Pada September 2015, dua orang laki-laki janjian bertemu pada sore hari di sebuah kawasan industri Singapura. Mereka habis bertransaksi dan hendak mengambil paket yang dibeli. Pada jam yang telah ditentukan, keduanya berhenti sejenak di lokasi janjian. Seorang lelaki melempar bungkusan merah ke dalam kendaraan sang penerima, lalu mereka pergi ke tujuannya masing-masing. Tanpa disadari, polisi mengamati tindak tanduk mereka dari kejauhan. Malam harinya, kedua orang itu ditangkap atas dugaan pengedaran narkoba setelah polisi menemukan paket berisi dua kilo ganja di kendaraan.
Sebagai penerima paket, Raj Kumar Aiyachami bersikeras tidak bersalah selama persidangan. Dia mengaku hanya membeli tembakau cap “Butterfly”, ganja sintetis yang terbuat dari campuran bahan kimia, tapi barang yang diterima justru ganja sungguhan.
Hakim tidak memercayai kesaksian Raj, dan memvonisnya dengan hukuman mati pada 2020. Sementara itu, Ramadass Punnusamy yang juga terlibat dalam transaksi ini dan ditangkap di perbatasan Singapura-Malaysia, dijatuhi hukuman seumur hidup dan 15 hukuman cambuk.
Namun, mukjizat datang ke pangkuan mereka pada Jumat (27/5) pekan lalu. Keduanya kini bisa bernapas lega setelah dibebaskan oleh Pengadilan Banding Singapura. Tak disangka-sangka, pertemuan Raj dengan seorang tahanan menjadi penyelamat hidupnya.
Sebelum dijatuhi hukuman mati, Raj berkenalan dengan Mark Kalaivanan Tamilarasan pada 2017, saat mereka menikmati waktu rehat selama satu jam setiap harinya. Suatu hari, ketika Raj bercerita tentang penangkapannya, Mark memberi tahu kalau dia berada di lokasi yang sama pada hari yang sama dengan Raj. Dia hendak mengambil paket ganja kala itu, tapi malah menerima sebungkus tembakau cap “butterfly”. Kisah Mark semakin memperkuat kesaksian Raj bahwa dia salah menerima paket.
Menurut keterangan pengadilan, Mark yakin paket mereka tertukar pada 21 September karena hamster kesayangannya, Patrick, mati di tanggal tersebut. Untuk mengenang kematian hewan peliharaan, dia menato jari tengah kirinya dengan “RIP 21.9.15 PAT” beberapa hari kemudian.
Jaksa awalnya skeptis dengan semua kebetulan ini, sehingga pengadilan memutuskan pada 2020, keduanya memanfaatkan “kesempatan yang ada untuk bersekongkol dan mengarang cerita” sejak berbagi sel pada 2018.
Namun, putusan pengadilan dibatalkan pada Jumat, setelah Ketua Mahkamah Agung Singapura Sundaresh Menon menyatakan kesaksian Mark seharusnya tetap dipertimbangkan.
“Mark secara efektif menunjukkan keterlibatannya dalam pelanggaran yang sangat serius. Pada saat itu, dia memberikan bukti atas tuduhan yang belum dijatuhkan padanya,” terang Menon. “Kalau memang ceritanya palsu, tak ada untungnya juga dia membuat pengakuan ini. Yang ada dia hanya merugikan diri sendiri.”
Pengacara Raj, Ramesh Tiwary, melihat kesaksian Mark sebagai suatu “keberuntungan”.
“Tanpa bukti itu, akan sulit bagi kami [untuk membatalkan hukuman mati yang diterima Raj],” ungkapnya, lalu menambahkan peristiwa kebetulan ini menyoroti pentingnya peran pengadilan memberikan proses hukum yang adil kepada para terdakwa sebelum menetapkan hukuman seberat eksekusi mati.
“Meski telah menerapkan prinsip hukum yang benar sekalipun, terkadang dua orang yang melihat fakta sama bisa memiliki kesimpulan berbeda.”
Kirsten Han aktif memperjuangkan penghapusan hukuman mati di Singapura bersama Transformative Justice Collective. Dia “lega” mendengar pengadilan mencabut hukuman mati yang sebelumnya mengancam Raj.
“Benar-benar sebuah kebetulan Raj dan Mark bisa bertemu dan menyadari mereka berada di lokasi yang sama pada hari yang sama,” kata Han saat dihubungi VICE World News. “Rasanya sungguh menakutkan jika memikirkan apa yang mungkin akan terjadi kepada Raj tanpa kesaksian Mark.”
Singapura diketahui memiliki undang-undang narkoba paling ketat di dunia. Ada ancaman hukuman mati bagi orang yang tertangkap mengedarkan 500 gram ganja. Namun, pelaksanaan hukuman mati di Singapura semakin menjadi sorotan selama setahun terakhir, di tengah meningkatnya gerakan yang menuntut dihentikannya penggunaan hukuman tersebut. Tahun ini, lelaki berkebutuhan khusus asal Malaysia, yang tingkat intelektualnya di bawah rata-rata, dieksekusi mati karena terbukti menyelundupkan kurang dari 43 gram heroin ke Singapura. Putusan pengadilan menimbulkan berbagai kecaman baik dari dalam maupun luar negeri.
Han mengatakan, pencabutan hukuman Raj tak berarti negara mulai melunak soal hukuman mati. Namun, kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan hukuman berat semacam itu untuk pelanggaran narkoba.
“Saya tidak melihatnya sebagai tanda negara mulai melonggarkan hukuman mati; keadaan kasus ini cukup luar biasa,” Han menjelaskan. “Tapi memang, ini menunjukkan undang-undang narkoba Singapura bukanlah fakta kehidupan yang pasti. Ini buatan manusia.”
“Dengan adanya hukuman mati, hidup matinya seseorang bergantung pada keputusan seperti itu.”
Sementara Raj lolos dari hukuman mati, nasib Mark masih belum pasti. Mark bersaksi kenalannya akan memberi 100 gram ganja gratis kalau dia mau mengambilkan paketnya. Selain itu, juga belum pasti apakah Ramadass dan Raj akan menghadapi tuntutan baru karena jual beli tembakau cap “butterfly” yang termasuk ilegal di Singapura.
Ramesh mengutarakan, Singapura tidak memiliki sistem kompensasi bagi korban salah tangkap. Menurutnya, vonis hukuman mati telah membebani mental Raj.
“Sangat sulit hidup dengan kenyataan akan menerima hukuman mati. Hari-hari selalu dibayangi kematian,” tuturnya. “Raj yakin dirinya tidak bersalah.”
Follow Koh Ewe di Twitter dan Instagram.