Gayas-ud-din Ahmed bermimpi hidup bahagia bersama keluarga kecilnya di rumah mereka. Namun, tampaknya itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Pada November lalu, dia diperintahkan mengosongkan tempat tinggalnya dalam tempo 3×24 jam. Dengan sangat terpaksa, Ahmed meminta bantuan putranya memindahkan sebagian rumah mereka untuk dijadikan tempat pengungsian bagi ribuan umat Islam yang digusur sepertinya.
“Andai saja saya beragama Hindu, mungkin rumah saya takkan digusur,” ucapnya saat dihubungi VICE News. “Mereka menggusur tempat tinggal kami karena kami orang Islam.”
Banyak warga Muslim di Assam, negara bagian di timur laut India, telah menjadi korban penggusuran selama setahun terakhir. Para penduduk suatu permukiman, yang berjumlah sekitar 5.000 jiwa, bahkan diminta meninggalkan rumah mereka kurang dari satu hari.
Pasukan keamanan India melepaskan tembakan ke arah warga yang memprotes penggusuran tersebut. Bentrokan menelan dua korban jiwa, salah satunya anak 12 tahun.
Tonton dokumenter VICE mengenai diskriminasi yang dialami umat muslim di India:
Pihak berwenang menyatakan hanya ingin membersihkan lahan negara dari permukiman liar, dan penggusurannya tidak menargetkan kalangan tertentu. Pegiat HAM justru beranggapan sebaliknya. Pengusiran paksa ini hanyalah upaya terbaru nasionalis Hindu mengubah India menjadi negara mayoritas umat Hindu.
“Mereka meracuni pikiran orang lain terhadap umat Muslim demi kepentingan politik kelompoknya,” kata Zamsir Ali, pembela hak minoritas yang membantu korban gusuran.
Assam memiliki populasi sebanyak 31 juta orang, dan lebih dari sepertiganya beragama Islam. Selama puluhan tahun, penduduk asli Assam membujuk pemerintah mengatasi masalah imigran gelap yang datang dari daerah mayoritas Muslim di Bangladesh.
Partai Bharatiya Janata (BJP), yang berideologi nasionalis Hindu, mengesahkan serangkaian undang-undang yang menganaktirikan umat Islam sejak menduduki kursi pemerintahan India.
Pada 2019, pemerintah Assam mencabut kewarganegaraan 1,9 juta orang, atau sekitar enam persen dari penduduk negara bagian. Beberapa bulan kemudian, pemerintah federal memberi kesempatan bagi para imigran yang telah tinggal di India sebelum 2015 untuk mendapatkan kewarganegaraan. Kebijakan ini berlaku bagi siapa saja, kecuali umat Muslim.
Ahmed dan ibunya tak lagi dianggap sebagai warga negara India, dan sekarang dinyatakan berkebangsaan Bangladesh. Menurut laporan yang dirilis Ali, sepertiga pengungsi di tempat Ahmed bernasib serupa.
“Saya sudah beberapa kali mengikuti pemilu,” tutur Hajera Khatun, ibu Ahmed, sebagai bukti dia sudah menjadi warga negara India. “Mereka menghapus nama saya dari daftar tanpa alasan yang jelas.”
Pemerintah negara bagian berjanji memberikan kompensasi dan menyediakan tempat tinggal bagi para korban gusuran. Namun, mereka baru bisa mendapatkannya jika terbukti orang India.
Dengan dicabutnya kewarganegaraan, umat Muslim seperti Ahmed tidak punya cara selain membuktikan status mereka sebagai warga India di pengadilan luar negeri.
Ahmed sudah lebih dari 10 kali menghadiri sidang. Dia sampai harus menjual sapi satu-satunya demi membiayai persidangan. Sejauh ini, dia telah mengeluarkan $400 (Rp5,7 juta) demi membuktikan kewarganegaraannya. Jumlah itu setara tabungan berbulan-bulan bagi pekerja yang diupah harian.
Ahmed dan ibunya terancam berakhir di pusat penahanan apabila mereka gagal melakukannya.
Pejabat negara meyakinkan kebijakan mereka adil dan tidak pilih kasih. Siapa saja yang kedapatan berstatus imigran gelap, tak peduli apa agamanya, akan kena gusur.
“Penggusuran dilakukan untuk mencegah pemukim liar merusak identitas budaya sosial masyarakat asli kami,” tukas Padma Hazarika, anggota BJP yang mengelola lahan permukiman yang digusur di Assam.
Di lahan kosong, tempat rumahnya berdiri dulu, Ahmed hanya bisa meratapi nasib keluarganya. Harus ke mana lagi dia mencari uang demi mendapatkan kembali kewarganegaraannya?