“Sudah punya pacar belum?”
“Pacarnya mana?”
Pertanyaan semacam itulah yang sering dilontarkan kepadaku setiap kali ada acara kumpul keluarga. Sebagai anak perempuan keturunan Iran dan Thailand, aku harus siap mengantisipasinya, apalagi sudah saatnya bagiku untuk menikah. Usiaku telah menginjak 28 tahun, tapi aku belum juga menemukan jodoh. Pacar pun tidak ada. Aku sadar keluarga khawatir. Aku sendiri juga khawatir. Tapi sejujurnya, aku tak perlu diingatkan bahwa sebentar lagi aku melewati usia ideal untuk menikah.
Aku mulai mendambakan kehadiran momongan sekitar tiga tahun lalu, saat aku berusia 25 — usia rata-rata perkawinan untuk perempuan. Seorang balita imut yang belajar bahasa Inggris denganku menumbuhkan rasa kasih sayang terhadap anak-anak yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Aku pun membayangkan betapa bahagianya diriku jika bisa punya anak di awal usia 30-an. Akan tetapi, melihat kondisiku sekarang yang masih melajang, impian ini terasa semakin sulit digapai.
Berdasarkan pengalamanku tinggal di Bangkok selama empat tahun terakhir, sama sekali tidak mudah mencari pasangan di sini. Ada perbedaan bahasa dan budaya jika berpacaran dengan orang asli Thailand, sedangkan warga asing hanya tinggal untuk sementara waktu di sini dan mereka biasanya tidak tertarik menjalin hubungan serius. Sangat sulit bagiku menemukan orang yang benar-benar cocok denganku.
Di sisi lain, aku juga masih ingin mengejar semua impianku—karier cemerlang, mempelajari hal baru dan keliling dunia. Tanpa sadar, aku sering membandingkan diri dengan para laki-laki sebayaku. Mereka juga sudah memasuki usia ideal perkawinan, tapi entah kenapa mereka terlihat lebih menikmati hidup. Mereka seperti tidak perlu terburu-buru mendapatkan pasangan.
Memang, ada banyak alasan yang mendasari ini, tapi tentunya usia subur berperan besar di sini.
Kesuburan laki-laki berlangsung lebih lama daripada perempuan, dan mereka tidak menghadapi tekanan yang sama seperti lawan jenis. Mereka bisa fokus membangun kehidupan mapan sebelum berkeluarga, sedangkan perempuan dituntut cepat menikah saat masih berada dalam usia reproduksi ideal yakni usia 20-an. Kesuburan perempuan akan menurun seiring bertambahnya umur, dan peluang untuk hamil semakin kecil begitu usianya mencapai pertengahan 30-an hingga 45 tahun. Perbedaan mencolok ini memiliki konsekuensi sosial yang dramatis.
Sementara laki-laki jauh lebih santai merencanakan masa depan mereka, aku sebagai perempuan selalu dirundung rasa gelisah setiap umurku bertambah tua. Usiaku masih jauh dari angka 45, tapi seperti sudah dikejar-kejar sesuatu — bahwa aku harus segera menjalani hidup layaknya perempuan pada umumnya. Hanya saja rasanya aku sudah jauh tertinggal.
Aku punya pekerjaan, tapi masih ada sejuta hal lain yang tidak aku miliki. Aku tidak punya rumah pribadi, atau tabungan yang menjamin masa depan. Gaji bulananku juga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau ingin cepat punya anak, aku harus menikah, yang berarti aku seharusnya sudah punya calon suami sekarang.
Perempuan berada di bawah tekanan yang lebih besar untuk menjadi sosok yang bertanggung jawab dan sukses begitu menginjak usia 30-an. Sejak kecil, kita para perempuan diajarkan bahwa kita dapat memiliki segalanya. Katanya kita bisa memiliki karier yang cemerlang tanpa melupakan tanggung jawab sebagai seorang ibu. Namun, tak ada satu pun yang mempersiapkan kita untuk bisa melangkah sampai ke sana. Dan kalau pun kamu berhasil memenuhi semua itu, tidak ada jaminan kamu akan sukses atau bahagia dengan hidup yang dijalani.
Sekitar 1,5 tahun lagi, aku akan memasuki usia 30-an. Aku ingin sekali memencet tombol pause, tapi sayangnya tidak bisa. Roda kehidupan terus berjalan. Oleh karenanya, yang bisa kulakukan sekarang yaitu mematahkan semua ekspektasi dan mengubah perspektif. Aku masih ingin mengembangkan karier, tapi setidaknya sekarang aku punya pekerjaan. Aku mungkin belum punya pacar, tapi setidaknya aku dikelilingi teman-teman yang menyayangiku. Aku mungkin belum bisa punya anak di awal usia 30-an, tapi aku harap bisa mempersiapkan diri untuk menjadi sosok ibu yang lebih baik bagi anak-anakku nantinya.
Aku pernah membaca postingan Facebook kenalan yang menceritakan pengalaman dibesarkan ibu yang usianya lebih tua. Dia menjadikan kebijaksanaan ibunya yang “sangat dalam” lantaran menikmati hidup lebih lama, serta kemampuan ibu menghadapi situasi sulit secara positif sebagai motivasi hidupnya. Meski ibunya sudah tua dan mudah sakit-sakitan, sifat-sifat inilah yang menginspirasinya untuk terus mengejar mimpi.
Aku juga sering membaca artikel tentang para ibu yang memiliki pandangan hidup lebih santai daripada saat mereka masih muda. Hal ini melatih mereka untuk selalu berkepala dingin saat anak mengamuk atau sakit. Mereka telah melalui situasi yang cukup sulit, dan kini menyadari semua akan baik-baik saja pada akhirnya. Dan aku yakin, aku akan baik-baik saja nanti.
Follow Tara Abhasakun di Twitter dan Instagram.