Di Indonesia, sudah lazim bila seseorang yang melakukan kesalahan untuk menyalahkan setan. Alibi macam ini memberikan citra pelaku kejahatan bagaikan manusia lemah, tak berdaya, dan butuh belas kasih.
Syukron, Ketua Yayasan Pendidikan Islam Terpadu Al-Hijrah Kota Padang Panjang, Sumatera Barat (Sumbar), jadi satu pihak yang pakai jurus apologi macam ini. Doi terbukti mencabuli MA (14), siswa di institusinya. Ditanya soal orientasi seksualnya, Syukron membantah. Kata doi, tendensinya melecehkan murid laki-laki bukan karena orientasi seksual, melainkan karena ulah setan yang membuatnya khilaf.
“Saya sama sekali bukan golongan orang seperti itu [gay]. Saya berani mengatakan saya bukan gay. Saya bukan homoseksual, karena saya punya istri dan punya anak,” ujar Syukron kepada wartawan, kemarin (16/6), dilansir Detik. Mungkin doi berpikir, dengan tidak mengidentifikasi diri gay, derajatnya sebagai guru cabul jadi lebih mendingan. Ya jelas enggak lah.
“Saya sadari dalam kasus ini saya khilaf dan saya tidak menyangka akan sampai segitunya. Ya, namanya setan kan juga tetap mengganggu kita ya. Sebenarnya sudah saya sadari dari awal dan saya sudah menyesali dari awal kalau perilaku itu perilaku salah. Tapi, yang namanya setan, sebagai kita dai, ya mungkin yang menggoda kita [setan] lebih dahsyat lagi. Itu sebenarnya yang melatarbelakangi,” tambah Ketua Ikatan Da’i Kota Padang Panjang tersebut membawa-bawa statusnya, yang malah bikin makin emosi.
Kasus bejat ini terkuak saat korban melaporkan Syukron ke kantor polisi setelah enggak tahan dipaksa melakukan onani dan oral seks saat keduanya bertemu di kamar asrama sekolah. Sebelumnya, korban juga mengaku diminta mengirimkan video alat kelaminnya oleh Syukron atas bujuk rayu “demi meningkatkan kepercayaan diri”. Laporan masuk pada 25 Mei, polisi menangkap Syukron pada 10 Juni. Dari pengakuan korban, pelecehan seksual ini terjadi tiga kali, pada 26 Desember 2020, 6 Januari, dan 21 Januari 2021.
Saat diperiksa lebih dalam, polisi mengetahui fakta bahwa selain korban yang melapor, ada tiga murid lagi yang jadi korban tapi tidak melapor. Aparat sedang menyelidiki lebih lanjut informasi ini. Ketiga korban lain disebut sudah lulus SMP. Kini, Syukron dijerat UU 17/2016 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
Kasus pencabulan anak di institusi pendidikan Indonesia begitu banyak. Di Kalimantan Timur misalnya, seorang guru agama berinisial BS (57) jadi tersangka setelah mencabuli sejumlah siswi di dalam kelas. Tertangkap pada Februari 2019, BS mengaku melakukannya sejak 2018 dengan alasan yang membuat darah mendidih. “Sementara sih pengakuannya sekadar iseng saja,” ujar Kasat Reskrim Polres Kukar AKP Damus Asa.
Menggunakan pencarian cepat, selama dua tahun terakhir saja, kita sudah bisa menemukan kasus pencabulan oleh guru di Bandung, Barito Kuala, Palembang, dan Tulungagung. Ini bahkan belum menghitung kasus di universitas.
Penyalahgunaan relasi kuasa guru-murid ini juga terjadi di institusi pendidikan agama informal. April lalu, Guru mengaji di Kampung Ciomas, Garut, dilaporkan korban karena menyetubuhinya. Saat hendak digrebek warga, pelaku sudah tak ada di tempat. Alhasil, warga yang marah membakar tempat pengajian. Pelaku sampai saat ini masih diburu polisi.
Komnas Perempuan mencatat jumlah pengaduan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sebanyak 45 kasus sepanjang 2015-2020. Terbanyak di universitas (27 persen), pesantren (19 persen), dan SMA (15 persen). Pelaku paling banyak guru atau ustaz (22 kasus), dosen (10 kasus), dan kepala sekolah (8 kasus). Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan ini cuma puncak gunung es, sebab biasanya kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tidak dilaporkan karena malu dan tidak adanya mekanisme pengaduan.
“Jumlah ini juga menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi,” kata Siti saat konferensi pers, Oktober 2020, dikutip VOA Indonesia.