Momen apa yang paling ngangenin saat sekolah dulu? Ngutang gorengan di kantin, bolos ekskul demi ke warnet, atau dijemur di tengah lapangan gegara seragam kurang lengkap? Kenakalan apa pun yang pernah kamu lakukan dulu seperti enggak ada apa-apanya dibanding kegilaan anak orang kaya di sekolah.
Kebanyakan sekolah swasta di Filipina bersifat eksklusif dan hanya melayani kebutuhan belajar bagi golongan menengah ke atas. Peserta didik mengenakan sepatu mahal dan membawa gadget canggih bukan pemandangan yang aneh di sana.
“Barang mereka serba bermerek. Mau pakai seragam sekali pun, kalau masih bisa pamer, mereka pasti akan pamer,” ungkap Adamson, lelaki 30 tahun yang mengajar di sebuah sekolah swasta putra. “Dengar-dengar pernah ada murid yang jaket hoodie-nya ketinggalan [di sekolah]. Jaket itu seharga 30.000 peso (Rp8,4 juta) dan tersimpan di pusat barang hilang selama beberapa minggu.”
Semua guru dalam artikel ini meminta diwawancarai secara anonim untuk melindungi reputasi sekolah dan identitas para murid.
Sementara kamu pura-pura sakit biar bisa tidur di UKS, anak sekolah swasta izin tidak masuk sekolah buat jalan-jalan ke luar negeri.
“Banyak yang izin tidak masuk sekolah karena ingin bepergian ke luar negeri. Tak jarang yang beralasan, ‘Ayah ibu tiba-tiba ngajak liburan ke Jepang atau Hong Kong,’” Adamson memberi tahu VICE.
Departemen Pendidikan Filipina melaporkan hanya 13 persen yang mendaftar ke sekolah swasta di tingkat SD dan SMP—hanyalah satu dari sekian banyak cerminan ketidaksetaraan sosial di negara tersebut. Jumlah peserta didik yang bersekolah di institusi elit bahkan jauh lebih sedikit, mengingat uang kuliah setahun bisa mencapai lebih dari sepertiga pendapatan tahunan rata-rata penduduk Filipina.
Bagi orang yang “beruntung” bisa masuk sekolah swasta, mereka pasti tidak akan siap mengikuti pergaulan yang sangat berbeda. Para guru yang sudah lama mengajar pun sering dibuat terkejut oleh kelakuan anak-anak yang hidupnya bak sultan.
Adamson masih ingat tentang murid yang mampu membiayai sekolah adiknya dari hasil investasi saham.
“Dia menginvestasikan uang jajan dari orang tua. Saya tahu ceritanya dari sesama guru yang menyaksikan saat anak itu memamerkan uang segepok di dalam tas,” tuturnya. Dia menjelaskan, rekan kerjanya sampai harus menasihati siswa tersebut untuk tidak melakukannya lagi.
Seperti yang sudah kita ketahui, banyak faktor selain uang yang mempermudah hidup kaum berduit. Koneksi orang tua, salah satunya.
Mark, 35 tahun, menceritakan betapa sering murid-murid di sekolahnya memanfaatkan kenalan orang tua mereka. Guru bahasa Inggris ini mengenang kembali momen tempatnya mengajar menang kontes online. Kala itu, regu olahraga sekolah berpartisipasi dalam lomba like terbanyak di Facebook.
“Saya saat itu tak tahu kalau beberapa anggota regu punya kenalan artis. Mereka meminta seleb me-retweet foto kami, dan dari situlah kami bisa mengumpulkan banyak like,” kenangnya. “Sekolah kami menang berkat mereka.”
Menurutnya, mereka akan totalitas saat mengerjakan proyek sekolah. Seorang murid pernah mengusulkan untuk meramaikan kompetisi antar kelas pakai mesin kabut. Mark mengizinkannya setelah berkonsultasi dengan kepala sekolah. Namun, dia tak sadar akan seheboh apa hasilnya di kemudian hari.
“Saya tak tahu kalau mesin kabutnya dipesan dari tempat lain. Satpam sekolah tiba-tiba menghampiriku dan memberi tahu ada truk yang menunggu saya. Asal tahu saja, truknya beroda 10-12. Saya benar-benar bingung saat itu,” lanjutnya. Sopir truk bahkan sampai meminta maaf karena telat datang, katanya habis disewa program acara TV populer di FIlipina.
“Asapnya heboh kayak konser Beyoncé,” ujar Mark. “Kami kalah, tapi [para murid] bangga sekali bisa mengungguli orang lain.”
Selina, 40 tahun, pernah mengalami hal serupa ketika mengajar di sekolah swasta putri di Manila.
“Saya ingin murid mengimprovisasi pencahayaan pakai senter, tapi mereka malah memasang sound system lengkap sama pencahayaannya, yang biasanya dipasang sehari sebelum acara dimulai,” katanya. “Keesokan harinya, saya dipanggil kepala sekolah karena [murid] mengira mereka wajib menggunakan pencahayaan ini. Jujur saya kaget banget.”
Di lain waktu, saat dia memberi tugas show and tell (mendeskripsikan barang yang dibawa ke sekolah), Selina mendapati seorang siswi mengenakan mahkota dari kontes kecantikan populer. Rupanya anak itu meminjam mahkota dari saudara.
Padahal, Selina berharap para murid melakukan yang terbaik dari barang-barang biasa. Tak pernah terpikir olehnya bahwa kekayaan dan ketenaran orang tua memungkinkan anak-anak melakukan hal-hal di luar nalar.
“Saya tidak menyadari betapa mudahnya kehidupan mereka. Seperti itulah kenyataan berada di tempat yang orang-orangnya bisa mendapatkan segala yang mereka mau,” tutur Mark.
Sementara itu, Adamson hanya bisa memaklumi tingkah laku mereka. “Yah, namanya juga anak-anak. Mereka masih belajar memahami dunia.”
Follow Nikki Natividad di Instagram.