Najwa, di penjara hidup tetap bisa enak dan mewah, dengan fasilitas setara kos eksklusif.

Bahkan kadang masih bisa pelesir keluar sel buat nyari nasi padang kesukaan atau shopping random ke toko bangunan. Ingat, level kemiskinan orang Indonesia sudah membuat banyak orang sini lebih suka hidup terkurung tapi makan minum lengkap. Buktinya ada lho yang pengin dikarantina di Wisma Atlet karena (((makanannya enak))). 

Cukup dua syarat itu sih jika KPK mau memaksakan diri mengeksekusi ide mereka. Walau ya, kami pikir sih mending dibatalin aja deh daripada kehilangan respek dari masyarakat.

Gimanapun, profesi penyuluh/pembicara itu masih dipandang terhormat. Tanya aja panitia seminar kampus, kalau peserta snacknya Rp15 ribuan, untuk pembicara minimal Rp50 ribu lah. Saat peserta minumnya Aqua gelas, pembicara kudu yang botolan. Kalau peserta datang kudu bayar, pembicara malah dibayar. Btw, wacana ini kalau diterusin analoginya kok malah bikin kesel ya….